Indovoices.com –Kinerja DPR dalam menyusun undang-undang beberapa tahun terakhir sempat menjadi perhatian masyarakat.
Banyak pihak menilai DPR cenderung tidak mendirikan asas pembentukan perundang-undangan yang baik.
Berdasarkan data yang dihimpun Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif jumlah perkara pengujian uji materi undang-undang yang baru disahkan oleh DPR di tahun 2020 meningkat signifikan.
Peneliti Kode Inisiatif Violla Reininda mengatakan, total pengujian UU yang baru disahkan DPR dan masuk ke MK hingga Minggu (18/4/2021) tercatat ada 38 perkara.
“Jumlah ini meningkat secara signifikan dan sangat drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Violla dalam diskusi daring, Minggu.
Violla mengatakan, pada 2019 pengujian UU yang disahkan di tahun itu hanya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Total, ada delapan pengujian materi terkait UU KPK.
Pada,2020 hingga 2021 pengujian UU, baik formil maupun materil meningkat hampir lima kali lipat.
“Pengajuan undang-undang ini ditujukan paling tidak pada lima undang-undang yang disahkan tahun 2020 yaitu Undang-undang penetapan Perppu Keuangan Negara untuk Penangaan Covid-19,” ujarnya.
“Kemudian UU Pilkada, UU Minerba, UU Mahkamah Konstitusi dan juga UU Cipta Kerja,” lanjut dia.
Sementara itu, lanjut Violla, jika dilihat secara lebih rinci pengujian formil di tahun 2020 meningkat sangat signifikan.
Adapun berdasarkan data Kode Inisiatif, pengujian formil yang tersendiri ada enam perkara, kemudian pengujian formil yang dibarengi dengan pengujian materiil ada 12 perkara.
Sedangkan pengujian yang ditujukkan untuk materill saja ada 20 perkara. Sehingga jika dijumlahkan pengajuan formil secara keseluruhan kurang lebih ada 18 perkara.
“Ini sebetulnya sudah bisa jadi indikator satu yang mengindikasikan bahwa ada persoalan pelik, ada persoalan krusial di dalam proses pembentukan undang-undang,” ucap Violla.
UU Cipta Kerja bertentangan dengan prosedur
Salah satu penyusunan UU yang dinilai tidak mengedepankan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah saat menyusun UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, proses pembentukan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan prosedur dan prinsip ketatanegaraan.
Salah satu indikasinya, pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang yang dipercepat dari 8 Oktober menjadi 5 Oktober.
Setelah pengesahan, draf final UU Cipta Kerja pun berubah-ubah.
“Itu semua melanggar moralitas demokrasi. Ketok palu bukan hanya seremoni. Dalam sebuah negara demokrasi, (paripurna) itu adalah persetujuan bersama, perwujudan dari Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Ada makna besar dalam demokrasi,” ujar Bivitri dalam diskusi daring bertajuk Omnibus Law dan Aspirasi Publik, Sabtu (17/10/2020).
Bivitri menilai, proses pembahasan RUU Cipta Kerja terburu-buru dan menabrak ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, salah satunya soal asas keterbukaan.
Ia mencontohkan saat DPR dan pemerintah melakukan rapat pengambilan keputusan tingkat I pada 3 Oktober 2020. Rapat dilakukan jelang tengah malam.
“Pada saat keputusan tingkat I yang terjadi Sabtu di atas jam 10 malam saja itu tidak wajar,” kata Bivitri.
Selain itu, merujuk Tata Tertib DPR, naskah RUU semestinya sudah siap pada saat rapat pengambilan keputusan tingkat I.
Sebab, Tatib DPR menyatakan bahwa RUU harus dibacakan dalam pengambilan keputusan tingkat I.
“Di tingkat I itu harusnya ada naskah lengkapnya. Tapi kita tahu ini begitu terburu-buru, bahkan ada keinginan mempercepat rapat dari 8 Oktober ke 5 Oktober tanpa ada pemberitahuan memadai,” tutur dia.
Bivitri pun menilai pembentukan UU Cipta Kerja merupakan contoh buruk proses legislasi. Tidak hanya melanggar prosedur pembentukan perundang-undangan, tapi juga melanggar moralitas demokrasi.
“Ini praktik yang sangat buruk. Dalam catatan kami, bahkan ini yang terburuk dalam proses legislasi selama ini, terutama pascareformasi,” kata Bivitri.
UU KPK langgar asas pembentukan UU
Kemudian dugaan pelanggaran prosedur juga terjadi pada pengesahan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Mantan Komisioner KPK Laode M Syarif menilai ada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam proses revisi UU KPK.
“Kalau dari segi menurut peraturan perundang-undangan, bahwa untuk membuat undang-undang atau merevisi undang-undang yang baru ada naskah akademik dulu,” kata Laode dalam diskusi Kode Inisiatif, Minggu (18/4/2021).
“Ada konsultasi pemangku kepentingan yang relevan, dan yang ketiga salah satunya adalah konsultasi publik. Dari segi itu tidak ada yang dipenuhi oleh Undang-undang KPK,” ujar dia.
Laode mengatakan, ada beberapa hal yang dilanggar dalam proses revisi UU KPK, mulai dari tidak dilibatkannya pimpinan KPK.
Kemudian, waktu revisi yang singkat hanya dua minggu serta tidak kuorumnya dalam pengesahan UU KPK atau hanya kuorum berupa tanda tangan.
“Jadi MK saya heran. Harusnya gampang sekali untuk menolak. Jadi ini clear cut enggak ada lagi bilang ini abu-abu, dari semua prosedur dilanggar tidak ada yang dipatuhi. Sedikit pun tak ada,” ujarnya.
Selain itu, Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai, revisi UU KPK justru terbukti melemahkan KPK.
Hal itu disampaikan Direktur Pukat UGM Oce Madril dalam acara bertajuk “Malam Refleksi Satu Tahun UU KPK, Mati Surinya Pemberantasan Korupsi” yang disiarkan melalui akun Youtube Pukat UGM, Selasa (22/9/2020).
“Kita sudah melihat satu tahun belakangan ini memang apa yang dikhawatirkan oleh gerakan masyarakat sipil terjadi bahwa KPK menjadi, kalau bahasa lainnya itu, KPK menjadi lumpuh, KPK tidak bertaji lagi seperti KPK pada awalnya berdiri,” kata Oce.
Oce mengatakan, pemberantasan korupsi pun seakan kehilangan arah usai berlakunya UU KPK hasil revisi tersebut.
Peneliti Pukat UGM lainnya Zaenur Rohman menuturkan, setelah revisi UU KPK dan terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, jumlah kasus yang ditindak KPK memang masih tinggi.
Namun, Zaenur menyebut, kasus-kasus yang ditangani KPK saat ini merupakan kasus carry over dari periode pimpinan KPK sebelumnya dan bukan merupakan perkara strategis.
“Kasus-kasus kebanyakan kasus lanjutan atau kasus-kasus yang relaitf kecil kerugian negaranya atau juga kita lihat tidak ada. Misalnya kasus yang bernilai strategis menjadi game changer di dalam pemberantasan korupsi,” kata Zaenur.
Kasus strategis yang dimaksud Zaenur, antara lain kasus dengan kerugian negara sangat besar, dilakukan oleh pelaku dengan jabatan politik tinggi, atau menarik perhatian masyarakat.
Padahal, menurut Zaenur, KPK dapat mengambil alih penanganan kasus Djoko Tjandra yang melibatkan aparat penegak hukum dan mendapat sorotan publik.
“Tidak ada lagi kasus aparat penegak hukum yang diproses oleh KPK padahal di depan mata kita melihat ada skandal besar mafia hukum berjejaring di semua lini aparat penegak hukum,” kata Zaenur.