Indovoices.com– Ketika saya kuliah dulu ada topik yang cukup sengit kami perdebatkan soal tema integritas. Pertanyaan yang menarik adalah apakah bisa berbohong?. Ada yang sangat kokoh meyakini bahwa ada yang berbohong demi kebaikan. Ketika itu saya mengatakan bahwa berbohong tidak ada kebaikannya.
Bulan lalu di Pangururan ada anak sakit demam berdarah dilarikan ke Rumah Sakit (RS) di Medan. RSU Samosir merujuk ke RS di Medan. Ayah dan ibu anak itu membawa anak itu ke Medan. Adik yang sakit itu tinggal di Pangururan dijaga Ompungnya (neneknya). Si ibu menelpon si Ompung, bagaimana kabar si adik di Pangururan. Ompungnya mengatakan baik baik saja. Padahal, realitanya anak itu panas. Mungkin si ompung kuatir kalau jujur mengakibatkan anaknya itu gelisah atau tidak fokus kalau mengetahui si adik demam juga. Akibatnya, si adik ternyata demam berdarah juga dan akhirnya meninggal. Si Ompung hakul yakin berniat baik untuk tidak jujur apa adanya. Dampaknya cucunya meninggal dan realita ini sulit kita terima. Itulah salah satu bahaya berbohong demi kebaikan.
Kemarin itu rakyat Sigapiton, perempuan boru Sinaga mengatakan tahun 2016 Bupati Tobasa berjumpa dengan mereka dan memgatakan kehadiran pariwisata akan mensejahterakan rakyat Sigapiton. Tanah Sigapiton tidak masuk wilayah kehutanan. Kini, tanah kami dirampas. Bupati itu mangotooto i (membodohbodohi/membohongi) kami. Dihadapan Bupati boru Sinaga menyampaikannya.
Tanggal 15 September akun face book (fb) Bupati Toba Samosir dan beberapa berita online mengatakan bahwa Badan Pelaksana Otorita Danau Toba ( BPODT), Bupati Tobasa menuliskan bahwa sudah ada titik temu. Masyarakat Sigapiton dan BPODT telah sepakat. Realitanya tidak ada. Akibat berita dari Bupati Tobasa Darwin Siagian ada beberapa menuding saya sebagai penggoreng isu, provokator, memanasmanasi keadaan. Integritas itu memang diuji oleh waktu.
Puncak uji integritas Bupati Tobasa adalah kemarin sore. Seorang warga Sigapiton menanyakan apakah surat dari pihak Lembaga Kepala Staf Kepresidenan sudah di tangan Bapak Bupati?. Bupati Tobasa menjawabnya emosional. Bupati mengajak penanya ke ruangan Bupati. Kemudian Bupati mengatakan, “kalau nanti surat itu sudah sampai maka akan saya undang siapa yang disuruh surat itu akan saya undang”.
Faktanya surat yang dimaksud si penanya adalah tanggal 16 September 2019. Apakah di era digital ini tidak sampai 10 hari dari kantor kepala Kepresidenan dalam kondisi urgen ke Bupati Tobasa?. Isi surat Deputi V Kepala Staf Kepresidenan adalah bahwa Kepala Staf Kepresidenan bidang konflik agraria akan verifikasi lapangan tanggal 27-28 September 2019.
Kemarin sore, saya sudah membaca surat undangan Bupati sesuai permintaan surat Deputi V Kantor Staf Kepresidenan. Kapan sebetulnya Bupati Tobasa menanda tangani surat undangan tanggal 26 September itu?. Apakah surat undangan sudah ditanda tangani ketika pertanyaan rakyat Sigapiton?.
Kalau rakyat sudah tidak percaya akan integritas Bupati, maka sulit untuk titik temu.
Selain integritas Bupati yang diragukan, kapabilitas Bupati juga sangat tidak memadai.
Kemarin itu, ketika dialog Bupati mengatakan ada yang menunggangi rakyat Sigapiton. Siapkah yang menunggangi itu?. Sigapiton itu kecil sekali. Megapa tidak bisa diidentifikasi yang menunggangi?. Siapa yang dimaksud?. Pendamping rakyat Sigapiton sangat jelas lembaga resmi Kelompok Studi Prakarsa Pembangunan (KSPPM).
KSPPM adalah lembaga yang teruji integritasnya. Lembaga KSPPM didirikan oleh tokoh Hak Asasi Manusia (HAM) Asmara Nababan. Jika ragu integritas KSPPM tanyalah Gomar Gultom yang kini Sekretaris Umum PGI. Waktu telah menguji peran penting KSPPM menguatkan rakyat akan haknya. Supaya Bupati Tobasa paham NGO seperti KSPPM adalah salah satu pilar demokrasi. Itu pengetahuan dasar berdemokrasi.
Selain keraguan integritas, kapabilitas memahami demokrasi, juga tak paham tugasnya. Bupati Tobasa mengelak akan tanggungjawabnya. Ketika rakyat Sigapiton hadir Bupati Tobasa mengatakan bahwa kehutanan adalah kewenangan provinsi. Padahal rakyat Sigapiton meminta Surat Keputusan atau Perbup atau Perda untuk mengakui bahwa rakyat Sigapiton adalah wilayah adat. Itu saja yang dibutuhkan rakyat Sigapiton. Apa susahnya itu?.
Apa susahnya menghentikan BPODT bekerja sebelum konflik selesai. Bacalah AMDAL BPODT yang menuliskan tolak ukur atau indikator keberhasilan BPODT adalah rakyat Sigapiton menerima dengan sadar tanpa protes kehadiran BPODT. Faktanya, escapator berjalan. Bupati Tobasa dan BPODT melukai bahkan mencabikcabik hati rakyat Sigapiton.
Era Jokowi adalah era pembangunan humanis. Pembangunan yang sesuai prinsip-prinsip yang dicanangkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yaitu pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Prinsip dasar itu adalah keberlanjutan ekologi, ekonomi, budaya atau kultur, politik, keamanan. Cara BPODT ini yang berlanjut adalah konflik. Bagaimana kelak pariwisata kalau yang mengalami keberlanjutan adalah konflik?. (gurgur manurung)
#gurmanpunyacerita.