Indovoices.com-Di Kabupaten Dairi paska Pilkada Aparatur Sipil Negara berpolemik. Banyak kepala sekolah diganti. Pergantian itu mendapat reaksi. Kenapa?. Apakah ada kaitan dengan dukung mendukung di Pilkada?.
Polemik itu kemungkinan ada kaitan. Mengapa?. Bisa saja ketika Pilkada ASN terang benderang memberi dukungan. Dalam pengamatan saya, diberbagai daerah hal itu terjadi. ASN terang benderang memberikan dukangan ke calon, khususnya ke Petahana. Jadi, wajar kan ASN semacam itu “dilibas” penguasa baru. Jika hal ini terjadi di tubuh ASN, maka rakyat juga menderita. Bupati atau penguasa baru kesulitan mendapat Sumber Daya Manusia (SDM) yang bagus. Rakyat susah, bupati kesulitan.
Bagaimana pemerataan SDM ASN kita?. Kita sadar bahwa ASN lolos dengan seleksi yang tidak transparan. Di era digital ini, seleksi sedikit lebih baik. Kalau dulu, ada orang bangga menyogok. Kalau yang satu ini memang sangat aneh. Ada orang bangga lulus karena menyogok. Cerita ini biasa kita dengar dimasyarakat.
Lalu, bagaimana jika ASN lulus karena hasil sogok?. Dan, bagaimana pula peningkatan kualitas mereka agar optimal melayani masyarakat?. Apakah ada program peningkatan mutu ASN secara kontinu?. Hampir tidak ada. Itulah sebabnya, ketika terjadi hama padi atau terjadi persoalan pertanian, ASN terkait kelabakan. Kemudian, kita tidak menemukan teknologi pertanian atau sentuhan teknoligi apapun di daerah. ASN tidak kreatif.
Bagaimana ketika ASN lulus karena kompetensi?. Mengapa mereka juga tidak menampilkan teknologi?. Iya, sulit. Mengapa?. Jawabnya jelas tidak ada anggaran. Atau, anggaran tidak cukup.
ASN ada dua tipe. Tipe pertama adalah malas. Tipe ini hanya menunggu gaji. Dia absen atau menitip absen. Tipe kedua adalah cerdas, berontak tapi tak memiliki wewenang. Tipe ini bisa membangun kerjasama dan sangat kreatif, tetapi dihalangi atasan. Tipe dua inilah yang menjadi stres.
Publik menginginkan ASN rajin ke kantor. Pertanyaanya adalah mau melakukan apa?. Kalau urusan surat surat mungkin bolehlah. Karena rakyat butuh tanda tangan. Atau, berbagai kebutuhan publik. Bagaimana dengan ASN yang tidak ada pekerjaan karena tidak ada anggaran. Haruskah disiplin ke kantor. Sudah jelas tak ada pekerjaan, tidak bisakah menjemput anak atau pergi ke pesta atau kegiatan lain?. Haruskah ASN yang belanja ke pasar untuk keluarga harus dikejar-kejar pamong praja?.
ASN itu memiliki keluarga, memiliki kebutuhan dan persoalan. Harus hadir kah?. Inilah akibat pikiran kita masih kuno. Kita tidak membuka pikiran. Sejatinya mereka memiliki otoritas untuk menentukan kerjanya. Mereka adalah orang dewasa yang sudah bisa menentikan tugas-tugasnya. Hanya, diberikan tanggungjawab. Mereka bekerja berdasarkan tanggungjawab. Tanggungjawab itulah yang harus dievaluasi.
Cara pendekatan kepada ASN menentukan kinerja mereka. Jika anggaran cukup, pekerjaan banyak, insentif jelas, apakah mereka malas ke kantor seperti yang dituduhkan?. Jika SDM mereka terus diperbarui, pekerjaan jelas dan menantang, apakah mereka malas?.
Sadarlah kita, bahwa mereka yang malas diakibatkan pekerjaan yang tidak ada karena anggaran. Mengapa anggaran terbatas? Apakah karena korupsi?. Korupsi atasan juga membuat mereka makin malas. Tersiksa bak di neraka.
Jika kita hendak memiliki ASN yang merdeka, perlu kita objektif. Pembinaan SDM secara terus menerus harus berjalan. Insentif dan pekerjaan yang terus menantang diberikan kepada mereka. Jika itu diberikan, niscaya ASN kita optimal untuk melayani rakyat.
Gurgur Manurung, pengamat sosial dan lingkungan