Indovoices.com- Awalnya saya ke Sigapiton untuk menjawab pertanyaan apakah pengelolaan Badan Otorita Pengelolaan Danau Toba (BPODT) itu sesuai dengan konsep dasar atau prinsip dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development)?. Bagaimana penerapan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam BPODT?. Bagaimana proses pembuatan dokumen lingkungan?. Apakah BPODT taat terhadap dokumen lingkungan yang dibuat?. Jawaban itu sulit. Mengapa sulit?. Karena BPODT tidak transparan. Sebagai warga negara yang belajar Ilmu lingkungan prihatin. Sedihnya, orang seperti saya akan disebut provokasi yang tidak bertanggung jawab. Lah, pertanyaan mendasar disebut tidak bertanggung jawab?.
Pertanyaan itu muncul karena rakyat Sigapiton datang ke Jakarta untuk memberitahukan penderitaan mereka. Saya menjumpai mereka di kantor Pembaruan Reforma Agraria. Rakyat Sigapiton juga mengadu ke Kantor Staf Presiden (KSP). Mungkin karena aduan itulah Presiden Jokowi meminta agar jangan ada rakyat Sigapiton tersakiti.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan itu, saya melihat langsung ke Sigapiton dengan biaya sendiri. Cukup mahal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saya naik pesawat ke Silangit dan menuju Sigapiton. Saya mengobrol dengan Kades dan Sekdes Sigapiton.
Dua hari kemudian, saya ada di Siborongborong. Saya membaca medsos. Melihat ibu-ibu Sigapiiton telanjang. Muncul lagi pertanyaan, “mengapa sampai telanjang?”. Apa yang terjadi?. Untuk menjawab pertanyaan mengapa, saya berangkat ke Sigapiton hingga larut malam.
Besoknya, rakyat Sigapiton unjuk rasa dan bentrok dengan pamong praja (pp), dan polisi. Sejak itu saya melihat mereka secara dekat dan sangat prihatin.
Jika kita memiliki nurani dan kepekaan sosial kita patut merenung, ketidakadilan apa yang terjadi sehingga mereka hingga telanjang?. Bagaimana mereka memaknai persoalan ini hingga telanjang?. Ternyata mereka menyadari bahwa,”tanah hangoluan (tanah itu kehidupan)). Tidak ada kehidupan tanpa tanah. Ketika tanah mereka diambil maka kehidupan sudah tidak ada. Apakah orang seperti itu orang yang tidak bertanggungjawab?. Merekalah yang bertanggungjawab atas bumi dan anak cucu mereka. Mereka memiliki peradaban. Benarlah mereka masyarakat adat. Filosofi mereka bahwa tanah adalah kehidupan.
Dari ilmu lingkungan dikenal istilah holistik terintegratif. Artinya, semua ilmu digabungkan untuk sebuah keberlanjutan. Disiplin ilmu apa saja yang dibutuhkan untuk mengembangkan pariwisata Sigapiton?. Sesuai konsep Perserikatan Bangsa-bangsa yang sudah kita ratifikasi yaitu pembangunan berkelanjutan (sustainable development) maka dibutuhkan ilmu sosiologi, khususnya ahli sosiologi pedesaan, ilmu lingkungan, anthropologi, hukum, ekonomi ( khususnya ekonomi hijau), geologi, kehutanan, pertanian, pariwisata, budaya, sastra dan berbagai disiplin ilmu. Realitanya, di Sigapiton yang berlaku adalah militeristik. BPODT selalu bicara karena ini proyek strategi nasional maka harus jalan. Sikap BPODT inilah yang melukai rakyat Sigapiton.
Sedih dan prihatin jika Luhut Binsar Panjaitan mengatakan kepada Jokowi agar tidak mendengar provokasi dari yang tidak bertanggungjawab. Saya katakan bahwa mereka yang kritis terhadap kehadiran BPODT sangat bertanggungjawab. Indikatornya adalah mereka yang memahami isi relung hati rakyat Sigapiton. Dalam bahasa Bataknya,”nasida do naumboto roha ni par Sigapiton (mereka yang paham isi relung hati rakyat Sigapiton). Luhut Binsar Panjaitan sebaiknya berhenti dengan gaya militernya. Siapa yang mengerti isi hati rakyat Sigapiton?. Luhut atau rakyat yang kritis?. Rakyat Sigapitonlah yang menjawabnya.
Di tengah rakyat Sigapiton berduka, BPODT membuat acara Napuran Tiar. Disambung dengan acara peresmian Toba Caldera resort yang menghadirkan menteri perhubungan, menko maritim, menteri pariwisata, gubsu dan lain sebagainya. Bergembira diatas penderitaan rakyat Sigapiton?.
BPODT terus bergerak tanpa kepastian yang dibutuhkan rakyat. Lalu, resiko pembangunan ini rakyat Sigapitonlah yang menanggung. Perputaran ekonomi yang kata Luhut dahsyat itu tak begitu penting bagi rakyat Sigapiton. Mereka hanya butuh kepastian tanahnya.
Kepastian itu diberikan oleh manusia yang mengasah nurani. Penyair Sitor Situmorang sejak lama sudah mengingatkan agar pastikan tuan rumah bisa saling mengerti dengan pendatang. Kini, Sigapiton tak mendapat kepastian. Model pemaksaan itu memang sudah harus dihentikan. Di dokumen BPODT tertulis indikator keberhasilan BPODT adalah tidak ada pemaksaan. Proyek jalan jika rakyat secara sadar menerima kehadiran BPODT.
*Gurgur Manurung alumnus Pascasarjana IPB bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.