Indovoices.com- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan Buku Moderasi Beragama tidak ditujukan untuk umat beragama tertentu, melainkan bagi seluruh umat beragama, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.
“Karena ketika kita hidup di tengah globalisasi. Kita tidak bisa lagi berbicara tentang konteks Indonesia semata, tapi konteks dunia. Dan tidak hanya bicara agama Islam saja melainkan seluruh agama yang ada,” ujar Menag Lukman usai meluncurkan Buku Moderasi Beragama di Auditorium HM Rasjidi, Kantor Kementerian Agama Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Menurut Menag, buku Moderasi beragama itu menjelaskan tentang apa Moderasi Beragama, mengapa harus memiliki cara pandang perspektif yang moderat dalam beragama, dan lalu kemudian bagaimana implementasi dari moderasi beragama.
“Tentu pertama buku ini ditujukan khususnya kepada ASN Kementerian Agama, karena bagaimana pun juga seluruh ASN Kemenag harus menjadi garda terdepan dalam mensosialisasikan perspektif yang moderat dalam beragama. Jadi bukan agamanya yang kita moderasi tapi cara kita beragama agar senantiasa pada jalurnya yang moderat,” kata Menag.
Selain ASN Kemenag, lanjut Menag, adalah masyarakat secara luas. Pasalnya dalam konteks Indonesia moderat dalam beragama itu juga bagian yang tidak bisa dipisahkan dari strategi kebudayaan. Sebab Indonesia adalah negara dan bangsa yang sangat majemuk, heterogen dan sangat agamis.
Ditambahkan Menag, beragam pandangan dan tafsir keagamaan yang ada harus senantiasa terjaga pada semangat moderasi, tidak terjerumus pada pengamalan yang berlebihan. “Bila terjerumus, tidak hanya merusak sendi nilai-nilai keagamaan itu sendiri tapi juga merusak bangunan atau pondasi dalam hidup berbangsa dan bernegara,” tegas Menag.
Menag menuturkan, di tengah kehidupan yang semakin kompleks, tafsir terhadap nilai agama itu semakin beragam. Hal ini menuntut umat beragama, lebih rendah hati dalam menyikapi keragaman. Sebab, keragaman adalah kehendak Tuhan.
“Maka yang dituntut dari kita bukan untuk menyeragamkan semua yang berbeda tapi adalah kearifan kita untuk bagaimana keragaman itu kita dapatkan hikmah di baliknya. Buku ini sebenarnya dalam rangka mewujudkan semua itu,” ujarnya.
Fakta lainnya, tambah Menag, ada orang yang sedemikian rupa dan sangat fanatik dalam beragama tapi tidak didukung dengan wawasan ilmu kegamaan yang cukup. Sehingga ketika dia melihat adanya perbedaan pada pihak lain, lalu dengan cepat dan mudah menyalahkan pihak yang tidak sama bahkan mengkafirkan yang berujung pada konflik dan sengketa .
“Hal-hal seperti inilah yang mesti kita antisipasi sehingga cara kita beragama itu harus penuh kearifan dan moderat,” tutup Menag. (jpp)