Indovoices.com- Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) menggajak seluruh kementerian dan lembaga (K/L) untuk mendukung aksi pencegahan tindak pidana korupsi (tipikor).
Bila melihat perkembangan, tipikor tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga sudah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dan telah membuat Indonesia menjadi perhatian dunia internasional, khususnya terkait kepercayaan luar negeri terkait stabilitas politik dan ekonomi.
“Oleh karena itu, pemberantasannya menjadi perhatian utama bagi pemerintah. Perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi terus menerus dilakukan sejak dari amandemen Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang meratifikasi United Nations Against Corruption 2003 melalu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenko Polhukam Fadil Zumhana di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, seperti penataan kebijakan dan regulasi, baik berupa instruksi/arahan maupun peraturan perundang-undangan, perbaikan tata kelola pemerintahan, pembenahan proses pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, termasuk penyelamatan keuangan/aset negara.
Semantara itu, sebagai implementasinya, Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014.
“Namun seiring dengan pandangan dan kajian dari UNCAC dalam upaya pemberantasan korupsi yang lebih mengedepankan langkah-langkah pencegahan, maka tren pemberantasannya berubah dari yang bersifat full represif menjadi optimum preventif, jelasnya.
“Dan sebagai langkah nyatanya antara lain melakukan pencegahan tanpa proses pemidanaan, mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa, atau pendidikan kesadaran hukum untuk masyarakat dengan menumbuhkan budaya malu jika melakukan korupsi,” sambung Fadil.
Berdasarkan data korupsi tahun 2016 hingga 2019 dari hasil riset Indonesia Corruption Watch, disebutkan pada tahun 2016 Kejaksaan Agung telah menangani 133 kasus korupsi, lalu naik pada tahun 2017 menjadi 135 kasus, tetapi turun drastis pada tahun 2018 menjadi 68 kasus dengan nilai kerugian negara Rp678 miliar dan suap sebesar Rp32 miliar.
Sedangkan institusi Polri pada tahun 2018 menangani 41 kasus dengan kerugian negara sebesar Rp77,2 miliar, nilai suap Rp200 juta, dan dari sebanyak 535 kantor kepolisian yang tersebar, jika dirata-ratakan kasus yang ditangani oleh polisi per bulan, yakni sekitar 7 kasus dengan kerugian negara kurang lebih Rp1,8 miliar.
“Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan tahun 2017 di mana ada sekitar 140 kasus korupsi yang ditangani,” tuturnya.
Berbeda dengan KPK yang pada tahun 2016 menangani 18 kasus, kemudian bertambah di tahun 2017 menjadi 21 kasus, dan pada akhir tahun 2018 meningkat menjadi 30 kasus dengan nilai kerugian Rp342 miliar dan nilai suap Rp41 miliar.
“Berdasarkan data di atas, pada dasarnya sebagai indikator keberhasilan pemberantasan korupsi harus dilihat dari semakin berkurangnya kasus korupsi yang ditangani. Namun hal tersebut jangan dianggap bahwa karena berkurangnya perkara korupsi yang ditangani maka pemberantasannya dinyatakan tidak serius. Tetapi lebih menunjukkan ciri bahwa upaya pemberantasan korupsi telah berhasil karena langkah pemberantasan yang dikedepankan bukan secara represif melainkan preventif,” tandas Fadil. (jpp)