Indovoices.com- Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi pada 2030 nanti, menjadi sebesar 29%, atau 41% dengan bantuan internasional. Sektor lahan dan energi diharapkan menjadi kontributor utama penurunan emisi tersebut. Prospek pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di negara ini juga sangat memungkinkan, mengingat Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar.
Kemenko Perekonomian mencatat potensi energi terbarukan mulai dari tenaga air, panas bumi, bionergi, surya, angin, dan arus laut mencapai 442 Gigawatt (GW). Namun, berdasarkan data yang bersumber dari booklet “Energi Berkeadilan Semester I – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Juli 2019)”, terlihat bahwa penggunaan energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan masih sebesar 9,32 GW atau sekitar 2 persen dari total potensi yang ada. Sedangkan, porsi energi terbarukan dalam bauran energi saat ini mencapai 12,8%.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia terus berupaya mengembangkan Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Hal ini termaktub dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 yang menyebutkan bahwa pemerintah menargetkan capaian energi terbarukan sebesar 20% pada 2024. Untuk mencapai target tersebut tentunya membutuhkan dukungan pembiayaan, investasi dan perbaikan regulasi untuk mendukung pengembangan EBT.
Investasi infrastruktur ketenagalistrikan membutuhkan pembiayaan sekitar Rp400 triliun per tahun, sementara pada 2018, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya mampu memenuhi sebesar Rp115 triliun, Untuk itu, diperlukan partisipasi sektor swasta dalam mengembangkan sektor energi.
“Indonesia telah mendapatkan peringkat Triple B (BBB) dan masuk dalam rating investment grade country dari lima lembaga pemeringkat internasional. Artinya bahwa investor seharusnya tidak perlu khawatir untuk berinvestasi di Indonesia,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kemenko Perekonomian Montty Girianna, dalam acara Launching Program ‘Clean Energy Finance and Investment Mobilisation’ (CEFIM) Indonesia, di JI Expo Kemayoran, Jakarta, Jumat (8/11/2019).
Pemerintah, lanjut Montty, menyadari masih banyak tantangan dalam pengembangan EBT. Di antaranya adalah masalah lahan, sosial, teknis perizinan, regulasi dan pendanaan. Untuk alternatif pembiayaan EBT, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2017 dan Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2018, pemerintah telah membentuk Badan Layanan Umum Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
“Pembentukan badan ini ditujukan untuk menghimpun dana hijau (green fund) dari dalam negeri maupun dunia internasional dengan mekanisme yang cukup fleksibel, baik dalam hal penghimpunan, penyaluran, maupun penggunaannya, namun juga berstandar internasional,” jelas Montty.
Hal lain yang telah dilakukan untuk mendorong investasi adalah simplifikasi perizinan melalui Online Single Submission (OSS). Melalui OSS, diharapkan investor lebih mudah mendapatkan izin, serta dapat memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha.
Program CEFIM Menguatkan Pembiayaan EBTKE
Selain itu, Kemenko Perekonomian bekerja sama dengan The Organisation For Economic Co-Operation and Development (OECD) membentuk Program ‘Clean Energy Finance and Investment Mobilisation’ (CEFIM). Program ini bertujuan memperkuat kondisi pemberdayaan domestik untuk mendorong investasi dan pembiayaan di bidang EBTKE, juga mendukung upaya nasional dalam pembangunan rendah karbon, serta menguatkan kerja sama bilateral dan multilateral.
Program ini dilaksanakan di lima negara yang tersebar di Amerika Latin, Asia selatan dan Asia Tenggara, dan akan berjalan dalam periode lima tahun yang dimulai pada Januari 2019. Program ini juga didukung secara finansial oleh Pemerintah Denmark.
Tiga aktivitas utama dalam program ini, yaitu: (1) tinjauan pembiayaan energi bersih dan investasi; (2) kegiatan pendukung implementasi; dan (3) pembelajaran dari negara lain yang setara. Program ini juga akan berkontribusi terhadap implementasi Sustainable Development Goals (SDGs), Paris Agreement, dan upaya-upaya lainnya dalam mendorong investasi dan pembiayaan energi bersih.
Program CEFIM akan menjembatani pembuat kebijakan dengan sektor finansial dan swasta. Program ini memanfaatkan jejaring OECD yang luas, mencakup entitas pemerintahan dan negara maju, serta hubungan dengan pengembang proyek, industri energi bersih, perbankan, institusi finansial internasional, dan organisasi internasional.
Keterlibatan stakeholders merupakan hal fundamental dalam mengidentifikasi ketidaksesuaian kebijakan, tantangan dan solusi untuk mendorong investasi swasta di bidang energi bersih. Program ini akan dilaksanakan melalui konsultasi yang dilakukan pada level nasional maupun internasional untuk menghubungkan investor internasional, pembuat kebijakan, dan pemangku kepentingan lainnya.
Dengan menerapkan pendekatan kebijakan, regulasi, dan mobilisasi investasi secara terintegrasi, Program CEFIM ini didesain untuk berorientasi terhadap hasil. Selain itu, melalui program ini akan dilakukan penguatan dan sinergi kerangka kebijakan, penyusunan pipeline project yang menguntungkan semua pihak, dan mobilisasi investasi di bidang energi bersih dan infrastruktur berkelanjutan. (jpp)