Indovoices.com -Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bertekad untuk terus memacu jumlah wirausaha muda dalam sektor industri kreatif. Upaya ini mendukung kontribusi positif terhadap perekonomian nasional sekaligus membawa efek ganda bagi pertumbuhan ekonomi kreatif di Tanah Air.
“Kemenperin fokus dan aktif melaksanakan berbagai gelaran yang dapat memberikan ruang bagi pengembangan ekonomi kreatif, di antaranya melalui kegiatan Creative Talk sebagai kick-off dari upaya pengembangan kewirausahaan program Creative Business Incubator (CBI) – Bali Creative Industry Center (BCIC),” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Gati Wibawaningsih di Jakarta.
Menurut Gati, setelah sukses menyelenggarakan di Yogyakarta, Kemenperin kembali melanjutkan acara inkubator pengembangan kewirausahaan di Surabaya, Jawa Timur pada 23 Juli 2019. Kegiatan ini bertujuan sebagai ajang berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang strategi pengembangan usaha, pemasaran produk, peningkatan motivasi berwirausaha, serta sosialisasi program CBI kriya dan fesyen yang dilakukan oleh BCIC.
“Indonesia adalah negara yang memiliki budaya yang sangat beragam. Hal ini merupakan modal yang sangat baik dalam pengembangan ekonomi kreatif. Sehingga tidak mengherankan jika potensi ekonomi kreatif Indonesia sangat besar,” ungkapnya.
Narasumber yang terlibat pada kegiatan Creative Talk CBI di Surabaya, terdiri dari pelaku industri kreatif kriya dan fesyen, antara lain Founder Womanpreneur Community Irma Sustika, Founder Dus Duk Duk, Arif Susanto, dan Founder Luido Dzai Dzul yang merupakan peserta Creative Business Incubator – BCIC tahun 2018-2019.
Narasumber lainnya yang mewakili pihak akademisi, yaitu Kepala Program Studi S1 Business Economics Universitas Prasetiya Mulya Erica Novianti Lukas dan Sekretaris Program S1 Business Economics Universitas Prasetiya Mulya Isti Budhi Setiawati.
Gati menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jawa Timur masuk dalam lima provinsi penyumbang PDB ekonomi kreatif terbesar tahun 2016, yaitu mencapai 9,37%. Nilai PDB ekonomi kreatif secara nasional sepanjang tahun tersebut, Rp922,59 triliun.
Selain itu, Jawa Timur sebagai penyumbang ekspor ekonomi kreatif terbesar kedua pada tahun 2016 yang mencapai 24,36%. Nilai ekspor ekonomi kreatif pada 2016 menembus hingga USD19,98 miliar, naik 3,36% dari 2015 sebesar USD19,33 miliar.
Kondisi itu menunjukkan bahwa potensi ekonomi kreatif di Provinsi Jawa Timur cukup besar dan masih menjadi peluang besar untuk terus mendorong usaha tersebut sehingga memberikan dampak positif bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat Jawa Timur.
“BCIC kami hadirkan sebagai wadah bagi para pelaku industri kreatif kriya dan fesyen untuk mengembangkan usaha dalam konteks meet-share-collaborate, yang mana para pelaku bisa bertemu, berbagi pengalaman dan ide kreatif sehingga pada akhirnya bisa berkolaborasi untuk menciptakan karya bersama,” tuturnya.
Gati optimistis, program CBI yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun dari 2015 akan terus mencetak wirausaha muda di sektor industri kreatif kriya dan fesyen. “Kami sadar bahwa tantangan masa depan generasi muda semakin berat, maka itu kami buat program ini agar bisa mencetak wirausaha yang mampu menjadi motor penggerak industri kreatif kriya dan fesyen di Indonesia pada masa yang akan datang,” terangnya.
Melalui program CBI, para pelaku industri kreatif bidang kriya dan fesyen akan diberikan pelatihan dan pendampingan untuk scalling-up (pengembangan bisnis) dengan bentuk kegiatan program kelas belajar dan pendampingan
Santri Melek Teknologi
Ditjen IKMA Kemenperin juga berupaya menumbuhkan wirausaha baru di kalangan pondok pesantren melalui Program Wira Usaha Baru (WUB) Santri Berindustri. Salah satu implementasinya dilakukan di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur.
Langkah strategis tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan para santripreneur dalam menghadapi era industri digital serta agar mampu memanfaatkan perkembangan teknologi digital terkini. “Santri masa kini dituntut untuk tidak hanya mendalami ilmu agama tetapi juga melek terhadap perkembangan teknologi digital apalagi menghadapi era industri 4.0,” ujar Gati.
Dirjen IKMA meyakini, pondok pesantren dapat berperan strategis dalam mendukung pertumbuhan industri 4.0 di Indonesia. Pasalnya, selain dikenal menjadi tempat untuk menempa para santri yang berakhlak dan berbudi pekerti luhur, ulet, jujur, dan pekerja keras, pondok pesantren juga memiliki potensi pemberdayaan ekonomi.
“Hingga saat ini, sudah banyak pondok pesantren yang mendirikan koperasi serta mengembangkan berbagai unit bisnis. Seluruh potensi ini merupakan modal yang cukup kuat dalam menghadapi revolusi industri 4.0,” terangnya.
Guna membekali kemampuan dalam berwirausaha di kalangan pondok pesantren, Ditjen IKMA Kemenperin juga berupaya memberikan bimbingan teknis Industri Kecil dan Menengah (IKM) konveksi kepada 30 orang peserta yang berasal dari santriwati Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo.
Ditjen IKMA Kemenperin juga memfasilitasi mesin dan peralatan WUB yaitu mesin jahit high speed, mesin obras benang, bartack, buttonhole, iron steam, mesin cutting, mesin jahit single needle cutter, mesin overdeck, button attaching, dan mesin waist band.
Program santripreneur yang digagas oleh Ditjen IKMA Kemenperin, telah dilaksanakan sejak 2013. Hingga triwulan II 2019, program ini telah membina sebanyak 32 pondok pesantren di lima provinsi. Cakupan ruang lingkup pembinaan yang dilakukan, antara lain pelatihan produksi serta bantuan mesin atau peralatan di bidang olahan pangan dan minuman (roti dan kopi).
Selain itu, perbengkelan roda dua, kerajinan boneka dan kain perca, konveksi busana muslim dan seragam, daur ulang sampah, produksi pupuk organik cair serta pendampingan SNI garam beryodium.
“Kami meyakini, para santri generasi baru akan mampu menjadi agen perubahan yang strategis dalam membangun bangsa dan perekonomian Indonesia di masa mendatang,” tandasnya. (jpp)