Indovoices.com –Peraturan Presiden teranyar tentang pencegahan dan penanggulangan ekstremisme disebut pengamat terorisme dan koalisi masyarakat sipil rawan disalahgunakan oleh kelompok tertentu lantaran tidak jelasnya batasan ekstremisme di Indonesia.
Pasalnya dalam Perpres tersebut, masyarakat dipersilakan untuk melapor ke polisi jika mencurigai adanya individu atau kelompok yang dicurigai sebagai ekstremis.
Tapi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menampik tudingan itu dan menyebut pelibatan masyarakat untuk melapor dilakukan sebagai bentuk deteksi dini agar kelompok-kelompok intoleran tidak membesar.
Juru bicara BNPT, Edi Hartono, mengatakan Peraturan Presiden tentang pencegahan dan penanggulangan ekstremisme ditujukan untuk melindungi masyarakat dari ancaman ekstremisme yang mengarah pada aksi terorisme.
Di mana masyarakat bisa melakukan deteksi dini secara mandiri terhadap lingkungan sekitarnya jika mencurigai ada individu atau kelompok yang termasuk dalam ciri ekstremisme.
Apa yang dimaksud ektremisme oleh pemerintah?
Ia mencontohkan ciri ekstremisme itu dengan sikap yang tidak berbaur dalam kegiatan di masyarakat, tertutup, hingga tidak sepakat pada nilai-nilai Pancasila.
“Ketika di suatu RT dia eksklusif sendiri atau tidak bergaul, itu kan banyak sekali. Makanya sifat kegotongroyongan, atau guyub antar tetangga perlu digalakkan,” ujar Edi Hartono kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (18/01).
Ia berkata, jika ekstremisme dibiarkan maka berpotensi memunculkan sikap intoleran dan radikal yang diklaimnya, saat ini marak terjadi di Indonesia. Kendati demikian, jubir BNPT ini tak menyebut secara spesifik identitas kelompok tersebut.
“Kan ada beberapa ormas yang frontal kayak-kayak gitu.”
Dalam praktiknya nanti, masyarakat bisa melapor ke polisi jika mencurigai adanya individu atau kelompok dengan ciri-ciri tersebut. Dengan begitu, pemerintah bisa meredam kekuatan mereka sehingga tidak membesar.
Karena itulah, ia meminta seluruh lapisan masyarakat agar tidak takut-takut lagi melapor ke aparat keamanan.
“Jadi berani lapor kalau ada kejadian, jangan takut. Diharapkan seluruh masyarakat berpartisipasi sejak dini agar tidak melebar.
Seperti apa kondisi ekstremisme di Indonesia?
Penjelasan ekstremisme dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2021 itu yakni “keyakinan dan atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme.”
Pengamat terorisme, Ridlwan Habib, mengatakan definisi itu multitafsir dan terlalu luas sehingga sulit dipahami.
Sementara mayoritas masyarakat saat ini memahami ekstremis identik dengan ciri-ciri orang dengan pakaian tertentu.
“Misalnya secara lebih detail, apakah misalnya ekstremis itu orang yang berjanggut panjang dan bercelana cingkrang? Itu kan bisa ditafsirkan macam-macam. Lalu apakah Pemuda Pancasila termasuk ekstremisme? Kalau misalnya ada sebuah pengajian dibubarkan oleh orang tertentu termasuk ekstremisme?” kata Ridlwan Habib kepada BBC News Indonesia.
Baginya, mendefinisikan ekstremisme harus rinci dan detail sehingga tidak ditafsirkan macam-macam oleh oposisi atau pihak yang selama kritis terhadap pemerintah.
Sebab sudah pasti, penjelasan yang prematur seperti itu akan memicu tudingan bahwa Perpres tersebut menjadi sarana untuk mengkriminalkan kelompok yang berseberangan dengan pemerintah.
Karena itu menurutnya, pembentukan Perpres ini terlalu terburu-buru sebab tidak melibatkan banyak pihak seperti kelompok masyarakat sipil, Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama.
Padahal dalam pencegahan atau penanggulangan ekstremisme tak lepas dari peran mereka.
Dalam pemahaman sederhana, Ridlwan menggambarkan ekstremisme sebagai tindakan yang saling menuduh dan saling serang hanya karena berbeda pandangan baik itu agama ataupun keyakinan dalam banyak hal.
Sikap seperti itu, katanya, dalam jangka panjang berdampak pada proses demokrasi di Indonesia dan kondisinya saat ini ‘urgen’.
Ia lalu mencontohkan dengan pembelahan di masyarakat ketika pemilu presiden yang mencalonkan dua kandidat yakni Jokowi-Ma’ruf Amin serta Prabowo-Sandiaga dan berlanjut sampai sekarang.
“Di media sosial, setiap isu pemerintah pasti ada pro-kontra. Mau itu bansos, vaksin, atau banjir. Akan terus begitu karena resolusi konflik hanya di level elite tidak sampai ke akar rumput.”
“Nah semestinya Perpres menjawab persoalan seperti itu, tapi karena terburu-buru tidak bisa dikatakan peraturan ini sebagai solusi.”
‘Bisa memicu konflik horizontal‘
Peneliti di LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, mengatakan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 ini rentan disalahgunakan pihak tertentu untuk mengkriminalkan kelompok lain.
Alasannya, pemahaman ekstremisme masing-masing orang berbeda dan cenderung subyektif.
“Ini akan memudahkan orang melaporkan sesuatu yang masih indikasi,” imbuh Rivanlee Anandar kepada BBC News Indonesia.
Tapi lebih dari itu, ia khawatir jika masyarakat bisa dengan leluasa melaporkan individu atau kelompok lain dengan pemahaman yang subyektif tadi, maka bisa memicu konflik horizontal.
Apalagi jika ada kelompok masyarakat mendapat ‘pesanan’ dari pihak lain agar melaporkan individu atau organisasi tertentu.
“Jika masyarakat sudah diplotkan ke individu atau kelompok mana saja yang harus diawasi. Semisal ormas nasional atau ormas yang mendukung atau simpatisan kelompok tertentu itu yang bahaya.”
Rivanlee menyebut, individu maupun pihak yang kemungkinan besar disasar dari Perpres ini adalah organisasi masyarakat konservatif yang berbasis agama.
Ia merujuknya pada keputusan pemerintah yang membubarkan ormas FPI dan melarang segala kegiatan mereka baru-baru ini.
“Jadi memberi kesan bahwa ada kelompok-kelompok konservatif tertuduh sebagai kelompok ekstremisme.”
“Bisa jadi untuk mengawasi anggota-anggota FPI yang tersisa.”
Peraturan Presiden tentang pencegahan dan penanggulangan ekstremisme ini diundangkan pada 7 Januari lalu.
Dalam waktu dekat, BNPT Bersama Polri akan memberikan pendidikan dan pelatihan yang disebut sebagai ‘pemolisian masyarakat’ kepada warga mulai dari tokoh pemuda, tokoh agama, media masa, dosen hingga influencer alias pemengaruh untuk mencegah aksi-aksi ekstremisme.
“Ya dikemas dengan santai sehingga masyarakat paham dan tidak takut,” ujar Juru Bicara BNPT Edi Hartono.(msn)