Mata air “Clitunno”, demikian masyarakat Italia menyebutnya. Air yang keluar dari retakan batu, membentuk kolam, kemudian menjadi sungai yang mengalir sejauh 60 km di wilayah Umbria, Italia tengah. Terletak di wilayah sepanjang jalan kuno Via Flaminia, diantara kota Spoleto dan Foligno. Mata air yang telah memberikan kehidupan bagi masyarakat di kota Pissignano, Cannaiola, Trevi, Bevagna dan bermuara di sungai Tevere (Tiber). Sejak tahun 2011, kawasan ini masuk dalam daftar perlindungan UNESCO.
Di zaman kuno, mata air ini dipercaya sebagai penjelmaan dewa Clitumnus. Bagi kaum pagan (kepercayaan kuno), hutan, sungai, gua, adalah tempat yang menyembunyikan kehidupan lain yang misterius. Bagaikan cermin, air juga menyembunyikan dunia yang lain dan sungai itu sendiri adalah Dewa. Selama bulan Mei, bangsa Etruria ( bangsa kuno yang menguasai wilayah Umbria waktu itu), melakukan ritual clitumnalia suci di tempat ini.
Sekitar tahun 217 SM, dalam perang Punisia ke-dua, bangsa Romawi kuno berhasil menguasai kawasan ini. Mereka juga menyebutnya mata air “Dio Giove Clitunno” (Dewa Jupiter Clitunno). Seperti yang tercantum dalam prasasti kuno: “Giove Clitumno ,Clitumnus Umbriae, ubi Juppiter eodem nomine est”, yang artinya “Dewa Clitumno dari Umbria, yang disebut juga Jupiter”.
Patung Dio Giove Clitunno.
Dalam mitologi Romawi, Giove (latin: Iupiter, Iuppiter, Iovem, atau Diespiter), adalah dewa tertinggi di dunia dewa. Prinsip yang sama digunakan dalam mitologi Yunani, yang dikenal dengan nama dewa Zeus dan Tinia dalam agama Etruscan. Dewa dengan simbol petir dan guntur, putra dari dewa Saturnus dan dewi Opi.
Di masa kejayaan Romawi kuno, perahu – perahu di sungai Clitunno bisa berlayar sampai ke Roma. Di sepanjang tepinya, berderet rumah – rumah megah dan spa, tempat para bangsawan memanjakan diri. Saat Imperator Caligola berkuasa, kawasan ini dikenal juga sebagai tempat melakukan ritual. Tidak jauh dari sumber mata air, mereka membangun tiga buah kuil penghormatan bagi sang Dewa.
Kuil Clintunno adalah salah satu kuil yang masih berdiri kokoh sampai sekarang. Terletak di kota Campello sul Clitunno, 1 km jauhnya dari mata air sang Dewa. Dibangun sekitar abad pertengahan, dengan karya seni bernilai tinggi. Berbentuk candi klasik, memiliki altar, empat pilar bergaya korintus dan ada dua tangga batu disetiap sisinya.
Kuil “Clitunno“.
Di periode awal keKristenan, kuil Clintunno berubah menjadi sebuah gereja. Didedikasikan untuk Santo Salvatore dan dipergunakan sebagai tempat ibadah selama bertahun – tahun. Gereja kuil ini dianggap sebagai mahakarya berharga oleh para ahli, karena dibangun oleh para arsitek hebat di masanya, seperti: Andea Palladio, Giocanni Battista Piranesi dan Luigi Vanvitelli.
Kawasan ini sempat porak poranda, ketika dua gempa besar terjadi di Italia. Gempa Costantinopoli tahun 446 dan gempa L’Aquila pada tahun 1703. Dicoba dibangun kembali seperti semula, namun tidak berhasil. Pada tahun 1860 – 1865, atas perintah Paolo Campello della Spina, tanah – tanah di area ini sebagian dipindahkan. Dengan proyek ini kolam Clintunno menjadi lebih luas dan vegetasi lingkungan pun berkembang.
Sejak diresmikan tahun 1852, tempat ini belum terlalu dikenal di dunia pariwisata, bahkan dikalangan masyarakat Italia sendiri. Mungkin karena terlihat sederhana dan dibiarkan terlihat alami. Namun bagi beberapa kalangan, tempat ini memyimpan kesan dan daya tariknya tersendiri.
Prasasti Carducci.
Mereka adalah para pelukis dan penyair, yang terinspirasi oleh keindahan dan kedamaian tempat ini. Beberapa seniman, baik dari Italia maupun mancanegara, menyelipkan nama Clintunno dalam karya – karya besarnya. Diantaranya: penyair Inggris, Thomas Macaulay dalam karyanya “Canti di Roma antica” dan penyair Polandia, Ladislao Kulczycki yang menyebut “Sacro Fiume”( sungai suci) dalam syair lagunya.
Pada tahun 1876, penyair Italia Giosuè Carducci, mengungkapkan kegaguman tempat ini dalam puisinya. Bahkan namanya terukir dalam sebuah prasasti, ketika berkunjung ke tempat ini tahun 1910. Prasasti berbentuk lempeng marmer yang diukir oleh Leonardo Bistolfi dan Ugo Ojetti untuk reliefnya.
Dengan luas sekitar 160.000 m2, danau Clintunno juga memiliki keanekaragaman hayati didalamnya. Dari lumut, hippuris vulgaris (ekor kuda air), alisma, callitrice stagnalis dan berbagai jenis tumbuhan air lainnya. Di tepi danau, berbaris rapih pohon pòpulus nigra (salah satu jenis pohon cemara), Fraxinus excelsior, cupressus dan pohon salix babylonica ( berasal dari Cina utara).
Mengunjungi tempat ini, bukan sekedar melihat mata air semata. Sejarah dan seni sastranya juga menarik untuk dipelajari. Cukup membayar tiket masuk € 3 per orang, tiket itu berlaku sepanjang hari. Di dalam area, ada sebuah restoran yang menawarkan berbagai menu khas Umbria. Jika membawa bekal dari rumah, area piknik tersedia juga di tempat ini.
Berjalan santai di sekitar danau, adalah kegiatan yang menyenangkan di awal musim panas. Menghirup udara segar di bawah naungan tanaman hijau nan rimbun, sambil mendengarkan kicauan burung – burung bernyanyi. Saat hening, perhatikan gerak – gerik ikan di danau, yang menari bahagia melihat mentari.
Ketika lelah berjalan, silahkan duduk santai di kursi kayu. Mendengarkan gemericik suara air sungai yang mengalir atau mendengar riuh rendah suara bebek dan angsa yang sibuk berenang tanpa lelah. Kadang – kadang suasana berubah melankonis, saat muncul warna – warni alami, karena pantulan cahaya dari air sungai yang jernih.
Bersemedi dan melakukan relaksasi adalah kegiatan yang lebih menyenangkan lagi. Menikmati hembusan angin yang membawa aroma kuno, yang terjaga selama berabad – abad. Membayangkan jika aura mistik itu benar – benar ada, dan isi puisi itu nyata: “Ma tu, o Clitumno! Dalla tua dolcissima onda del più lucente cristallo che mai abbia offerto rifugio a ninfa fluviale”…..
Trailer Fonti-Clitunno:
Sumber : https://www.centrostudilaruna.it/clitumno.html