Indovoices.com –Kinerja neraca perdagangan Indonesia yang kembali surplus di Agustus 2020 menumbuhkan harapan perbaikan perekonomian. Capaian nilai ekspor sebesar US$ 13,07, lebih tinggi dari nilai impor sebesar US$ 10,74 miliar.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengungkapkan agregat surplus pada Juli dan Agustus sudah mencapai US$ 5,6 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan surplus triwulan 1 2020 sebesar US$ 2,59 miliar dan triwulan 2 2020 sebesar US$ 2,89 miliar.
“Surplus dapat menjadi salah satu penolong pertumbuhan Indonesia di kuartal 3 2020 yang diperkirakan masih akan mengalami kontraksi,” ujarnya.
Tren pemulihan kinerja ekspor diharapkan dapat membatasi pelemahan pertumbuhan ekonomi menjadi tak terlalu dalam selama periode Juli-September 2020. “Hal ini seiring dengan sifat dari neraca dagang yang menjadi salah satu komponen penting dalam perekonomian.” Tak hanya itu, Josua mengatakan defisit transaksi berjalan pun berpotensi mengalami penurunan yang cukup signifikan sehingga dapat menjadi penopang nilai tukar rupiah hingga akhir tahun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan dari sisi impor, terdapat tekanan pada barang modal sebesar -8,8 persen dibandingkan periode Juli 2020. Hal tersebut mengindikasikan investasi mesin di proyek konstruksi dan infrastruktur mulai dirasionalisasikan. “Sedangkan, ekspansi pabrik-pabrik manufaktur untuk tahun 2021 diperkirakan akan melambat,” ujarnya.
Kabar baik datang dari kinerja impor bahan baku dan barang konsumsi, yang masing-masing meningkat 5 persen dan 7,3 persen secara bulanan di Agustus 2020. “Ini pertanda permintaan dalam jangka pendek ada kenaikan tipis,” ucap Bhima.
Namun, sinyal roda perekonomian yang telah kembali berputar itu harus dihadapkan lagi pada kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid dua di DKI Jakarta yang berlaku sejak Senin lalu. “Ini diproyeksikan akan menyebabkan aktivitas ekspor terhambat, khususnya yang berbasis di kawasan industri Jakarta dan sekitarnya.”
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan saat ini pemerintah tengah melakukan monitoring terhadap data-data mobilitas dan dampaknya kepada aktivitas perekonomian di DKI Jakarta. Menurut dia, situasi PSBB kali ini berbeda dengan situasi Maret-Mei lalu dimana seluruh kegiatan masyarakat terhenti.
“Sekarang ini kami masih lihat kegiatan itu ada, hanya skalanya saja turun,” katanya. Meski demikian, Sri Mulyani tak menampik ihwal Besarnya kontribusi DKI Jakarta terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu mencapai 17 persen.
Pada triwulan II lalu, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta tercatat sudah mengalami kontraksi cukup dalam yaitu -8,2 persen. “Tentu situasi yang sudah bertahap membai di triwulan 3 ini diharapkan tidak terlalu turun, sehingga kontraksi pertumbuhan ekonomi DKI bisa lebih rendah dibandingkan kontraksi triwulan II.”
Adapun pemerintah sebelumnya mengestimasikan pertumbuhan ekonomi di triwulan III akan berada di kisaran 0,0 sampai -2,1 persen. “Untuk perkiraan terbaru nanti kami akan melihat asesmen pergerakan ekonomi di minggu ini, dan kami berharap penurunannya tidak terlalu jauh,” ujar Sri Mulyani.
Pada triwulan 4 2020, pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat melesat lebih baik lagi, yaitu ke kisaran 0,4 hingga 3,1 persen. “Semua proyeksi bergantung pada cara dan kemampuan kita semua mengelola dan mencegah kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia.”(msn)