“Suara NasDem kan lebih besar daripada PKB di DPR, berdasarkan kursi, maka sepantasnya Nasdem mengusulkan 11,” kata Taufiqulhadi di Kompleks Parlemen, Senayan, Senayan, Jakarta, Rabu 3 Juli 2019.
Pernyataan itu diberikan menanggapi pernyataan dari Ketua Umum Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang sebelumnya berharap dapat jatah 10 kursi menteri.
Lain Nasdem dan PKB, lain pula dengan Golkar, melalui Ketua Umumnya, Airlangga Hartarto meminta jatah kursi Ketua MPR kepada Presiden Joko Widodo. Hal itu disampaikan Airlangga kepada Jokowi saat bertemu di Istana Kepresidenan Bogor, Senin 1 Juli 2019.
Setidaknya itulah pernyataan dari beberapa partai yang sudah terang-terangan dan tanpa malu lagi mengungkapkan nafsunya untuk memperoleh jatah kursi, baik sebagai ketua MPR maupun kursi menteri.
Agar nafsunya tidak terlalu ketara, pernyataan ini sering dibarengi dengan kalimat penutup yang berbunyi, “Semua tergantung hak prerogatif Presiden, kami hanya mengirim nama untuk dipilih Presiden”. Yang sayangnya bila keinginannya tidak terpenuhi oleh presiden, acapkali menelurkan kekecewaan dan barisan sakit hati.
Tentu saja pernyataan ini berbeda 180 derajat di mana saat menyatakan dukungan kepada Jokowi-Maruf, banyak yang menyebutkan dukungannya adalah dukungan tanpa syarat.
Padahal bila berkaca dari Kabinet Kerja sebelumnya, jabatan menteri yang tersedia adalah 4 menteri koordinator dan 30 menteri, Artinya kursi menteri sangat terbatas, namun yang minta diakomodir keinginannya, berjumlah ratusan hingga ribuan.
Dan bila kita melihat kembali ke masa pemilihan presiden, baik sebelum atau saat kampanye, jangankan turun ke akar rumput untuk meyakinkan rakyat untuk memilih Jokowi-MA, bahkan untuk memasang foto Jokowi-MA di spanduk Calegnya saja rasanya sangat sulit kita temui bila dibandingkan dengan kompetitor sebelah.
Kekalahan Jokowi di beberapa provinsi lainnya dengan perolehan suara yang sangat jomplang selisihnya menunjukkan betapa minimnya peran partai pendukung untuk memenangkan Jokowi-Maruf, apalagi mengcounter isu-isu hoax di berbagai lapisan masyarakat.
Dan partai pendukung bukan satu-satunya. Hal yang tIdak jauh berbeda, juga terjadi di banyak organ relawan Jokowi lainnya. Rekan-rekan relawan bahkan sering curhat betapa minimnya dukungan alat peraga kampanye (APK) yang disediakan. Acapkali APK yang sudah tersedia langsung habis entah diambil oleh siapa. Jadi APK itu dicetak sistemnya bukan dijatah, tapi rebutan, siapa yang cepat, dia yang dapat.
Akibatnya seringkali ditemukan relawan yang berkeinginan untuk benar-benar terjun ke akar rumput, harus bermodalkan APK seadanya yang tak jarang merupakan hasil donasi dari masyarakat yang bersimpati atas perjuangan mereka untuk memenangkan Jokowi.
Tapi jangan cerita kalau berkaitan dengan acara deklarasi di hotel-hotel mewah. Para elite TKN dan TKD hingga petinggi para relawan termasuk elite Parpol pendukung di daerah, yang biasanya acuh tidak acuh, malas dan cuma bisa nongkrong di sekretariat pemenangan, mendadak menjadi pihak yang paling bersemangat menghadirinya, berbicara paling lantang seakan merekalah pihak yang paling hebat dan berjasa.
Tidak semuanya seperti itu, tapi banyak yang seperti itu. Di antara yang sedikit itu, ada relawan yang berjuang dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga, turun hingga lapisan terbawah masyarakat untuk menjelaskan program-program Jokowi sekaligus mengcounter berbagai hoax yang beredar.
Mereka bergerak dengan uang seadanya yang bahkan tidak jarang harus mengorek kocek sendiri untuk membiayai kegiatannya. Ada juga relawan yang cukup kreatif dengan memanfaatkan berbagai brosur dari bank-bank yang belakangnya kosong. Di belakang brosur yang kosong inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk keperluan fotocopy program-program Jokowi untuk dibagikan ke masyarakat.
Relawan-relawan militan seperti inilah yang berjuang tanpa pamrih, hanya dengan satu keyakinan bahwa orang yang mereka perjuangkan adalah orang yang baik dan mampu membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik lagi.
Mereka sudah cukup puas melihat orang yang diperjuangkannya menang tanpa meminta pamrih apapun. Mereka menyerahkan sepenuhnya semua keputusan kepada Jokowi untuk memilih “The Dream Team” dengan keyakinan akan terpilih putra-putri terbaik bangsa bagi kemajuan Indonesia.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan orang-orang dari organ relawan dan partai yang kini sudah tidak malu-malu lagi muncul ke permukaan untuk menagih balas jasa. Mereka bahkan tidak malu mengungkapkan bentuk balas saja seperti apa yang mereka inginkan.
Kelompok yang haus jabatan dan tidak tahu malu ini bahkan ikut menentukan harus berapa kursi yang menjadi jatah mereka, seakan-akan mereka begitu ketakutan tidak kebagian jatah. Dan semua itu dipertontonkan di muka rakyat Indonesia.
Sebuah ironi, di saat Jokowi mengemukakan dirinya sudah “tanpa beban” untuk bekerja lima tahun ke depan. Namun dari partai pendukung maupun organ relawan pendukung masih memberikan beban kepada beliau agar menenuhi syahwat politiknya, bahkan sebelum pemerintahan periode kedua ini dimulai.
Saya hanya berharap Jokowi berani menentukan pilihannya sendiri tanpa harus tersandera untuk mengakomodir kemauan parpol pendukung yang cenderung irasional. Pembuktian komitmen “tanpa beban” mungkin sudah harus dimulai dan dibuktikan sejak awal, terutama melalui pemilihan anggota kabinet kerja di periode kedua ini. Bagaimana menurut Anda?