Indovoices.com –Presiden Jokowi meminta pemerintah daerah ‘jangan sok-sokan’ mengambil kebijakan lockdown total seprovinsi atau sekabupaten/kota. Katanya, hal tersebut akan berdampak besar ke ekonomi masyarakat.
Kata dia, pemerintah saat ini mencari keseimbangan. Prioritas kesehatan tapi tidak melupakan ekonomi.
“Pemerintah selalu berupaya mencari keseimbangan itu. Tidak perlu sok-sokan melockdown provinsi, melockdown kota, melockdown kabupaten,” kata Jokowi.
“Karena akan mengorbankan kehidupan masyarakat. Tapi kita tetap serius mencegah penyebaran wabah supaya tidak meluas,” sambungnya.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian, menjelaskan, pernyataan Jokowi merupakan instruksi kepada seluruh kepala daerah. Donny menegaskan ucapan Jokowi tidak mengarah ke pihak mana pun.
“In instruksi kepada seluruh kepala daerah sebagai bawahan presiden untuk melaksanakan yang disebut sebagai Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM),” kata Donny saat dimintai tanggapan.
Meski Jokowi tak ada maksud menyinggung salah satu provinsi. Namun ada satu fakta menarik yang tak bisa terlepas dari pernyataan tersebut.
Hal tersebut terkait Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pemprov DKI Jakarta menjadi satu-satunya pemprov yang pernah mengajukan karantina wilayah (lockdown) ke pemerintah pusat pada awal pandemi lalu, tepatnya 28 Maret.
Surat tersebut bernomor 143. Di dalamnya, Anies membeberkan alasan mengapa ia mengajukan karantina wilayah seperti apa yang tertera dalam UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pertama, kasus di DKI saat itu naik signifikan dalam waktu cepat. Tercantum di surat itu, data menunjukkan dari tanggal 19 sampai 28 September terjadi peningkatan dari 165 kasus menjadi 627 kasus. Penyebaran PDP dan ODP juga merata di hampir seluruh penjuru Jakarta.
Selain itu kematian di DKI Jakarta di bulan Maret sangat tinggi yakni 9,9 persen. Jauh dari rata-rata dunia 4,4 persen.
Yang terpenting juga, Anies menyebut masyarakat keluar DKI Jakarta sebagai episenter wabah akan berisiko mempercepat penyebaran wabah ke wilayah lainnya di Indonesia.
Namun ternyata usul Anies ditolak Jokowi. Presiden Jokowi dua hari kemudian menelurkan keputusan, Jakarta menjalankan Darurat Sipil berbarengan dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pertimbangan Jokowi dalam menanggulangi corona tersebut menuai kritik. Pemerintah dinilai ingin membatasi aktivitas masyarakat dengan kewenangan lebih, tapi tanggung jawab yang lebih ringan.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, menilai bahwa kebijakan Jokowi itu secara tak langsung mengakui bahwa pemerintah ingin melakukan karantina wilayah.
“Perpaduan antara kebijakan PSBB dan darurat sipil menguatkan dugaan kalau sebenarnya Pemerintah sudah merasa perlu memberlakukan karantina wilayah. Tetapi daripada memperbesar kewajiban melalui kebijakan karantina wilayah, lebih baik kewajiban berkurang tetapi kekuasaan bertambah dengan menerapkan darurat sipil,” kata Fajri kepada wartawan, Selasa (31/3).
Apabila karantina wilayah diterapkan, pemerintah memang memiliki kewajiban sebagai berikut:
Pasal 55
Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.
Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Menko PMK Muhadjir Effendy. Dia mengatakan, lockdown memiliki konsekuensi yang tak main-main.
Sebab itu artinya pemerintah wajib membiayai semua kebutuhan dasar masyarakat, tanpa terkecuali. Juga dampak ekonomi yang harus ditanggung semua unsur di wilayah itu.
“Debat panjang, banyak yang minta lockdown di Indonesia itu, kita juga sudah ngitung-ngitung. Orang-orang ini tahu enggak konsekuensi lockdown itu untuk jangka panjang. Belum lagi risiko dampak ekonomi,” kata Muhadjir melalui webinar yang diadakan Lab HI Universitas Paramadina bertajuk Leadership in The Time of Pandemic Crisis, yang dikutip kumparan pada Kamis (7/6).
Selain menjamin kebutuhan dasar warganya, pemerintah juga wajib menanggung kebutuhan dasar hewan peliharaan yang dimiliki oleh hampir 9 juta warga Jakarta.
“Padahal di dalam UU jelas, kalau kita me-lockdown, itu seluruh kehidupan, kebutuhan dasar masyarakat yang di-lockdown itu harus jadi tanggungan pemerintah pusat. Bukan hanya orangnya, termasuk juga hewan peliharaan,” jelasnya.(msn)