Dalam pidatonya, Prabowo Subianto menyampaikan pidato kebangsaan di acara ‘Prabowo Subianto Menyapa Masyarakat dan Purnawirawan TNI/Polri DIY-Jateng‘ di Grand Pacific Hall, Sleman, DIY. Di depan hadirin, Prabowo kembali menyebut korupsi di Indonesia sudah stadium empat.
“Saya rasakan rakyat Indonesia sudah mengerti, rakyat Indonesia sudah tidak bisa dibohongi lagi. Kalau saya mengatakan perasaan saya, korupsi di Indonesia sudah stadium 4, betul atau tidak, betul atau tidak?‘ tanya Prabowo ke hadirin yang dijawab ‘betuuulll!!!‘ secara serempak, Rabu 27 Februari 2019.
Pernyataan tersebut merupakan pengulangan dari apa yang pernah disampaikan olehnya dalam acara The World in 2019 Gala Dinner yang diselenggarakan di Singapura, tanggal 27 November 2018.
Ketika itu, Prabowo juga menyebutkan soal korupsi di Indonesia yang sudah seperti kanker stadium empat. Menanggapi hal itu, Ahmad Basarah fungsionaris PDIP sekaligus juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, menyebutkan, maraknya korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak era Presiden Soeharto. Karena itu, ia menyebut, Soeharto sebagai guru dari korupsi di Indonesia.
“Jadi, guru dari korupsi indonesia sesuai TAP MPR Nomor 11 tahun 1998 itu mantan Presiden Soeharto dan itu adalah mantan mertuanya Pak Prabowo,” kata Ahmad Basarah, usai menghadiri diskusi di Megawati Institute, Menteng, Jakarta, Rabu 28 November 2018.
Tidak terima terhadap pernyataan Basarah, Ketua DPP Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang mengungkapkan akan memproses hukum fungsionaris PDIP sekaligus juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, Ahmad Basarah yang menuding Presiden kedua Soeharto sebagai guru korupsi.
Pasalnya, Badaruddin menilai julukan bapak korupsi tidak pantas disematkan pada Soeharto. Menurutnya, TAP MPR tidak dikonotasikan untuk Soeharto. Dia pun meminta Basarah tidak membawa-bawa nama penguasa orde baru itu untuk popularitas ataupun kampanye.
Menurutnya, korupsi sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Sehingga julukan tersebut tidak pantas dialamatkan kepada Soeharto yang punya jasa membangun bangsa ini.
Kalau soal Tap MPR dikonotasikan dengan atau tidak dengan Soeharto, itu mah debatable (dapat diperdebatkan). Hanya saja menurut saya lucu kalau Badaruddin menariknya hingga jaman Belanda. Karena korupsi itu kalau mau dirunut ya sejak munculnya peradaban manusia, juga sudah ada. Namun bila kita mengacu sejak bangsa Indonesia ini berdiri atau merdeka hingga sekarang, apa yang disampaikan Basarah, kiranya lebih tepat.
Terutama bila kita melansir temuan dari Transparency International yang menyebutkan total perkiraan korupsi yang dilakukan oleh Soeharto selama 32 tahun menjadi Presiden, mencapai 15-35 miliar dolar AS sekaligus menobatkan dirinya sebagai pemimpin terkorup di dunia.
Bahkan disebut-sebut jika hasil korupsi yang dilakukan bekas diktator Zaire Mobutu Sese Seko yang berada di peringkat ke 3 dan bekas Presiden Filipina Ferdinand Marcos yang berada di peringkat ke 2, bila digabungkan pun masih belum sanggup mengalahkan hasil korupsi yang dilakukan oleh Suharto.
Soeharto menjabat sebagai presiden di Indonesia dalam jangka waktu yang sangat lama yakni 32 tahun, tahun 1967-1998. Selama menjadi presiden, dirinya menempatkan anggota keluarganya di kursi kementrian dan memberikan sejumlah perusahaan besar untuk ditangani oleh anaknya.
Kabar yang saya baca menyebutkan Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto telah melaporkan Ahmad Basarah ke pihak berwajib. Laporan tersebut terkait pernyataan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu yang menyebut Soeharto adalah guru korupsi.
Menurut Tommy, korupsi justru secara masif terjadi di era reformasi hingga sekarang ini. Hal itu dibuktikan dengan banyak para pelaku yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara akibat terjerat kasus korupsi.
Lagi-lagi apa yang disampaikan Tommy menurut saya adalah logika yang sesat. Bila di jaman orba, koruptor jarang ditangkap bukan berarti karena jumlah koruptornya sedikit, setidaknya salah satu faktor utamanya adalah belum adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang khusus membidik para koruptor.
Sementara di jaman Reformasi terutama setelah adanya KPK, penangkapan terhadap koruptor jauh lebih massif, borok-borok korupsi yang dulu tersimpan rapat dibongkar habis-habisan. Hal ini dibuktikan oleh skor peringkat anti korupsi yang terus membaik seperti yang dilansir oleh Transparency International
Tahun 1995 : Peringkat 41 (paling bawah) dengan Skor 1,9 (dari 41 negara)
Tahun 1996 : Peringkat 45 dengan Skor 2,6 (dari 54 negara)
Tahun 1997 : Peringkat 46 dengan Skor 2,7 (dari 52 negara)
Tahun 1998 : Peringkat 80 dengan Skor 2,0 (dari 85 negara)
Tahun 2014 : Peringkat 107 atau naik 7 peringkat dari tahun sebelumnya dengan skor 34. (Dari 168 negara)
Tahun 2015 : peringkat Indonesia juga naik dari menjadi 88 dengan skor 36. (Dari 168 negara)
Tahun 2016 : berada di peringkat ke-90 dengan skor 37. (Dari 180 negara)
Tahun 2017 : Indonesia ada di peringkat ke-96 dengan nilai 37. (Dari 180 negara)
Dari perbandingan di atas kita dapat melihat dari tahun 1995 hingga 1998, Indonesia selalu masuk 5 besar negara paling korup di dunia (bahkan di tahun 1995 berada di peringkat negara paling korup di dunia). Bila dibandingkan dengan periode 2014 hingga 2017, skor antikorupsi Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal ini menandakan adanya kemajuan dalam upaya pemberantasan korupsi dan kemajuan ini akan terus meningkat dari tahun ke tahun selama pemerintahan Jokowi.
Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh konsistensi Jokowi untuk tidak menempatkan anak-anak dan keluarganya dalam pemerintahan. Belum lagi sikap konsisten Jokowi yang memilih untuk tidak sekalipun mengintervensi hukum bahkan terhadap kader-kader satu partainya yang terlibat masalah hukum. Semua itu membuat KPK dapat bergerak leluasa melibas para koruptor dari partai mana pun koruptor itu berasal, termasuk dari partai yang berkuasa saat ini sekalipun.
Keinginan kuat memberantas korupsi juga tercermin dari upaya Jokowi yang belum lama ini menandatangani kerjasama Mutual Legal Assitance (MLA) dengan negara Swiss. Untuk memblokir dan menyita harta kekayaan hasil korupsi para koruptor yang diperkirakan berjumlah fantastis, yang disembunyikan di Swiss selama ini.
Sikap konsisten seperti yang dicontohkan Jokowi tentu jauh berbeda bila kita bandingkan dengan Prabowo. Di mulut menyebut korupsi sudah stadium empat, namun partainya pula yang ikut mengusung caleg mantan koruptor.
Hal ini dapat kita ketahui dari data yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 20 September 2018 yang lalu. Setidaknya ada enam caleg DPRD Gerindra yang merupakan mantan koruptor.
Jadi bagaimana kita bisa percaya seorang Prabowo memiliki keinginan kuat untuk memberantas korupsi? Bila tindakan paling mudah seperti mencoret caleg mantan koruptor saja tidak mampu dia lakukan.
Bagaimana kita bisa percaya seorang Prabowo memiliki keinginan kuat untuk mensejahterakan rakyat bila gaji karyawannya sendiri belum dibayar hingga hari ini?
Atau bagaimana kita bisa percaya seorang Prabowo berbicara soal lahan yang dikuasai oleh 1 persen elite di Indonesia, sementara dia sendiri adalah tuan tanah dari 340.000 hektar lahan di Aceh dan Kaltim (lima kali luas Jakarta)?
Serta bagaimana dia berbicara soal hutang Indonesia, bila dirinya saja melalui PT Kertas Nusantara masih berutang kepada kreditur Allied Ever Investment Limited sebesar US$ 40 juta yang harus dilunasinya dalam tempo 20 tahun?
Dirinya bahkan pernah mengeluh tidak mendapatkan pinjaman utang dari bank, sementara dalam berbagai kesempatan malah berkoar-koar ingin Indonesia tidak berutang?
Dari sederet contoh di atas, tercermin perbandingan ketidakkonsistenannya antara ucapan dan tindakan. Bisa jadi, apa yang selama ini dia tuduhkan ke pemerintah saat ini ternyata merupakan borok dirinya sendiri. Apa iya, orang seperti ini layak untuk dipilih? Bagaimana menurut Anda?