Di saat BPN dan para pendukungnya masih berpolemik dengan narasi curang KPU, yang lucunya tidak dapat mereka buktikan hingga saat ini. Jokowi telah bergerak ke depan membahas tentang pemindahan Ibukota dari DKI ke wilayah baru melalui rapat terbatas (ratas) dengan kementerian terkait, beberapa hari yang lalu.
Hal ini juga terlihat dari postingan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di media sosialnya mengenai wacana pemindahan ibu kota Indonesia. Lewat akun Instagramnya @jokowi, beliau bertanya kepada netizen untuk memilih daerah yang cocok sebagai ibu kota baru Indonesia.
Banyak spekulasi bermunculan terkait di mana tepatnya Ibukota baru akan dibangun. Meskipun Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro sudah memberikan clue bahwa ibukota baru tersebut berada di luar pulau Jawa, namun tidak sedikit yang berharap Ibukota masih di pulau Jawa, terutama di Jonggol Jawa Barat.
Berbagai alasan yang mendasari pemindahan ibukota juga mengemuka. Salah satu yang utama adalah sudah tidak layaknya lagi DKI Jakarta menjadi ibukota. Jakarta saat ini memikul dua beban sekaligus, yakni sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik, juga pusat bisnis.
Dengan luas yang hanya 661 hektare, Jakarta harus dipadati oleh penduduk yang diperkirakan berjumlah hampir 11 juta jiwa (15.663 jiwa/kilometer persegi). Bandingkan dengan Singapura yang luasnya 721 hektare dengan jumlah penduduk 5,64 juta (6.500 jiwa/kilometer persegi). Kemacetan, banjir menambah kesemrawutan di kota Jakarta. Belum lagi persoalan permukaan tanah yang terus turun setiap tahunnya mengancam tenggelamnya kota Jakarta. Diperkirakan tahun 2030 beberapa wilayah di Jakarta akan mulai tenggelam permanen, dan 95 persen daratan Jakarta akan tenggelam di tahun 2050.
Faktor lainnya adalah posisi geografis DKI Jakarta yang dianggap rawan bencana karena berada di jalur Lingkaran Cincin Api Asia Pasifik. Selain itu pemerataan pembangunan, di mana adanya harapan dengan pemindahan Ibukota, pembangunan dapat lebih merata menyebar ke daerah, tidak bersifat Jawa sentris lagi namun sudah Indonesia sentris. Hal ini sesuai dengan Visi-Misi Nawacita, butir ketiga yaitu komitmen untuk membangun Indonesia dari pinggiran.
Ada beberapa wilayah di Indonesia yang dipertimbangkan menjadi kandidat pengganti Ibukota negara. Yang paling mendapat sorotan adalah pulau Kalimantan.
Pemilihan ibukota baru di pulau Kalimantan sendiri bukannya tanpa alasan. Selain posisinya yang relatif di tengah Indonesia. Pulau Kalimantan juga dianggap cukup aman dari bencana alam seperti gempa bumi, tsunami maupun letusan gunung berapi. Hal ini mengingat letaknya yang lebih jauh ke utara dari deretan Gunung Berapi di Lingkaran Cincin Api Pasifik. Ring of Fire atau Cincin Api adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi, akibat bertemunya tiga tumbukan lempeng benua, yakni, Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur.
Jumlah penduduk di Kalimatan pun relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan tempat lainnya di Indonesia dengan tanah yang luas, sangat memungkinkan pengembangannya di masa depan. Namun dari kelima provinsi (Kalimantan Barat, Utara, Tengah, Selatan dan Timur), mana kah yang lebih tepat?
Nama kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah dianggap yang paling punya kans kuat untuk menjadi ibukota baru. Hampir seluruh persyaratan yang dikemukakan oleh Menteri Bappenas mampu dipenuhi oleh Palangkaraya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyebut setidaknya ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh calon ibukota ini.
Pertama, ibu kota baru harus memiliki lokasi strategis secara geografis, yaitu berada di tengah wilayah Indonesia. Letak geografis Palangkaraya dianggap berada di tengah wilayah Indonesia.
Kedua, luas lahan daerah yang akan menjadi calon ibu kota mencukupi, baik lahan tersebut milik pemerintah maupun milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran mengatakan ada lahan seluas 300 ribu hektare di Kota Palangkaraya yang bisa dijadikan ibu kota negara baru.
Ketiga, wilayah harus bebas bencana alam atau setidaknya paling minim risiko. BNPB menyebut Kalimantan merupakan wilayah yang aman dari bencana.
Keempat, untuk meminimalisir kebutuhan pembangunan infrastruktur baru, pemerintah ingin ibu kota baru berada di kota yang sudah cukup berkembang. Palangkaraya juga termasuk kota yang sudah jadi. Artinya, daerah ini sudah lengkap dengan berbagai fasilitas penunjang seperti transportasi hingga pusat-pusat bisnis.
Kelima, dekat dengan pantai. Menurutnya, hal ini harus ada karena identitas Indonesia merupakan negara maritim, sehingga sebaiknya ibu kota lokasinya tidak jauh dari pantai tapi tidak harus di tepi pantai itu sendiri. Mungkin ini satu-satunya kelemahan atau justru menjadi keunggulan Palangkaraya, meski terletak agak jauh dari pantai namun terdapat banyak sungai di Palangkaraya. Selain itu dengan posisi yang agak jauh dari pantai, menjadikan Palangkaraya relatif aman dari bencana Tsunami.
Keenam, ada akses dan layanan air minum, sanitasi, listrik, dan jaringan komunikasi yang memadai. Sama seperti syarat keempat, akses dan layanan, listrik, sanitasi dan berbagai jaringan komunikasinya sudah cukup memadai.
Ketujuh, memiliki risiko konflik sosial yang minim dan masyarakatnya memiliki budaya terbuka terhadap pendatang. Sebab, nanti akan banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berdatangan ke kota tersebut untuk bekerja di pemerintahan. Jika ditinjau dari aspek sosial dan budaya, Palangkaraya merupakan wilayah dengan penduduk yang beragam. Selain penduduk asli Kalimantan yaitu Suku Dayak, Palangkaraya juga dihuni oleh berbagai suku mayoritas dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Suku Jawa, Suku Banjar, Suku Madura, Suku Sunda, Suku Bali, dan Suku Batak sehingga jika ada urbanisasi besar-besaran yang terjadi diperkirakan tidak akan menjadi suatu ancaman bagi warga lokal.
Kedelapan, tidak dekat perbatasan dengan negara tetangga. Posisi Palangkaraya sangat jauh dari perbatasan Indonesia Malaysia, malah provinsi Kalimantan Tengah tidak memiliki perbatasan langsung dengan Malaysia.
Namun terlepas apakah benar Ibukota baru akan berlokasi di Banjarmasin, Palangkaraya maupun kota lainnya di Kalimantan. Pemerintah telah menghitung estimasi biaya yang dibutuhkan dengan dua alternatif yakni, Pertama, sebesar Rp 466 triliun dan kedua sebesar Rp 323 triliun.
Setidaknya diperkirakan butuh waktu 10 tahun untuk merealisasikan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. Jadi bila implementasi dikerjakan mulai tahun 2020, pemindahan secara keseluruhannya baru akan selesai di tahun 2030.
Pemindahan ibukota itu sendiri sudah muncul sejak lama oleh berbagai Presiden. Soekarno ingin memindahkan ibu kota negara ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, saat meresmikan Palangkaraya sebagai ibu kota Provinsi Kalteng pada tahun 1957.
Soeharto lebih memilih Jonggol, Jawa Barat sebagai ibukota baru. Malah sempat dikeluarkan Keputusan Presiden yang khusus mengatur pengembangan kawasan seluas 30 ribu hektar itu. Tapi belakangan proyek itu ternyata cuma akal-akalan sejumlah pengusaha agar bisa menaikkan harga tanah setempat. Begitu rezim Soeharto tumbang, rencana pun terbengkalai.
Sedangkan SBY juga tidak mau kalah, dirinya bahkan sempat membentuk tim khusus yang bertugas mengkaji wacana tersebut. Hasilnya Banyumas disebut sebagai daerah yang cocok untuk dijadikan ibukota pengganti Jakarta.
Pemerintah Kabupaten Banyumas ketika itu bahkan sudah sempat menyiapkan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah sebagai ibu kota negara. Namun lagi-lagi rencana itu tidak berlanjut hingga masa kepemimpinan SBY berakhir.
Ketiga-tiganya adalah presiden yang memiliki masa kekuasaan 10 tahun atau lebih. Namun tidak ada yang mampu merealisasikannya.
Di bulan April 2017, atas instruksi Presiden Joko Widodo, Bappenas bergerak mengkaji rencana pemindahan ibu kota. Gagasan ini semakin mendapat dorongan segar setelah dibahas di tingkat rapat kabinet terbatas pada Senin 29 April 2019.
Jika rencana besar pemindahan Ibukota ini terwujud, walaupun tidak sampai selesai di masa pemerintahan Jokowi. Namun lompatan besar ini mampu menunjukkan kelas Jokowi sebagai pemimpin “Man of Action“, pemimpin yang tidak banyak bicara namun memiliki keberanian untuk bertindak.