Bila saya diminta untuk memberikan masing-masing satu kata apa yang cocok untuk mewakili diri Jokowi, Ahok dan Djarot, maka saya akan memberikan kata Perjuangan untuk Jokowi, Pengorbanan untuk Ahok dan Kesetiaan untuk Djarot. Saya yakin pembaca juga akan setuju dengan pemilihan kata-kata tersebut, istilah zaman now, gue banget gitu lho, hahaha.
Kenapa kata-kata tersebut saya anggap paling cocok untuk menggambarkan ketiga putra terbaik bangsa tersebut, mari kita bahas.
Semua berawal dari tahun 2012, tepatnya 15 Oktober 2012. Saat itu DKI Jakarta memiliki sepasang gubernur baru, yakni Jokowi dan Ahok. Walaupun kepemimpinan Jokowi terbilang singkat, tidak sampai dua tahun memimpin Jakarta, namun cukup banyak program yang beliau jalankan. Diantaranya, penerapan program bantuan sosial melalui Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar, pembenahan saluran air di DKI Jakarta, pengelolaan Sumber Daya Air melalui akuisisi Aetra dan Palyja.
Jokowi juga berperan dalam mengurangi diskriminasi dan nepotisme dalam jenjang karier Pegawai Negeri Sipil di DKI Jakarta melalui penerapan lelang jabatan. Salah satu yang cukup terkenal adalah kasus Lurah Susan. Jokowi menyatakan dukungan bagi Lurah Susan ketika itu.
Pada masa pemerintahannya pula, DKI Jakarta mengadakan beberapa event kreatif seperti Jakarta Night Festival, Pesta rakyat, dan Festival Keraton Sedunia. Ia juga memperbaiki kebersihan lingkungan di Jakarta, antara lain dengan melarang atraksi Topeng Monyet yang sempat heboh dan menghiasi pemberitaan di berbagai media, termasuk televisi juga.
Saat Jokowi mencalonkan diri dan kemudian menjadi Presiden, Ahok pun menggantikannya menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ahok memilih Djarot Saiful Hidayat untuk mendampingi dirinya. Seorang double minority yang semula dianggap remeh dan dipandang sebelah mata ternyata mampu berbuat tak kalah banyaknya dibanding Jokowi.
Berbagai program pun dijalankan, pemberantasan korupsi anggaran dengan penerapan e-Budgeting yang sempat membuat anggota dewan mencak-mencak dan berseteru dengan Ahok. Mengadakan lelang jabatan Camat, Lurah dan Kepala Sekolah untuk mencegah oknum pejabat pemrov bemain-main dengan anggaran dan pelayanan publik bertambah baik. Membangun RPTRA sebagai taman bermain anak dan tempat menjalin silahturahmi antar warga.
Membersihkan kali-kali dari sampah dan memindahkan para pemukim di kali tersebut ke berbagai rumah susun yang telah disiapkan Pemprov DKI Jakarta. Terakhir merelokasikan warga yang menduduki lahan negara di Kali Jodo ke rumah susun. Ahok juga berhasil menertibkan Pasar Tanah Abang dari PKL yang sebelumnya membuat jalan menjadi macet, menjadi lancar lagi.
Memberangkatkan umroh para penjaga Masjid dan membangun Masjid. Satu hal yang tak kalah pentingnya adalah menerima aduan masyarakat di Balai kota setiap pagi secara rutin selama dirinya menjabat. Sejak saat itu, tanpa disadari, warga DKI Jakarta pun banyak yang jatuh cinta kepada Ahok.
Tentu saja usahanya bukan tanpa halangan. Sejak hari pertama dirinya menjabat saja, berbagai rintangan pun ikut bermunculan, seperti munculnya gubernur tandingan yang digagas oleh FPI, belum lagi perseteruannya dengan anggota dewan yang mencoba memanipulasi anggaran. Istilah UPS, USB, “pemahaman nenek loe !”, “anjing penjaga uang warga DKI”, dan sebagainya, pun muncul dari perseteruan tersebut. Termasuk perseteruan dengan oknum BPK mengenai masalah RS Sumber Waras.
Tak jarang dirinya harus menindak tegas oknum pemprov atau bahkan beberapa lurah dipecat karena melakukan pungli. Perlawanan dari pengusaha hitam yang merasa bisnisnya terganggu, ormas-ormas radikal yang jatah dana hibahnya distop, semuanya seakan bersatu padu ingin menyingkirkan Ahok.
Demikian halnya juga ditingkat pusat, para pengusaha hitam harus menghadapi getirnya keran korupsi mereka ditumpas satu persatu, termasuk pembubaran Petral yang selama ini banyak mengalirkan uang haram ke rekening mereka, belum lagi mafia hutan, pungli oleh oknum bea cukai, oknum kades yang menyelewengkan dana desa, bahkan pembersihan yang dilakukan oleh Jokowi, efeknya terasa lebih besar karena bersifat nasional.
Kerjasama Jokowi di pusat dan Ahok di DKI pun membuat resah berbagai kalangan yang selama ini merupakan penikmat duit haram. Skenario pun disusun untuk menyingkirkan mereka. Puncaknya adalah saat Ahok terpeleset lidah di kepulauan seribu menyebut soal Al-Maidah. Demo berjilid-jilid dilancarkan, tekanan bertubi-tubi pun diberikan kepada MUI maupun Kepolisian untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka.
Banyak pihak yang mengatakan bahwa Ahok hanyalah sasaran antara, dengan tujuan utamanya adalah Jokowi. Dengan turun tangannya Jokowi yang diharapkan membela Ahok, maka terbuka peluang untuk menyingkirkan keduanya. Saya yakin Ahok juga menyadari hal ini, terbukti dalam pertemuan beberapa hari yang lalu, dalam pembicaraan yang dihadiri Denny Siregar dan kawan-kawan, Ahok mengungkapkan, bila seandainya dirinya tidak menyebut soal Almaidah pun, tetap akan dicari celah cara untuk menyingkirkan dirinya.
Ahok selama ini dianggap sebagai penghalang antara Jokowi dan para bajingan yang menyimpan dendam serta ingin menyingkirkan Jokowi. Disinilah Ahok menunjukkan pengorbanannya, demi melindungi sahabatnya, Ahok rela walau harus menjalani hidup dipenjara.
Saya membayangkan seandainya Ahok bersikap seperti pengecut cabul yang kabur ke Arab itu, mungkin posisi Jokowi akan ikut terjepit. Citra Jokowi akan tercoreng oleh tindakan Ahok yang melarikan diri, kepercayaan masyarakat terhadap Jokowi pun akan merosot tajam. Jokowi akan dianggap melakukan intervensi, membiarkan atau bahkan membantu Ahok kabur.
Berbuah kesadaran bahwa ada kepentingan lebih besar yang harus beliau lindungi yaitu sahabatnya Jokowi yang sedang berjuang membawa kemajuan bagi bangsa ini. Ahok pun menyediakan dirinya untuk dikorbankan, peradilan dijalaninya dengan gagah tanpa pernah mangkir sekalipun. Keputusan hakim yang tidak adil juga diterimanya tanpa mengeluh.
Tidak sekalipun Ahok meragukan perjuangan Jokowi, tidak sekalipun dirinya merasa ditinggalkan oleh Jokowi. Walau dirinya harus menjadi korban, dia merasa layak bila pengorbanan yang diberikannya sanggup membuat sahabatnya berhasil berjuang untuk menyejahterakan bangsa dan rakyat Indonesia. Keyakinannya terhadap Jokowi dibuktikan sekali lagi melalui suratnya yang meminta agar Ahokers tetap memberikan dukungan kepada Jokowi beberapa hari yang lalu.
Selama melewati masa-masa sulit tersebut, ada peran seorang Djarot yang tidak boleh kita lupakan. Dari dirinya kita mendapatkan apa arti kesetiaan sesungguhnya. Bahkan saat dirinya dilantik menggantikan Ahok, tidak tercermin wajah gembira, selain wajah murung, seakan perasaannya ikut berduka terhadap kejadian yang menimpa Ahok.
Demi menghormati Ahok, dirinya bahkan menolak menempati ruangan yamg selama ini ditempati Ahok. Satu kesan mendalam adalah saat Addie MS menggelar konser di Balaikota. Saat itu tiga lagu nasional dinyanyikan, ke-tiga judul lagu nasional tersebut berjudul “Indonesia Raya,” “Rayuan Pulau Kelapa” dan “Mars Pancasila.” Banyak peserta yang meneteskan air mata, demikian juga dengan Djarot.
Bisa dikatakan mungkin saat itu, perasaan Djarotlah yang paling hancur mengenang sahabatnya harus menjalani hukuman sekian lama. Seandainya saat itu ada pilihan, saya yakin Djarot pasti akan lebih memilih menggantikan sahabatnya di penjara. Demikian besar dan tulusnya perjuangan, pengorbanan serta persahabatan diantara mereka bertiga.
Satu tahun telah berlalu, Djarot sekarang mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumut. Menurut saya selain faktor ditunjuk oleh partai untuk maju sebagai Gubernur di Sumut dan permintaan masyarakat Sumut sendiri kepada Djarot. Ada dorongan lain dalam dirinya, untuk maju menjadi Gubernur Sumut yaitu untuk memenuhi impian Ahok yang dulu sempat ingin memcalonkan diri sebagai Gubernur Sumut namun tidak tercapai.
Memenangkan Djarot sama dengan memenuhi harapan Ahok untuk melihat Sumut maju. Impian memimpin Sumut oleh seorang Ahok kini diwakilkan kepada Djarot. Sekarang tergantung masyarakat Sumut sendiri, apakah mau memenuhi impian tersebut?
Di tempat lain, ada Jokowi yang masih berjuang tanpa lelah untuk merealisasikan program-programnya demi kemajuan bangsa ini. Walau serangan kepada dirinya tidak pernah berhenti, namun Jokowi tidak pernah mundur selangkahpun.
Jokowi sendiri selain memiliki tekad yang kuat, juga pasti menyadari dan tidak ingin menyia-nyiakan pengorbanan seorang Ahok. Walaupun tidak pernah terucap dalam bibirnya, saya yakin nama Ahok selalu terselip dalam setiap doanya. Perhatikan saja saat dirinya melantik Ahok menjadi gubernur dulu, atau saat berbicara dengan Ahok, dari tatapan mata yang hangat, senyum dan tawa yang lepas sewajarnya seakan tanpa sekat diantara mereka.
“Jika gue ditanya siapa sahabat gue, gue akan jawab, Jokowi. Gue yakin Jokowi juga akan menyebut nama gue ketika ditanya hal yang sama,” (Ahok)
Sayup-sayup alunan lagu Rayuan Pulau Kelapa mengalun lembut dalam benakku.
“Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa”….