Indovoices.com –Data soal pasien Covid-19 di Indonesia, seperti gejala yang dialami, penyakit penyerta, usia, dan lain-lain masih minim.
Misalnya, data gejala dan penyakit penyerta pada pasien Covid-19 yang dipublikasi di laman covid19.go.id, baru data 7 persen pasien.
Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan, dengan data yang lengkap, banyak hal yang bisa diungkap seperti pola penularan, dan lain-lain, sehingga bisa menetapkan strategi penanganan yang tepat sesuai dengan pola penyakit dan pola gejala mayoritas di Indonesia.
“Kita bisa melihat setiap negara ada gejala keluhan utamanya itu ada yang demam, ada yang ternyata keluhan utamanya yaitu berupa gangguan penciuman misalnya. Atau, di kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, bisa jadi ada hal-hal yang sifatnya karakteristik/khas unik di wilayah tersebut,” kata Dicky Budiman.
Menurut dia, untuk mengetahui hal tersebut maka perlu dilakukan kajian, analisa, dan penggalian datanya.
Untuk melakukannya, pemerintah bisa melibatkan para tenaga medis.
“Pemerintah bisa bekerja sama dengan IDI, dengan persatuan dokter spesialis. Terutama dalam kaitannya dengan pandemi ini, saya sarankan kerja sama lah dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia, dengan dokter obgyn (spesialis kebidanan & kandungan Indonesia), dengan dokter kulit, bahkan bisa dengan ikatan dokter jiwa atau psikiatri Indonesia,” kata Dicky.
Dengan kerja bersama, menurut Dicky, bisa didapatkan data-data versi Indonesia yang mencakup karakteristik penularan virus corona di Tanah Air.
Data-data ini merupakan aset yang berharga di masa depan.
“Tidak hanya saat ini, tapi juga nanti untuk bekal pandemi kita selanjutnya, karena ini bukan pandemi kita yang terakhir,” jelas Dicky
Perlu dibuka kepada publik
Jika ada data yang spesifik dan lengkap, kata Dicky, seharusnya juga disampaikan secara terbuka kepada publik agar masyarakat lebih berhati-hati.
“Termasuk perlu juga disampaikan kepada pemerintah daerah, sebelum mereka misalnya memutuskan kebijakan membuka sekolah kan harus mendapat juga masukan dari klinisi (misalnya dokter anak),” kata Dicky.
Menurut dia, penyajian data pasien secara lengkap sangat bermanfaat. Namun, ia menekankan, hal ini hanya terkait data terkait Covid-19, bukan identitas pribadi pasien.
“Tetapi data demografik (bagaimana sebaran lokasinya) symptom atau keluhan utama yang umumnya timbul, nanti bisa dilengkapi juga dengan per individu itu. Kita bisa lihat dari mulai dia dugaan kontak, sampai dugaan terjadinya gejala awal, sampai dia akhirnya masuk rumah sakit,” kata Dicky.
Melalui data-data ini, dapat diketahui pula berapa lama waktu yang dibutuhkan di Indonesia dari sejak seseorang terpapar hingga timbulnya gejala.
“Ini merupakan informasi yang sangat berharga, sehingga setiap strategi yang kita buat akan berdasarkan apa yang memang terjadi di dalam konteks sebaran-penyebaran Covid-19 di Indonesia,” ujar dia.
Pemetaan pasien juga bisa digunakan untuk menganalisa faktor risiko penderita Covid-19 di Indonesia, misalnya risiko obesitas, jantung, atau hipertensi yang informasinya diperoleh dari para ahli.
Gejala batuk, demam, dan sesak napas
Jika melihat statistik yang ditampilkan pada laman covid19.go.id, sebagian besar pasien memiliki gejala yang umum seperti sering disampaikan oleh WHO, yaitu batuk, demam, dan sesak napas.
Namun, data itu berdasarkan data 7 persen pasien.
Dari data di atas, sebanyak 76,7 persen pasien disebut mengalami batuk.
Pasien dengan gejala riwayat demam dan demam masing-masing sebanyak 52,4 persen dan 47,4 persen.
Sementara, 41,5 persen pasien Covid-19 di Indonesia menderita sesak napas dan 33,4 persen pasien memiliki gejala sesak napas.
Beberapa pasien juga merasakan gejala seperti sakit tenggorokan (32,1 persen), pilek (31,2 persen), dan sakit kepala (23,7 persen).
Selain itu, ada 19,7 pasien menderita gejala mual, 17 persen mengalami keram otot, 10,8 persen pasien memiliki gejala menggigil, 8,5 persen menderita diare, dan 7,3 pasien bergejala sakit perut.(msn)