Indovoices.com – Pembangunan manusia menjadi prioritas pemerintahan 2019-2024, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo Menciptakan bangsa yang unggul menjadi harapan terbesar. Untuk itu, salah satu poin yang kini mendapat penekanan adalah masalah kesehatan anak bangsa.
Di antaranya sejumlah masalah kesehatan di negeri ini, stunting atau kekerdilan mendapat sorotan besar. Di era pemerintahan saat ini, stunting merupakan masalah kesehatan yang diupayakan penurunan angkanya secara serius. Kolaborasipun dilakukan antarkementerian dan lembaga.
Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) pada 2017, masih tampak bahwa prevalensi bawah lima tahun (balita) stunting di Indonesia masih tinggi. Yakni, 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%). Lalu apa sebenarnya stunting itu? Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran).
Penyebabnya kekurangan gizi itu lantaran rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani. Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik, terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak, juga menjadi penyebab anak stunting.
Bila ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik atau ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan dan laktasi, akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak. Hasil Riskesdas 2013 menyebutkan, kondisi konsumsi makanan ibu hamil dan balita tahun 2016-2017 menunjukkan di Indonesia 1 dari 5 ibu hamil kurang gizi, 7 dari 10 ibu hamil kurang kalori dan protein, 7 dari 10 balita kurang kalori, serta 5 dari 10 Balita kurang protein.
Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi. Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak.
Untuk mencegahnya, perbanyak makan makanan bergizi yang berasal dari buah dan sayur lokal sejak dalam kandungan. Kemudian diperlukan pula kecukupan gizi remaja perempuan agar ketika dia mengandung ketika dewasa tidak kekurangan gizi. Selain itu butuh perhatian pada lingkungan untuk menciptakan akses sanitasi dan air bersih.
Mengapa angka stunting harus ditekan? Diungkapkan dalam penelitian Ricardo dalam Bhutta pada 2013, balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun.
Ancam Produktivitas Bangsa
Ancaman tersebut disadari pemerintah saat ini. Alhasil, persoalan stunting menjadi salah satu PR besar yang harus diselesaikan. Sekretaris Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Eni Gustina menegaskan, stunting menjadi prioritas di bidang kesehatan karena menyangkut produktivitas bangsa ke depannya
“Stunting itu kegagalan pertumbuhan dan perkembangan. Karenanya, yang kita khawatirkan adalah perkembangan otak anak. Sebab itu tidak bisa kita perbaiki. Meski berat anak stunting bisa diintervensi dan kembali normal, tinggi badan juga terkejar, tapi perkembangan otak sulit dikejar,” ujarnya, dalam temu media di Kementerian Kesehatan, sekitar pertengahan Maret lalu.
Itu sebabnya, tidak bisa tidak, Eni menandaskan, stunting harus segera di atasi. Apalagi, pada 2030 Indonesia akan menghadapi bonus demografi. “Jika anak-anak Indonesia semakin banyak yang terlahir stunting, maka Indonesia tidak bisa menggunakan kesempatan bonus demografi ini untuk mengejar ketertinggalan di segala aspek. Karenanya kita harapkan anak-anak tumbuh berkualitas. Kalau stunting, nggak cerdas, nggak bisa punya daya pikir hebat, nggak insiatif yang bisa bersaing dengan orang besar. Makanya stunting disebut ancaman besar bagi bonus demografi mendatang kalau tidak segera ditekan,” imbuh dia.
Jadi upaya apa yang paling efektif dalam mencegah stunting? Eni menjelaskan, pencegahan terbaik adalah intervensi dini pada para remaja. Apalagi survei menyebut bahwa 23,9 remaja Indonesia menikah di usia 16-24 tahun. “Jadi pengetahuan akan pentingnya nutrisi di saat remaja dapat menyelamatkan Indonesia dari risiko stunting,” tuturnya.
Remaja Indonesia, menurut Eni, harus diedukasi pentingnya mengonsumsi makanan sehat agar tidak anemia. Sehingga ketika remaja itu memutuskan menikah dan hamil, bayinya tidak stunting.
Kerja Bersama
Dalam Riskesdas 2018 terlihat bahwa angka bayi stunting di Indonesia mencapai 30,8 persen. Jika diperkirakan bayi 0-2 tahun mencapai 12-14 juta jiwa, maka ada sekitar 4 juta kasus bayi stunting di Indonesia.
Besaran angka stunting yang belum mencapai batasan aman WHO harus terus diupayakan penurunannya. Itulah sebabnya, sejumlah kementerian dan lembaga berkolaborasi melakukan penanganan stunting. Bukan hanya Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan, tapi juga Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa).
Sejauh ini, Kemenkes RI telah melakukan intervensi gizi spesifik meliputi suplementasi gizi makro dan mikro (pemberian tablet tambah darah, Vitamin A, taburia), pemberian ASI Eksklusif dan MP-ASI, fortifikasi, kampanye gizi seimbang, pelaksanaan kelas ibu hamil, pemberian obat cacing, penanganan kekurangan gizi, dan JKN. Namun, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Kirana Pritasari menjelaskan, banyak kebiasaan buruk masyarakat yang bisa memicu stunting. Salah satunya Buang Air Besar (BAB) sembarangan. “Oleh karena itu, ketersediaan jamban dan air bersih di desa-desa sangat penting. Sekarang ketersediaan baru 74,4 persen. Sisanya masih bermasalah. Jadi ini pekerjaan rumah kita,” kata dia, pada kesempatan yang sama.
Berdasarkan Global Nutrition Report 2018, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami beban gizi ganda. Meskipun telah terjadi penurunan prevalensi stunting dari 37,2 persen di 2013 menjadi 30,8 persen di 2018, tetapi angka tersebut tergolong cukup tinggi. Itulah sebabnya, sebuah target digadang Menteri Kesehatan Nila Moeloek. Dia menargetkan, angka stunting akibat kekurangan gizi Indonesia turun ke level 28 persen pada akhir 2019.
Penanganan persoalan stunting juga dilakukan Kementerian Pertanian terkait ketahanan pangan. Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Sri Hartoyo, sudah menyusun program untuk mengatasi dan menekan tingginya angka stunting di Indonesia. Adapun program yang disiapkan adalah dengan penyediaan infrastuktur air bersih dan infrastruktur sanitasi. Seiring itu, Kemendikbud pun turut berperan dalam memberikan pendidikan gizi.
Salah satu wujud konkret upaya penanganan stunting juga dilaksanakan oleh Kemendes, yakni dengan memfokuskan dana desa yang digelontorkan pemerintah, sejak 2019. “Sejak 2019 prioritas penggunaan dana desa sudah masuk pencegahan stunting. Kalau tahun sebelumnya kan lebih diutamakan pertanian skala produktif seperti pembangunan embung, irigasi, dan lainnya,” ujar Direktur Pelayanan Sosial Dasar Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa) Biko Wikantosa saat melakukan Focus Group Discussion (FGD) bersama Kementerian Pertanian, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu, 24 Juli 2019.
Pencegahan terhadap stunting seperti berinvestasi untuk Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih baik. Namun, intervensi yang bisa dilakukan diharapkan tidak sebatas perbaikan asupan gizi, tetapi juga penyediaan infrastruktur agar masyarakat menjalani gaya hidup sehat. (jpp)