Indovoices.com –Ratusan akun palsu berbahasa asing yang mendukung kelanjutan otonomi khusus (otsus) Papua bermunculan di media sosial, di tengah desakan sejumlah kelompok masyarakat Papua agar kebijakan yang sudah berlangsung selama hampir 20 tahun itu dievaluasi total.
Aku-akun yang menggunakan bahasa Belanda, Jerman, Inggris, hingga Indonesia itu mencantumkan foto-foto orang yang terlihat realistis.
Namun, setelah diteliti menggunakan sejumlah metode, termasuk dengan kecerdasan buatan (AI), sejumlah gambar itu terbukti palsu, kata peneliti dari Universitas Leiden, Belanda. Peneliti belum mengetahui pasti siapa pihak di balik kampanye yang disebut palsu itu.
Menanggap itu, Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan pemerintah tak dalam posisi untuk berspekulasi.
“Pemerintah tidak dalam posisi untuk berspekulasi atas pihak-pihak terkait dalam pemberitaan. Namun bila terdapat pelanggaran hukum di dalamnya, tentu hal tersebut akan diproses sesuai koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku” ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia mengatakan belum bisa memberi komentar.
“Kami belum dapat memberikan tanggapan dan akan mendalami terlebih dahulu,” ujar Dedy Permadi, juru bicara Kemenkominfo.
- Investigasi ungkap pembakaran lahan di Papua: DPR sebut ‘sudah menginjak harga diri bangsa’, perusahaan bantah hasil investigasi
- Eksklusif: Investigasi ungkap perusahaan sawit Korsel ‘sengaja’ membakar lahan di Papua
- Investigasi BBC: Ini cara kerja jaringan bot penyebar informasi palsu tentang Papua
Menurut Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), kampanye seperti itu adalah “provokasi yang ingin menambah penderitaan rakyat Papua”, sembari menambahkan pihaknya mendesak evaluasi menyeluruh terhadap otsus.
‘Menenggelamkan informasi’
Peter Burger, pengajar jurnalistik Universitas Leiden, Belanda, mengatakan penelitiannya dimulai setelah ia menemukan sejumlah unggahan di media sosial terkait Papua dalam bahasa Belanda.
“Saya pertama kali melihatnya bulan Juli, tapi saya kemudian melupakannya karena saya pikir unggahan-unggahan itu tidak signifikan. Namun, di bulan Okober, saya melihat pesan-pesan seperti ini makin banyak,” ujar Peter yang juga koordinator Nieuwscheckers.nl.
Salah satu akun, yang kemudian diketahui palsu, menggunakan nama Eline Hartee.
Akun itu mengunggah pesan dan gambar yang isinya menyatakan otsus Papua akan mensejahterakan warga di semua bidang, termasuk pendidikan, kesehatan, dan pertanian.
Setelah penelitian Nieuwscheckers diterbitkan, akun itu dinonaktifkan oleh Twitter.
Namun, jika pengguna Twitter memasukan kata kunci seperti ‘bijzondere autonomie‘ atau ‘speciale autonomie‘ Papua dalam bahasa Belanda atau ‘special autonomy‘ dalam bahasa Inggris, akun-akun serupa masih bermunculan.
Dalam bahasa Jerman, kata kunci yang bisa digunakan adalah ‘Sonderautonomie‘.
“Sebelum saya mempublikasikan riset saya, saya menemukan 450 akun palsu di Twitter, Instagram, dan Facebook. Sekarang, hampir semua akun itu sudah dinonaktifkan oleh perusahaan media sosial itu,” kata Peter Burger.
“Namun, setelah itu, setidaknya 100 akun bermunculan. Jadi akun-akun ini diperbarui secara kontinu,” tambahnya.
Penelitian serupa tentang ini juga dipublikasikan oleh Bellingcat.
Mengapa menargetkan audiens asing?
Meski mengatakan isu Papua Barat cukup dikenal di Belanda, Peter Burger mengatakan tak bisa benar-benar memahami mengapa pihak-pihak itu menarget audiens Belanda.
Sementara itu, peneliti konflik Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Cahyo Pamungkas mengatakan kampanye itu dilakukan dengan bahasa Belanda karena di sanalah letak salah satu basis United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
“Di sana ada tokoh-tokoh seperti Oridek Ap dan tokoh OPM seperti Leoni Tanggahma. Maka itu Belanda menjadi sasaran kampanye,” kata Cahyo.
Audiens Jerman, tambah Cahyo, menjadi sasaran karena Kota Wuppertal di Jerman menjadi markas sejumlah lembaga nirlaba keagamaan yang mendokumentasikan kekerasan di Papua, yaitu International Coalition for Papua (ICP).
“[Kampanye itu] untuk melawan narasi kemerdekaan dan penolakan otsus, untuk mengimbangi upaya internasionalisasi masalah Papua,” kata Cahyo.
Meski begitu, Peter Burger menilai hanya sedikit audiens Belanda yang memperhatikan bentuk kampanye itu, meski sejumlah kantor berita Belanda mengangkat berita ini.
Namun, katanya, kampanye itu bukan berarti tidak ada dampaknya.
“Ribuan unggahan berisi pesan, video, dan gambar-gambar ini menenggelamkan suara-suara orang yang mendukung kemerdekaan Papua Barat,” ujarnya.
Kampanye itu, kata Burger, juga membajak sejumlah hashtag terkait Papua, seperti yang berkaitan dengan otsus dan gerakan “Free West Papua”.
Ketua MRP, Timotius Murib, menganggap kampanye itu sebagai bentuk provokasi.
“Hal-hal begini, saya pikir itu provokasi untuk memperpanjang penderitaan rakyat, khususnya orang asli Papua di tanah Papua,” ujarnya.
Sementara itu, serangkaian demonstrasi menentang otsus yang disebut “jiid II” berlangsung di sejumlah daerah, seperti Papua, Manado, dan Jakarta beberapa bulan belakangan ini.
Namun, pada bulan Oktober lalu, Menko Polhukam Mahfud Md mengklaim bahwa setelah membahas soal otsus dengan tokoh-tokoh Papua, “lebih dari 90% rakyat Papua tidak mempersoalkan otsus.”
“Itu kan yang ngomong–ngomong ‘hentikan otsus, tidak usah diperpanjang’ hanya orang-orang tertentu saja dan medsos tertentu saja, lalu dipantulkan ke luar negeri, dikirim lagi ke sini.
“Tapi kan kita orang Indonesia, jadi kita ke dalam hampir tidak ada yang menolak itu, otsus itu, kecuali orang yang lari-lari saja pada umumnya,” kata Mahfud dalam konferensi pers yang digelar secara virtual.
- Papua akan dimekarkan menjadi lima wilayah, kata Mahfud MD
- Jokowi janji bangun Istana Presiden di Papua, pegiat sebut ‘tak sentuh persoalan’
- Organisasi Papua Merdeka yang menuntut pemisahan Papua dari Indonesia, apa dan siapa mereka?
Bagaimana cara mengetahui keaslian suatu foto?
Peneliti dari lembaga 3DUniversum, Dr Sezer Karaoglu, menganalisis foto-foto itu dengan algoritma kecerdasan buatan (AI) yang dikembangkan timnya.
Dengan AI yang didesain untuk menemukan keganjilan-keganjilan pada gambar, mereka menemukan gambar-gambar palsu yang dibuat dengan metode deepfake, katanya.
“Salah satu cara untuk mendeteksi gambar profil palsu adalah dengan menggunakan software pendeteksi otomatis. Cara lain adalah dengan melihat foto-foto ini dengan lebih cermat.
“Meskipun foto-foto profil palsu ini terlihat realistis, mereka masih memiliki keganjilan tertentu,” ujarnya.
Ia menjelaskan algoritma deepfake biasanya mempelajari ribuan gambar orang dan dapat menghasilkan jutaan wajah yang seakan realistis.
Dalam riset yang dipublikasikan Nieuwscheckers, diketahui bahwa sejumlah foto orang-orang palsu itu berasal dari website This Person Does Not Exist, yang menyediakan foto-foto orang yang dihasilkan dari metode generative adversarial networks (GAN).
“Masalah terjadi ketika ada ketidakteraturan pada gambar (misalnya rambut, latar belakang, pakaian, aksesoris). Di semua gambar tersebut, ada keunikan pada latar belakang, pakaian dan rambut,” ujar Sezer Karaoglu.
“Tidak mungkin atau belum mungkin untuk menetapkan kesamaan dan parameter-parameter yang berubah di antara item-item ini dalam gambar,” ujarnya.
Menurut Sezer, sulit untuk memastikan siapa pihak di balik penyebaran itu karena tiap pengguna akun bisa mengatur lokasi yang dipilihnya. Tak ada mekanisme verifikasi untuk hal itu, ujarnya.
Ia lanjut menjelaskan bagaimana praktiknya di Twitter.
“Meskipun Twitter secara internal menangkap alamat IP dari akun-akun ini, informasi itu dapat dengan mudah diubah menggunakan layanan VPN.”
Mengapa otsus jadi perdebatan?
Otsus diatur dalam UU nomor 21 tahun 2001. UU itu kemudian diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2008, yang menjadi landasan bagi pelaksanaan otsus di Papua Barat.
Salah satu pasal dalam UU itu menyebut penerimaan dana otsus berlaku selama 20 tahun, yang artinya aturan itu berlaku hingga tahun 2021.
Peneliti LIPI, Cahyo Pamungkas, menyebut otsus diberlakukan pemerintah sebagai bentuk resolusi konflik terhadap gerakan separatisme yang terjadi di Papua.
Pada bulan September lalu, Menkopolhukam, Mahfud MD, mengatakan status otsus bagi Papua tetap berlaku selepas tahun 2021.
Hanya dana otsus, kata Mahfud, yang akan diperpanjang pemerintah melalui revisi pasal 34 di UU Otsus.
Di sisi lain, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, mengatakan evaluasi otsus secara keseluruhan diperlukan, tak hanya soal dana.
Pasalnya, kata Timotius, banyak hal yang diatur dalam otsus yang hingga saat ini belum terlaksana.
Beberapa di antaranya adalah mengenai pembentukan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua, hingga Komisi Hukum Ad Hoc.
“Masih banyak sekali (yang belum terlaksana). Ini jadi concern MRP untuk evaluasi secara total,” kata Timotius.
Sebelumnya, MRP menjadwalkan Rapat Dengar Pendapat (otsus) di lima wilayah adat pada 17-18 November untuk menjaring aspirasi publik mengenai otsus. Hingga kini, baru satu RDP yang terlaksana, yakni di Kabupaten Biak Numfor.
Pada RDP di Merauke, sebanyak 54 orang ditangkap karena pesertanya dituduh melakukan makar dan melanggar protokol kesehatan Covid-19, meski kemudian mereka semua dilepaskan kembali karena kurang bukti.
Timotius Murib menyesalkan apa yang terjadi.
“Otsus mau lanjut atau batal itu tergantung hasil evaluasi terlebih dahulu. Ini mau MRP evaluasi, polisi datang, bubarkan dengan alasan Covid-19. Kami hargai itu karena saat ini kita harus concern soal Covid.
“Tapi coba hargai juga karena MRP itu lembaga negara. Yang evaluasi otsus itu rakyat Papua melalui MRP dan DPRD, seperti di atur di UU otsus. Kalau tidak seperti itu, pemerintah bohong namanya.
“Kami MRP tidak bicara tentang kemerdekaan Papua. Itu urusan, agenda Tuhan. Kami bicara masalah kehidupan, pasal-pasal dalam Otsus,” kata Timotius.
Sebelumnya, Kepala Polda Papua. Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw. telah mengeluarkan maklumat pelaksanaan RDP.
Maklumat itu, antara lain, mengatur bahwa RDP tak boleh diikuti lebih dari 50 orang untuk mencegah penularan Covid-19 dan melarang makar.
Mempertimbangkan apa yang terjadi, Timotius Murib mengatakan pihaknya akan menunda RDP sampai waktu yang belum ditentukan.
Apa yang akan dilakukan pemerintah?
Tenaga ahli Deputi V dari Kantor Staf Presiden RI, Laus Rumayom, mengatakan timnya akan melakukan kunjungan ke Papua dan Papua Barat pada awal Desember untuk membicarakan sejumlah hal, dari Pilkada hingga otsus.
“Juga mungkin nanti akan mendengar aspirasi, bagaimana dinamika MRP dan proses RDP yang kemarin dilakukan. Ada yang yang berjalan, tidak berjalan, ada yang dilarang… itu kan menimbulkan ketidakpercayaan publik tehadap otsus.
“Sebenarnya ini hal yang mudah untuk kita didialogkan, karena masalahnya jelas, orangnya jelas, kebijakannya jelas, UU dan anggarannya jelas, tapi malah kemudian buyar,” kata Laus.
Laus, yang sebelumnya tercatat sebagai dosen di Universitas Cenderawasih itu lanjut mengatakan pendapat masyarakat Papua perlu didengar terkait dengan otsus.
Sejak tahun 2002 hingga 2020 ini, Papua dan Papua Barat telah memperoleh dana otonomi khusus (otsus) yang jumlahnya mencapaisekitar Rp94 triliun.
Tiap tahunnya, dana yang diperoleh kedua provinsi itu pun meningkat. Pada 2021, pemerintah menganggarkan Rp7,8 triliun untuk dua provinsi itu, meningkat 3,3% dari tahun 2020.
Dalam rapat terbatas di bulan Maret lalu, Jokowi meminta jajarannya melakukan evaluasi menyeluruh terkait tata kelola dan efektivitas penyaluran dana otsus.
“Jadi sangat penting good governance-nya, penyalurannya, apakah betul-betul sudah ter-delivered ke masyarakat, apakah sudah tepat sasaran, outputnya seperti apa.
“Serta yang paling penting harus kita lihat sejauh mana dampaknya. Apakah dana otsus telah dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat di Papua maupun Papua Barat,” kata Jokowi, sebagaimana dikutip dari laman setneg.go.id.
Sarankan investigasi pemerintah
Kembali terkait sejumlah foto palsu untuk mempromosukan otsus, peneliti dan pengajar Universitas Leiden, Peter Burger, menyarankan pemerintah Indonesia untuk menginvestigasi temuan itu.
“Saya pikir, ini adalah tugas yang jelas untuk pemerintah mana pun untuk menginvestigasi hal ini karena ini berkaitan dengan kebijakan nasional.
“Ini tentang demokrasi, tentang apakah sebuah informasi bisa dipercaya. Jadi jelas, pemerintah perlu memperhatikan hal ini,” ujar Peter.
Di sis lain, Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM, Jaleswari Pramodhawardani, tak merespons hal ini dengan spesifik.
Ia hanya mengatakan pemerintah tak bisa berspekulasi terkait pihak-pihak dalam pemberitaan dan hanya meminta masyarakat bijak bermedia sosial.
“Pemerintah oleh karenanya menghimbau seluruh masyarakat untuk selalu bijak dalam menggunakan media sosial,” pungkasnya.(msn)