Pemilu di luar negeri dilaksanakan lebih awal dari di Indonesia. Bila di Indonesia pelaksanaannya dilakukan pada tanggal 17 April 2019. Maka di luar negeri, salah satunya di Hongkong, pemilu dilaksanakan pada tanggal 14 April 2019 kemarin.
Pada pemilu 2014 yang lalu, lokasi penyoblosan hanya terdapat di satu tempat yakni Taman Victory. Namun kali ini mengingat banyaknya Buruh Migran Indonesia (BMI) yang ingin menyalurkan hak dan kewajibannya dalam pemilu 2019 ini. Maka lokasinya pun ditambah menjadi 3 tempat, yakni
1. Hongkong District: Queen Elizabeth Stadium, Wan Chai (No.18 Oi Kwan Road).
2. Kowloon District: Tsim Sha Tsui Community Hall (No.136A Nathan Road depan kantor Polisi TST/Sebrang Kowloon Park/Depan Kantor Polisi TST).
3. Yuen Long,NT District : Yuen Long Town Hall (No.4 Tai Yuk Road, Yuen Long).
Jumlah pemilih di Hongkong sendiri mencapai 180.232 pemilih. Hal ini menempatkan Hongkong sebagai lokasi ketiga terbanyak pemilihnya. Di mana Berdasarkan data DPT luar negeri yang dirilis KPU, jumlah pemilih luar negeri paling banyak berada di KBRI Kuala Lumpur dengan jumlah 558.873 orang. Jumlah pemilih luar negeri terbanyak kedua ada di Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia Taipei sebanyak 277.065 orang.
Dengan jumlah tersebut tentunya pihak panitia penyelenggara pemilu sudah melakulan antisipasi tempat dengan segala fasilitas pendukungnya, agar dapat mengakomodir hak para pemilik suara yang ada.
Namun sayangnya kondisi di lapangan tidak menunjukkan hal seperti itu. Memang benar tempat dan lokasi pemungutan suara telah disediakan. Permasalahan justru datang dari panitia Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) itu sendiri.
Awalnya banyak pemilih yang datang dengan wajah-wajah optimis, ceria dan mengantri dengan tertib dalam antrian. Namun, semakin siang wajah-wajah tersebut pun berubah menjadi wajah-wajah yang kuyu dan pesimis karena begitu lambatnya antrian yang bergerak.
Apalagi kesabaran mereka juga diuji oleh kondisi cuaca yang kurang bersahabat, hujan deras yang turun mengguyur. Namun para pahlawan devisa itu tetap tegar dalam antrian karena mereka sangat sadar bahwa satu suara mereka akan menentukan nasib Bangsa ini ke depannya.
Bahkan walau sudah menjelang jam 4 sore, para BMI terus berdatangan sehingga antrian pun menjadi semakin panjang. Hal ini mengingat waktu yang disediakan oleh panitia cukup panjang, yakni dari jam 08.00 pagi sampai pukul 07.00 malam.
Namun sayangnya penantian para BMI tersebut harus menuai kekecewaan. Bayangkan saja, di dalam gedung yang disediakan untuk mencoblos, terdapat puluhan bahkan ratusan TPS yang hanya hanya berisi beberapa BMI yang menunaikan haknya!
BMI yang di dalam ruangan melihat dengan kepala sendiri bagaimana panitia bekerja, sangat lambat dan terkesan suka-suka. Mereka duduk santai atau mendata dengan cara yang yang tidak lazim, terkesan mengulur waktu padahal mereka itu digaji.
Ada beberapa BMI yang saat menunaikan haknya di dalam gedung mengambil foto serta video sebagai bukti kondisi di dalam gedung. Foto dan Video tersebut kemudian dibagikan. Beredarnya foto dan video ini membuat geram sejumlah BMI. Bahkan saking jengkelnya, ada sebagian dari BMI yang walk out tanpa mencoblos sebagai wujud protesnya.
Alih-alih menggenjot dan memaksa petugas yang bekerja di dalam agar lebih cepat. Panitia malah menambah waktu pencoblosan hingga pukul 10.00 malam, padahal di sisi lain para buruh migran tersebut harus segera kembali ke rumah untuk beristirahat agar esoknya dapat bekerja lagi.
Saya tidak tahu kenapa panitia sengaja mengulur-ngulur waktu. Jangan-jangan oknum panitianya terafiliasi dengan salah satu capres? Bisa jadi bukan? Apalagi sering kita temui berita tentang oknum-oknum panitia, yang bermuka dua. Di satu sisi mengaku profesional namun di belakang ternyata mendukung capres tertentu.
Contohnya salah satu ketua KPU di Pariaman yang dipecat karena tertangkap basah makan malam dengan salah satu timses beberapa waktu yang lalu. Atau kejadian terbaru yang memberitakan dua pengawas TPS di Makasar yang dipecat karena berpose dua jari.
Sementara di Hongkong sendiri melalui berbagai berita tentang deklarasi yang pernah saya baca menunjukkan dukungan kepada paslon 01 cukup mendominasi. Upaya menghambat dengan sengaja mengulur-ngulur waktu tentu patut kita curigai sebagai upaya untuk mengurangi dukungan kepada paslon 01.
Dan anehnya kejadian ini diperparah dengan tidak adanya upaya protes yang dilakukan relawan maupun saksi dari TKN. Padahal saat deklarasi, suaranya yang paling kencang. Namun saat muncul kejadian tersebut, kesannya pada menghilang, pura-pura tidak tahu atau memang tidak mau tahu?
Semoga ini bisa menjadi perhatian bagi kita semua, karena apa yang terjadi di Hongkong, tidak mustahil terjadi juga di tempat-tempat lainnya, termasuk juga di dalam negeri.