Indovoices.com-Tahun ini saya ingin sekali tidak hadir dalam perayaan Natal. Biasanya, agak rajin menjadi panitia perayaan Natal. Ingin sekali tahun ini merasakan makna Natal tanpa perayaan. Kebaktian Natal pun mungkin saya tidak mengikutinya karena dalam perjalanan pulang kampung.
Akhir-akhir ini, saya membaca di Sumbar di dua Kabupaten tidak diperbolehkan merayakan Natal. Bagi saya, aneh di negeri Pancasila ini.
Tadi pagi, saya berpikir. Dari sisi mana saya menuliskan kasus ini?. Dari sisi pertumbuhan iman kristen atau dari sisi saudara kita yang menolak perayaan Natal. Barusan saya baca, menteri dalam negeri menyurati Bupati agar perayaan Natal di dua Kabupaten itu berjalan dengan baik.
Membaca berita bahwa Tito akan menyurati kedua Bupati itu, otak saya langsung teringat ketika saya kuliah di Universitas Riau (UNRI), Pekanbaru. Ketika itu, mahasiswa tidak boleh kebatian di Kampus. Sementara di berbagai kampus di Indonesia kegiatan kebaktian adalah unit resmi kegiatan mahasiswa. Betapa piciknya UNRI ketika itu. Kampus sebagai tempat mempersiapkan intelektual bangsa dikungkung. Bagaimana mungkin kegiatan yang baik dilarang?. Apalagi menyangkut kegiatan spiritualitas?. Spiritualitas sangat baik untuk membetuk karakter dan integritas anak bangsa.
Coba kita jernih berpikir, siapkaah kita berhak menghalangi warga negara beribadah dengan sang khalik?. Adakah sikap kesombongan lebih tinggi dari itu?. Apa resiko jika saudara kita beribadah dengan khusuk kepada pencipta-Nya?. Bagaimana kita bisa sebagai penghalang orang lain beribadah kepada keyakinan-Nya?. Apa alasan manusia untuk menghalangi itu?. Saya pikir inilah kesombongan tiada tara yang ada di kolong langit ini.
Merayakan Natal adalah kegiatan yang bersukacita. Kebahagian yang tiada tara bagi umat kristen. Tetapi, tanpa merayakan pun tidak mengurangi makna kebahagiaan. Tidak perlu konflik jika ada yang menghalangi. Sikap yang benar bagi kita yang diajarkan cinta kasih adalah berdialog tanpa menuntut. Sebab, Tuhan tau isi hati kita.
Jika hidup kita menyenangkan hati Tuhan maka tak ada jaminan Tuhan lebih senang jika kita rayakan. Apakah Tuhan lebih senang kita rayakan atau tidak?. Kita diajarkan mengasihi yang melarang kita beribadah. Mengasihi orang yang melarang dipastikan Tuhan senang. Itulah cinta kasih itu. Tidak ada kepastian Tuhan senang dirayakan atau tidak. Kepastiannya adalah kita menyembah Dia. Menyembah Dia tentu banyak cara. Kita memang disuruh bersekutu/berkumpul untuk menyembah Dia.
Pengalaman rohani saya, bahwa pertumbuhan iman lebih baik di tempat yang tantangannya berat. Semangat mencari kebenaranNya lebih tinggi. Dialog dialog lebih sering terjadi. Ketika dialog itulah maka pertumbuhan iman terjadi. Karena itu, bagunlah dialog ke mereka yang menolak kita. Dialog yang penuh kasih. Tatkala dialog mandek maka teruslah kita meminta pertolinganNya. Ketika itu kita diuji untuk sabar dan mencari inovasi dialog. Kita terus membangun jembatan dialog. Dengan demikian, Indonesia yang kita bangun ini rukun dan damai.
Gurgur Manurung, pemerhati sosial dan lingkungan.