Indovoices.com-Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meradang lantaran kinerja mereka dalam penanganan Covid-19 mendapat kritik tajam dari Najwa Shihab.
Perempuan 42 tahun yang berprofesi sebagai presenter pada program “Mata Najwa” itu menilai DPR justru terkesan tidak serius dalam mencari solusi agar persoalan Covid-19 di Indonesia segera teratasi.
Polemik bermula dari video bertajuk “Kepada Tuan dan Puan Anggota DPR yang Terhormat’ yang diunggah Najwa Shihab melalui platform YouTube. Sejak ditayangkan pada Sabtu (2/5/2020) lalu, hingga kini video tersebut telah dilihat sebanyak 1.521.700 kali.
Dengan nada satir, Najwa mulai memberikan kritik kepada para anggota partai politik yang duduk di kursi legislatif tersebut.
“Kepada tuan dan puan para anggota DPR yang terhormat. Apa kabar hari ini? Sepertinya tak sebaik biasanya. Sama. Di sini pun begitu. Kita semua memang sedang diuji. Hidup memang tak selalu baik kan,” kata Najwa di pembukaan video.
“Seperti kami-kami ini sepertinya tuan dan puan juga mungkin lebih banyak bekerja di rumah ya. Kalau lihat siaran sidang atau rapat terbuka di gedung DPR sih kelihatannya banyak kursi yang kosong. Eh, biasanya juga kosong kan ya,” tutr dia.
Tak hanya itu, kritik bernada satire juga diungkapkan jurnalis yang akrab disapa Nana itu ketika menyinggung soal pembahasan sejumlah RUU saat pandemi Covid-19.
“Ada juga RUU lain yang masih nekat mau dibahas. Ada RUU KUHP yang tahun lalu diserbu unjuk rasa. Lalu, RUU Pemasyarakatan. Ada koruptor yang sudah ngebet pengen bebas kah? Eh, apa kabar Pak Yasonna?” kata dia.
Kompas.com mencatat, ada dua hal besar yang dikritik Najwa lewat videonya, yaitu soal pembahasan tiga rancangan undang-undang (RUU) yang sebelumnya menimbulkan polemik yakni RUU Cipta Kerja, RUU Pemasyarakatan dan RKUHP, serta kiprah Satgas Covid-19 DPR RI di masa pandemi.
Menurut dia, RUU Cipta Kerja yang kini tengah dibahas lebih banyak memperjuangkan kepentingan investor daripada memperjuangkan kebutuhan pekerja.
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah sepakat dengan DPR untuk menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan di dalam RUU tersebut. Namun, ia menambahkan, persoalan yang terdapat di dalam RUU itu tidak berhenti sampai di sana.
“Sudah seharusnya klaster lain perlu ditinjau ulang. Karena yang lain bukan tanpa masalah, terutama dari perspektif lingkungan dan keadilan gender,” ucap Najwa Shihab.
“Di tengah pandemi, yang jatuh cinta saja berani menunda nikah. Ini kok DPR buru-buru banget seperti lagi kejar setoran?” ujarnya.
Di samping itu, ia menambahkan, produk hukum yang dihasilkan berpotensi cacat hukum. Pasalnya, hingga kini belum ada satu pun mekanisme yang mengatur tentang pembahasan RUU secara virtual.
“Jika ngotot melakukan pembahasan, jangan salahkan bila ada anggapan DPR tidak menjadikan perang melawan corona sebagai prioritas,” kata Najwa.
“Setiap tindakan dan keputusan di masa kritis mencerminkan prioritas. Inikah prioritas wakil-wakil rakyat kami sekarang ini? Bikin ribut juga jelas tak seharusnya menjadi prioritas,” ucapnya.
Sementara itu, terkait kinerja Satgas Covid-19 DPR, ia mengkritik, langkah satgas yang justru mengimpor jamu dari China yang diklaim dapat meningkatkan imunitas tubuh pengidap Covid-19.
Namun yang menjadi persoalan, jamu itu disinyalir mengandung bahan berbahaya dan belum dilakukan uji klinis.
Dugaan itu kemudian dibantah oleh Satgas dengan menyatakan bahwa jamu itu diproduksi di Jakarta dan sedang dalam proses mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
“Sedang itu berarti belum kan, ya?” tanya Najwa.
Kritik juga disampaikan ketika Satgas Covid-19 DPR ramai-ramai berfofo menggunakan alat pelindung diri (APD).
Potret belasan anggota DPR itu juga turut ramai diperbincangkan oleh warganet di media sosial. Menurut Nana, apa yang dipertontonkan oleh para wakil rakyat itu justru melukai hati masyarakat.
“Tenaga medis kita saja bertaruh nyawa benar karena kekurangan APD,” tutur Najwa.
“Kecuali ya, yang dipakai anggota DPR itu APD yang lain, Alat Pelindung Dewan. Salam hormat dari kami yang kalian wakili,” kata Najwa Shihab.
“Sebagus ini masih ada yang dislike? Fiks keluarga DPR nih !!,” tulis Haikun Kinjuro di dalam kolom komentar.
“Tolong didengar wahai tuan puan yang terhormat,” tulis Anju Sembiring.
“APD ‘alat pelindung dewan’ dikit tapi saketttt,” tulis Devi Selviana.
Bikin gerah
Tidak sedikit anggota DPR yang justru gerah dengan kritik yang disampaikan oleh Najwa, ketimbang melakukan interospeksi.
Anggota Komisi III dari Fraksi PPP Arsul Sani, misalnya, menilai Najwa Shihab seharusnya tidak boleh berprasangka buruk terlebih dahulu sebelum melakukan klarifikasi.
“Dia bisa lakukan itu semua, karena anggota DPR yang dia kenal banyak termasuk saya yang sering jadi narasumbernya,” ujar Arsul.
Ia pun menyoroti soal pembahasan RUU Cipta Kerja. Menurut dia, jika memang pembahasan RUU ini dihentikan, maka pengusul yang dalam hal ini adalah pemerintah, harus meminta untuk berhenti atau menarik RUU usulannya.
Sementara itu, anggota Komisi III lainnya dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman menyatakan, Satgas Lawan Covid-19 DPR merupakan satgas kemanusiaan yang menjadi tugas tambahan atas inisiatif para anggota.
Ia menambahkan, selama ini Komisi III juga cukup aktif dalam melakukan fungsi pengawasan di dalam penanganan Covid-19 oleh pemerintah.
Salah satunya, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi bila diduga terjadi penyimpangan di dalam penanganannya.
Anggota DPR Arteria Dahlan juga bersikap atas kritik yang disampaikan Najwa Shihab. Menurut Arteria, banyak hal yang disampaikan Najwa cenderung tidak benar dan provokatif.
Dia pun meminta Najwa meminta maaf kepada anggota DPR.
“Saran saya secara pribadi, selaku anggota Komisi III, selaku anggota Badan Legislasi, dan selaku Deputi Penerangan Umum Satgas Lawan Covid-19 meminta Najwa minta maaf,” kata Arteria dalam keterangan tertulis.
Soal prioritas
Di lain pihak, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus sepakat dengan pernyataan Najwa. Menurut dia, bukan kali ini saja DPR gagal dalam menentukan skala prioritas.
“Kegagalan menentukan prioritas kerja sudah menjadi cerita abadi sejak DPR era reformasi,” kata Lucius kepada Kompas.com.
Sebagai perpanjangan suara rakyat, ia menambahkan, sudah menjadi kewajiban anggota DPR untuk menyuarakan pendapat masyarakat untuk mengatasi persoalan yang tengah terjadi.
Namun ironisnya, aspirasi dan kritik itu justru disampaikan oleh masyarakat sendiri.
“Suara kritis seperti itu justru tak muncul dari mulut anggota DPR yang secara khusus mengemban tugas menjadi wakil rakyat,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai, ketidakmampuan DPR untuk menjadikan penanggulangan Covid-19 sebagai skala prioritas perlu ditindaklanjuti dengan memunculkan kembali gagasan rakyat dapat memberhentikan anggota DPR.
“Di tengah bencana ini, gagasan agar kewenangan rakyat untuk memberhentikan anggota DPR dirasakan penting untuk disuarakan kembali,” kata Feri kepada Kompas.com.
Menurut dia, sistem parlemen yang berlaku saat ini melanggengkan kekuasaan anggota dewan. Hal ini karena relasi antara pemilih dengan yang dipilih terputus pasca-pemilu usai.
Sehingga, pemilih tak punya wewenang memberhentikan anggota dewan, sekalipun yang kinerjanya buruk.
Anggota dewan, kata Feri Amsari, hanya dapat diberhentikan dan diganti oleh ketua umum partai politik.
“Makanya anggota DPR dipilih oleh rakyat tapi bekerja demi ketua partai. Sebuah sistem yang terbukti salah terutama pada saat darurat seperti saat ini,” ujarnya.(msn)