Indovoices.com-Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah menyebutkan kondisi perbankan di Indonesia saat ini berada dalam kategori normal waspada akibat pandemi virus korona atau covid-19.
Meski begitu, Halim menyebutkan hingga saat ini belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kondisi perbankan akan jauh memburuk. Ia berharap akan ada perbaikan dan kondisi perbankan dapat kembali normal kembali.
“Berdasarkan indikator, saat ini kondisi perbankan kita normal waspada. Belum ada tanda bank-bank akan mengalami kegagalan, hanya memang ada masalah di likuiditas. Belum juga ada tanda pemindahan dana dan penarikan dana besar-besaran dari nasabah,” tutur Halim dalam rapat kerja bersama Komisi XI.
“Oleh karena itu Bank Indonesia memberikan dukungan likuiditas dan memberi kepercayaan pada publik,” sambungnya.
Meskipun nantinya kondisi memburuk, Halim mengaku pihaknya telah memiliki berbagai skenario yang dinilai dapat dijadikan alat memitigasi bank gagal bayar sebagai efek dari kondisi buruk tersebut.
LPS, sebut Halim, dalam kondisi normal pihaknya dapat memitigasi satu bank besar, satu bank kecil, dan lima BPR melalui dana yang dimiliki oleh LPS saat ini sebanyak Rp128,3 triliun. Sedangkan bila nanti kondisi makin memburuk, akan ditangani bersama oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
“Kalau itu bank kecil (dalam kondisi buruk), saya rasa kami masih mampu. Dalam skenario berat memang dapat muncul kemungkinan, salah satunya adalah bank gagal. Kalau sudah masuk bank besar, saya rasa tidak mungkin LPS bisa mengatasinya. Itu kalau sudah masuk ke wilayah yang tergolong sistemik,” ujar Halim.
Penanganan bank gagal oleh LPS dapat dilakukan bila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melakukan pengawasan intensif dan bank tersebut dinilai akan jatuh. Setelah itu baru OJK akan menyerahkannya kepada LPS. Proses itu, kata Halim biasanya akan memakan waktu yang cukup lama.
Banyaknya jumlah nilai gagal bayar bank akan meningkat seiring lamanya proses tersebut. Oleh karenanya, melalui Perppu 1/2020, proses itu dipercepat melalui permintaan LPS kepada OJK terkait data bank yang dinilai berpotensi akan mengalami kegagalan.
“Kalau bank sistemik dia akan melaporkan ke KSSK, kalau tidak sistemik dia ke LPS. Protokol ini sedang dibangun. Kita berharap dalam waktu dekat bisa selesai soal kriteria ini,” kata Halim.
Khusus untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang mengalami kondisi gagal, sejauh ini nilai recovery asetnya hanya di kisaran 30 persen. Angka kecil itu dinilai wajar lantaran aset yang dimiliki oleh BPR memang memiliki nilai yang kecil pula.
“Biasanya BPR diserahkan dari OJK dengan kondisi keuangan yang sudah parah. Ini jadi agak sulit, karena kalau sudah masuk bank gagal untuk BPR itu kerugiannya sudah sangat berat, kadang CAR-nya sudah minus 200 persen. Jadi sulit. Mengapa recovery rate rendah? Ya memang gitu karena aset yang diserahkan sudah murah, jadi kami tidak bisa menjual dengan harga awal. Itu kenapa recovery rate-nya rendah,” ungkap Halim.
Di kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif LPS Lana Soelistianingsih menuturkan LPS sudah memiliki simulasi untuk penanganan potensi bank gagal. Namun ia tidak dapat mengurainya lantaran diperlukan penghitungan kerugian yang tepat pada bank tersebut.
Namun dalam hitungannya, LPS hanya mampu menangani bank kecil. “Jadi kalau ada bank gagal, separuh aset LPS atau sekitar Rp60 triliun akan kita repo ke BI dan sisanya kami gunakan untuk membayar repo tersebut tiga bulan kemudian. Jadi kalau bukan sistemik itu akan cukup,” pungkas Lana.