Indovoices.com-Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menargetkan penyiaran televisi terrestrial secara simulcast atau analog dan digital bersamaan dapat terlaksana di seluruh Indonesia paling lambat pada tahun 2021.
Sebagai bagian dari digitalisasi penyiaran, kini Kemkominfo telah menyiapkan operasional penyiaran simulcast di 12 provinsi mulai awal tahun depan.
“Selanjutnya bertahap, kami merencanakan untuk penyiapan infrastruktur di 22 provinsi yang belum terdapat partisipasi swasta. Kemudian menyiapkan dukungan pendanaan dan modernisasi kelembagaan TVRI sebagai flag carier di seluruh Indonesia,” tutur Direktur Penyiaran Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemkominfo Geryantika Kurnia di Bogor, Jawa Barat.
Menurut Direktur Penyiaran Geryantika, Pemerintah juga mendorong penyiapan ekosistem penyiaran digiyal dan sosialisasi secara masif kepada seluruh masyarakat Indonesia.
“Yang terpenting, kami menunggu Revisi UU Penyiaran untuk menyelaraskan perubahan model bisnis digital dan mengamanatkan batas waktu Analog Switched Off,” tutur Geryantika seraya menjelaskan bahwa Revisi Undang-Undang Penyiaran merupakan inisiatif DPR RI.
Mengenai Revisi UU Penyiaran, Direktur Geryantika menyebutkan bahwa dalam Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menkominfo pada 5 November 2019 telah disepakati masuknya Revisi UU Penyiaran dalam program legislasi prioritas. “Ditargetkan selesai tahun 2020,” ungkapnya.
Direktur Penyiaran juga menjelaskan ada sepuluh hal yang menjadi fokus perhatian pemerintah dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran.
“Pertama, digitalisasi penyiaran televisi terrestrial dan penetapan batas akhir penggunaan teknologi analog (Analog Switched Off), kemudian penguatan LPP TVRI dan LPP RRI,” ungkapnya.
Hal ketiga yang menjadi perhatian pemerintah adalah kewenangan atributif antara Pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia. Adapun keempat, penguatan organisasi Komisi Penyiaran Indonesia.
Selanjutnya, menurut Geryantika, pemerintah juga fokus membahas PNBP penyelenggaraan Penyiaran dan Kewajiban Pelayanan Universal dalam bentuk persentase pendapatan kotor (gross revenue).
“Ada juga mengenai simplifikasi klasifikasi perijinan jasa penyiaran berdasarkan referensi internasional,” tambahnya.
Selain itu adalah masalah penyebarluasan informasi penting dari sumber resmi pemerintah, pemanfaatan kemajuan teknologi bidang penyiaran, serta penyediaan akses penyiaran untuk keperluan khalayak difabel.
“Kesepuluh mengenai penyelenggaraan penyiaran dalam keadaan force majeur,” paparnyanya.
Dalam acara Kumpul Media yang digelar Biro Hubungan Masyarakat Setjen Kementerian Kemkominfo, Direktur Geryantika juga menyatakan jika Analog Switch Off sudah dilaksanakan, maka Pemeritah akan mendapatkan tambahan spektrum frekuensi yang bisa digunakan untuk kebencanaan, pendidikan, dan jaringan internet cepat.
“Pita frekuensi radio pada 700 MHz selebar 328 MHz saat ini seluruhnya digunakan untuk penyiaran TV analog, sementara karakteristiknya mendukung jangkauan dan kapasitas untuk pemanfaatan kebencanaan, pendidikan, dan internet broadband lainnya,” ungkapnya.
Lebih lanjut dirinya juga menjelaskan tentang Digital Dividend, yakni tambahan frekuensi untuk broadband hasil digitalisasi penyiaran di frekuensi 700 MHz.
“Total bandwith mencapai 90MHz yang bisa digunakan untuk dukungan penanganan kebencanaan, komunikasi intrapemerintah, pendidikan, kesehatan dan akses internet masyarakat di kawasan pedesaan,” jelas Geryantika Kurnia.
Menurut Direktur Penyiaran, jika terjadi penundaaan migrasi makan akan berdampak pada kehilangan peluang ekonomi digital. “Singapura sudah di Desember 2018 dan Malaysia pada Oktober 2019 lalu telah menghentikan siaran televisi analog dan bersiap memanfaatkan internet broadband 5G,” jelasnya.
Sesuai dengan hasil kajian Boston Consulting Group untuk Kemkominfo pada tahun 2017, hasil efisiensi yang digunakan kembali untuk internet broadband akan menghasilkan multiplier effect untuk ekonomi digital di Indonesia pada tahun 2020-2026, antara lain terdapat 181 ribu penambahan kegiatan usaha baru dan 232 ribu penambahan lapangan pekerjaan baru.
“Bahkan ada peluang pajak dan PNPB mencapai USD5,5 Miliar atau Rp77 Triliun dan peningkatan PDB mencapai USD31,7 Milliar atau Rp443,8 Triliiun,” tutur Geriyantika. (jpp)