Indovoices.com –Polemik penggunaan cantrang kembali bergulir. Hal tersebut tidak terlepas dari kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang merealisasikan Peraturan Menteri KP Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penempatan API dan APBI di WPPNRI dan Laut Lepas.
Peraturan tersebut membuat KKP memberikan izin penggunaan alat tangkap ikan yang kerap menuai kontroversi tersebut. KKP beralasan cantrang diperbolehkan kembali karena banyak nelayan kecil yang menggantungkan hidup di sana. Sementara alat tangkap yang lebih efisien belum ada.
Lalu, bagaimana respons mantan Menteri KP, Susi Pudjiastuti, mengenai kebijakan tersebut?
Susi Pudjiastuti menilai alasan yang dikemukakan KKP tidak tepat. Sebab, kata Susi, pengguna cantrang bukan nelayan kecil. “Cantrang bukan nelayan cilik,” ujar Susi.
Sejak awal, Susi memang menolak diizinkannya penggunaan cantrang untuk menangkap ikan. Selama masa jabatannya sebagai Menteri KP, alat tangkap ikan itu tegas dilarang karena mengancam keberlanjutan ekosistem perikanan.
Susi pun mengusulkan agar kebijakan soal cantrang dikembalikan kepada kesepakatan antara Presiden Jokowi dengan para nelayan cantrang yang disetujui pada 17 Januari 2018 silam.
Pada waktu itu, Jokowi menemui nelayan Jawa Tengah yang berasal dari Tegal, Batang, Pati, dan Rembang untuk berdialog soal penggunaan cantrang. Dalam pertemuan yang berlangsung selama satu jam tersebut, Susi yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri KP, sepakat dengan para nelayan bahwa pemerintah tidak akan mencabut Peraturan Menteri tentang pelarangan cantrang.
Namun, pemerintah akan memberikan perpanjangan waktu kepada kapal cantrang untuk tetap melaut sampai dengan pengalihan alat tangkap mereka selesai. Sayangnya, kesepakatan tersebut ternyata tidak diindahkan.
Kini cantrang boleh kembali beroperasi. Bahkan, Plt Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini, mengatakan nelayan kecil yang dimaksud KKP adalah tidak hanya mereka yang menggunakan kapal berukuran di bawah 5 GT, melainkan para nelayan yang bekerja sebagai buruh di kapal-kapal besar hingga 100 GT.
Pelarangan penggunaan alat tangkap ini, kata Zaini, menyulitkan mereka yang menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan kapal-kapal cantrang tersebut. Zaini menganggap nelayan berbeda dengan buruh pabrik. Sebab, nelayan adalah buruh yang menanggung biaya operasional sendiri.
Nantinya, KKP memberlakukan sejumlah pembatasan dan mekanisme penggunaan cantrang ini. Pertama, KKP memastikan tidak ada penambahan kapal cantrang baru.
Cantrang yang boleh digunakan, hanya jenis pukat tarik satu kapal. Sedangkan untuk purse seine hingga pukat hela dua kapal, itu tetap dilarang.
KKP juga berencana memberlakukan tarif untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang lebih besar untuk kapal dengan alat tangkap kurang ramah lingkungan tersebut.(msn)