Indovoices.com –Lembaga riset independen Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif menilai pembahasan revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu perlu dilanjutkan. Peneliti Kode Inisiatif, Ihsan Maulana mengatakan ada sejumlah persoalan krusial yang membuat UU Pemilu mesti diperbaiki.
Salah satu yang disorot Ihsan adalah masalah penegakan hukum dalam pemilu yang penanganannya kerap berbenturan di sejumlah lembaga. Misalnya kasus pencalonan politikus Gerindra Mulan Jameeladi Pemilihan Legislatif 2019 lalu.
“Kasus Mulan Jameela, kasus Kalimantan Barat dua, DPRD Sulawesi Selatan, mengkonfirmasi caleg yang terpilih belum tentu dia akan dilantik dan dapat posisi anggota legislatif. Ketika akan dilantik H-1, lagi proses gladi bersih, akhirnya partai politik melakukan pemecatan,” kata Ihsan dalam diskusi, Ahad, 31 Januari 2021.
Yang dimaksud Ihsan adalah adanya kasus-kasus caleg terpilih yang dipecat partai. Alhasil, mereka batal dilantik menjadi anggota legislatif. Dalam kasus Mulan Jameela, misalnya, Partai Gerindra memecat dua caleg terpilih yang perolehan suaranya di atas Mulan.
Pemecatan itu terjadi setelah Mulan dan delapan kader Gerindra lainnya menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa partai berwenang menetapkan kader yang akan menjadi anggota DPR. Atas putusan itu, Gerindra kemudian memecat sejumlah kadernya.
“Ini jadi problematika hukum yang ternyata berlarut-larut, sayangnya problem-problem ini tidak cukup banyak di-capture oleh pembentuk undang-undang,” kata Ihsan Maulana.
Ihsan juga menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97 Tahun 2013 yang mengamanatkan pembentukan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilu serentak nasional. Namun menurut dia, wacana pembentukan peradilan pemilu ini tak pernah didiskusikan dengan jelas oleh pemerintah dan DPR.
Di sisi lain, Ihsan menganggap penegakan hukum pemilu selama ini masih tumpang tindih. Imbasnya, kerap ada pidana pemilu yang tak bisa ditindaklanjuti karena ketidaksepahaman antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan di Sentra Gakkumdu.
Begitu juga masalah batas waktu penanganan pelanggaran administrasi yang dinilai belum jelas. Ihsan berujar, Kode Inisiatif mencatat, ada sejumlah penanganan pelanggaran administrasi di Bawaslu yang berbenturan dengan waktu sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Dia juga mengingatkan masalah keserentakan pemilu yang akan menjadi beban berat penyelenggara. Saat ini, pemerintah dan sejumlah fraksi di DPR berkukuh bahwa pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah tetap digelar pada 2024.
Berkaca dari Pemilu 2019, sistem lima kotak ternyata membuat petugas kelelahan hingga merenggut banyak korban jiwa. Di sisi lain, lanjut Ihsan, ada persoalan keamanan jika pemilu dan pilkada digelar serentak di tahun yang sama. Dia mewanti-wanti pemerintah dan DPR mempertimbangkan kerumitan ini.
“Kita harus maknai adanya revisi UU Pemilu ini sebagai bentuk perbaikan ruang-ruang kosong yang tidak dijawab oleh UU Pemilu dan UU Pilkada. Kedua, bagaimana memproyeksikan pemilu ke depan seperti apa model keserentakannya,” kata Ihsan.(msn)