Indovoices.com-Nama Luhut Binsar Pandjaitan kerap menjadi sorotan, khususnya di Pemerintahan Presiden Jokowi ini. Jenderal purnawirawan yang kini menjabat sebagai Menko Maritim dan Investasi itu, kerap tampil untuk menjawab isu dan persoalan pelik di pemerintahan, yang kadang berada di luar bidang jabatannya.
Hal ini bisa dipahami, karena politikus Partai Golkar itu terbilang yang paling senior di kabinet. Sebelum di posisi saat ini, berbagai jabatan lain pernah dipercayakan pada Luhut. Mulai dari Menko Polhukam, dan Kepala Staf Kepresidenan. Di pemerintahan terdahulu, juga pernah menjabat Menteri Perindustrian, serta Duta Besar RI untuk Singapura.
Posisi yang menonjol itu, juga membawa konsekuensi hujan kritik terhadap Luhut. Terakhir, Ekonom Senior Faisal Basri menyebut Luhut lebih berbahaya. Pernyataan senada, juga diungkapkan mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu.
Meski tak secara eksplisit menyatakan tanggapan atas tudingan-tudingan itu, melalui akun pribadinya di Facebook, Luhut menyinggung soal kritik yang kerap menerpanya.
“Saya tidak pernah punya keinginan untuk membungkam kritik, karena bagi saya kritik adalah motivasi terbesar sebagai pejabat negara dalam merumuskan kebijakan yang bermanfaat. Bukan hanya bagi generasi saat ini, tetapi juga generasi anak dan cucu kita di kemudian hari. Tapi saya juga ingin bangsa ini menjadi bangsa yang terdidik, yang terbiasa untuk saling kritik dan mendebat dengan fakta dan data yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan dengan tuduhan tak berdasar yang menyerang pribadi orang lain,” tulis Luhut.
Berikut pernyataan lengkap Luhut di akun Facebooknya:
Saya menghabiskan lebih dari 30 tahun masa hidup saya sebagai seorang prajurit, tanpa pernah merasa ada keraguan ketika terjun ke daerah operasi. Sebagai seorang prajurit Kopassus atau yang dulu disebut RPKAD pun saya terbiasa menghadapi banyak pertempuran jarak dekat, dengan situasi yang sangat mencekam. Semua itu saya ingat waktu saya masih bujangan dan bahkan setelah saya menikah. Pada saat itu bahkan tidak pernah terlintas di pikiran saya bahwa seorang prajurit RPKAD itu bisa mati terkena peluru. Sampai suatu ketika saya terjun di Timor Timur bersama anak buah saya, keesokan harinya saya ketahui ternyata anak buah saya ada yang mati.
Tapi itu semua kami lakukan karena kecintaan dan janji kami pada Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Yang menjadi sebuah pedoman dan sumpah dari seorang perwira sewaktu kami jadi taruna di Lembah Tidar. Jadi saya tidak akan pernah mengingkari sumpah saya sebagai seorang prajurit. Tapi saya baru disadarkan saat kehilangan prajurit saya di daerah operasi, pada tahun 1975. Ternyata manusia memang terdiri dari darah daging dan tulang, juga emosi.
Namun ketika saya pensiun sebagai tentara, begitu banyak perspektif hidup yang berubah. Terutama “utang” yang saya miliki kepada istri dan anak-anak. Selama puluhan tahun, ketika harus menjalani tugas operasi ke daerah lain, tak terhitung berapa kali saya harus meninggalkan mereka. Ada satu momen yang saya ingat sampai saat ini, yaitu suatu waktu anak saya Uli yang waktu itu berumur 3 tahun menangis ketika melihat saya pulang ke rumah. Sayangnya dia bukan menangis karena lama menahan rindu ke ayahnya, tapi karena dia takut ada orang asing muncul di kamarnya. Dia tidak mengenali saya. Sebagai seorang ayah, hal itu sangat membuat saya terpukul.
Pada momen itu, saya berjanji pada diri saya sendiri, bahwa setiap berangkat menjalankan tugas negara, saya harus memastikan diri saya dan prajurit lainnya bisa pulang dengan selamat. Artinya, semua misi harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya, sehingga kami bisa pulang untuk menebus utang waktu kami dengan keluarga.
Selesai bertugas sebagai tentara dan diberikan amanah untuk mengabdi dengan menjadi pejabat publik, semangat pantang menyerah itu tidak pernah luntur. Saya selalu meyakini bahwa apa yang terbaik untuk masyarakat Indonesia maka harus diwujudkan, dengan berbagai macam risiko dan konsekuensinya. Sapta Marga mengajarkan saya untuk terus membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Saya terbiasa untuk tidak mudah memasukkan semua kritik ke dalam hati karena saya senang mendapat masukan juga kritik yang membangun dari siapa saja. Saya selalu mempersilahkan siapapun yang ingin menyampaikan kritik untuk datang dan duduk bersama mencari solusi permasalahan bangsa. Bukan dengan melempar ucapan yang menimbulkan kegaduhan tanpa fokus pada inti permasalahan.
Belakangan, saya melihat dinamika yang terjadi sudah sangat melampaui batas ini. Saya tidak habis pikir, mengapa di tengah suasana pandemi seperti saat ini, ujaran kebencian dan fitnah terus dipelihara di tengah-tengah kita? Mengapa kita masih diliputi dengan sentimen sektarian di saat seluruh anak bangsa harusnya bersatu melawan musuh bersama yaitu virus corona, yang mengancam kesehatan serta keselamatan seluruh masyarakat Indonesia? Mengapa kita malah terus-terusan mencari perbedaan, tanpa sedikitpun berpikir persatuan? Momen seperti ini membuat saya rindu kepada almarhum Gus Dur yang semangat positifnya selalu menginspirasi setiap langkah saya menjalani hidup sebagai pejabat negara. Dari Gus Dur pula saya belajar, bahwa perbedaan dan kritik pasti ada dan tidak bisa dihilangkan, karena perbedaan itu lahir bersama kita. Wejangan Gus Dur inilah yang membuat saya selalu berprinsip bahwa persaudaraan antar anak bangsa harus kita kedepankan.
Bangsa Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi pandemi. Semua pihak sedang bergerak bersama mencari solusi untuk mempercepat penanganan Covid-19 untuk memastikan keselamatan dan kesehatan semua warga negara Indonesia. Bagi saya, ini adalah misi, dan tetap, sebuah misi harus dituntaskan dengan baik. Namun saya sungguh menyayangkan tindakan dan ucapan beberapa pihak yang tega menjadikan situasi seperti ini untuk memperkeruh keadaan dengan melakukan serangan-serangan yang tak berdasar dan malah mengarah ke personal atau pribadi orang lain. Bukan lagi kritik yang berorientasi pada pemecahan masalah dan mencari solusi bagi keselamatan negeri tercinta kita.
Saya tidak pernah punya keinginan untuk membungkam kritik, karena bagi saya kritik adalah motivasi terbesar sebagai pejabat negara dalam merumuskan kebijakan yang bermanfaat. Bukan hanya bagi generasi saat ini, tetapi juga generasi anak dan cucu kita di kemudian hari. Tapi saya juga ingin bangsa ini menjadi bangsa yang terdidik, yang terbiasa untuk saling kritik dan mendebat dengan fakta dan data yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan dengan tuduhan tak berdasar yang menyerang pribadi orang lain.
Sebuah tuduhan kepada pribadi seseorang tentu juga akan mengenai sisi paling privat dari orang itu. Ini pula yang kemudian dirasakan oleh keluarga dan orang-orang terdekat saya. Mereka merasa yang hari ini terjadi sudah kelewat batas dan bukan contoh yang baik bagi pendidikan moral dan pendewasaan generasi penerus bangsa yang besar ini, terutama dalam hal berdemokrasi dan menyampaikan pendapat. Maka perlu dilakukan sebuah tindakan untuk setidaknya membuat masyarakat Indonesia, juga anak-cucu saya, bisa belajar dan paham bahwa setiap tindakan pasti ada konsekuensinya.
Saya meyakini bahwa tidak ada kebebasan yang absolut, semua yang diucapkan harus mampu dipertanggung jawabkan. Saya juga ingin mengajak seluruh masyarakat Indonesia agar mampu bertanggung jawab atas apapun laku dan ucap kita, karena sesederhana ucapan dan laku itu punya dampak bukan hanya kepada kita, tetapi juga lingkungan sekitar dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Jika kita berani mengucapkan dan melakukan suatu hal, mengapa kita tidak punya keberanian yang sama untuk mempertanggung jawabkannya?. (msn)