Indovoices.com –Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyatakan bakal menambah tiga wilayah baru di Papua sehingga ke depan terdapat lima provinsi.
Rencana pemekaran itu diungkapkan Mahfud MD seusai menggelar rapat bersama Ketua MPR Bambang Soesatyo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta perwakilan TNI-Polri di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta.
Menurut Mahfud MD, pemekaran wilayah di Papua menjadi lima provinsi adalah “amanat dari undang-undang” 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
“Revisi juga akan dilakukan, atau penegasan terhadap pasal 76 tentang pemekaran daerah Papua yang rencananya dimekarkan menjadi 5, ditambah 3 dari yang ada sekarang. Karena itu adalah amanat dari undang-undang,” ujar Mahfud kepada wartawan.
- Jokowi janji bangun Istana Presiden di Papua, pegiat sebut ‘tak sentuh persoalan’
- Papua: Pemekaran wilayah ‘tak libatkan warga asli’, diklaim demi kesejahteraan warga lokal
- Wacana pemekaran wilayah Papua Selatan: ‘Hanya akan memperpanjang masalah’
Dalam mewujudkan rencana ini, Mahfud mengatakan pemerintah akan melibatkan Kaukus Papua MPR yang bernama For Papua untuk melancarkan komunikasi antara masyarakat Papua dengan pemerintah.
“Ya untuk mengkomunikasikan perbedaan-perbedaan pendapat, mendekatkan kembali hubungan-hubungan yang mungkin masih belum jelas tentang berbagai isu itu dengan pemerintah,” kata Mahfud.
Pada kesempatan yang sama, Ketua MPR Bambang Soesatyo berargumen bahwa pemekaran Papua menjadi lima provinsi adalah demi kesejahteraan masyarakat Papua.
“Isu soal pemekaran wilayah yang telah menjadi amanat UU 21 tahun 2001 jadi lima wilayah nanti. Ini tujuannya adalah untuk lebih fokus menyejahterakan rakyat Papua, karena Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia,” kata Bambang Soesatyo.
Berawal dari kedatangan 61 orang Papua di Istana
Ide pemekaran dihidupkan ketika 61 orang Papua diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara pada September 2019 lalu.
Saleh Sangadji, salah satu dari 61 orang yang diundang presiden itu, pemekaran wilayah Papua Selatan penting untuk mendekatkan masyarakat wilayah itu dengan birokrasi.
Saleh, warga Kabupaten Mappi, mengatakan saat ini perwakilan masyarakat Papua Selatan sangat minim di level pemerintahan, termasuk di tingkat provinsi di Jayapura.
Padahal, katanya terdapat perbedaan budaya antara masyarakat di Papua Selatan dengan mereka yang tinggal di utara.
Dengan pemekaran daerah, ia berharap sarjana-sarjana asli Papua Selatan dapat menduduki posisi-posisi di pemerintahan dan menekan angka pengangguran di wilayah itu.
Saleh menambahkan, ia yakin pemekaran wilayah akan membawa peningkatan ekonomi, juga kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Sebulan setelah kedatangan 61 orang Papua, tepatnya pada 29 Oktober 2019, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebutkan ada dua aspirasi yang masuk untuk pemekaran wilayah Papua, yakni di kawasan Papua Selatan dan Papua Pegunungan.
Menurutnya, dari kedua kawasan itu, yang sudah siap menjadi provinsi baru adalah Papua Selatan.
“Pemerintah pusat kemungkinan mengakomodir hanya penambahan dua provinsi. Ini yang sedang kami jajaki. Yang jelas, Papua Selatan sudah oke,” kata Tito kepada wartawan di Jakarta, 29 Oktober 2019.
Ide pemekaran ditentang masyarakat adat dan akademisi
Ketika gagasan pemekaran muncul, perwakilan ratusan suku di Papua merasa tak pernah mengusulkan atau dilibatkan oleh pemerintah pusat dalam perencanaan tersebut.
Majelis Rakyat Papua — lembaga kultural yang mewakili secara umum masyarakat Papua dan Papua Barat — menganggap pemekaran wilayah bukan solusi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua.
“Mayoritas dari 250 suku asli Papua tidak menginginkan pemekaran. Kabupaten yang ada harus berpikir bagaimana menyejahterakan masyarakat. Dengan otsus saja, orang asli Papua tetap menderita,” ujar Ketua MRP, Timotius Murib.
Pelaksanaan otsus yang belum optimal juga menjadi dasar argumen sejumlah akademisi dalam menentang gagasan pemekaran wilayah di Papua.
Menurut Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jawang, sebelum jauh membentuk pemerintahan daerah baru yang bakal menyedot anggaran negara, pemerintah seharusnya lebih dulu membuat secara rinci peta jalan pembangunan Papua.
“Yang paling mendesak adalah sikap pemerintah terkait dana otsus. Yang ditunggu, apa strategi pemerintah setelah dana otsus selesai?” kata Robert, Oktober 2019 lalu.
“Janji otsus membuat rakyat Papua lebih sejahtera, meningkatkan pendidikan dan kesehatan jauh panggang dari api.”
“Alasan Papua luas dan persoalannya begitu kompleks sehingga pemekaran dianggap solusi, bisa saja, tapi tidak boleh tiba-tiba muncul,” ujar Robert.
Dari segi regulasi, kata Robert Endi Jawang, pemekaran wilayah tidak dapat dilakukan karena peraturan pelaksana UU 23/2014 tentang otonomi daerah belum disahkan.
“Tanpa dua peraturan pemerintah itu tidak boleh ada pemekaran. Papua dianggap khusus, tapi tetap harus mengikuti norma UU 23/2014.”
“Kalau dimekarkan di luar rancangan, hal serupa nanti mesti berlaku juga untuk daerah lain dari Aceh, Jogja, dan Jakarta,” kata Robert.
Sebelumnya, di tahun 2008, pemerintah melakukan pemekaran terhadap Kabupaten Nduga, yang dulunya adalah bagian dari Kabupaten Jayawijaya.
Namun, saat ini Nduga adalah wilayah termiskin di Papua.
Nduga, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), juga adalah satu dari 10 kabupaten di Papua dengan indeks pembangunan manusia terendah di Indonesia.
Selama September 2018 hingga Maret 2019, tingkat kemiskinan Papua meningkat 0,1% ke angka 27,53 atau yang tertinggi di Indonesia, menurut data BPS.
Sebagai perbandingan, angka kemiskinan secara nasional rata-rata berada di angka 9,41. (bbc)