Indovoices.com-Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berkesempatan untuk menceritakan sejumlah amanat yang diberikan Presiden Joko Widodo sebelum dirinya dilantik menjadi Menko Polhukam.
“Pertama, soal perlindungan hak asasi manusia (HAM). Presiden berpesan agar ke depannya perlindungan HAM harus baik dan untuk kasus pelanggaran HAM masa lalu harus segera diselesaikan sehingga jangan jadi perdebatan terus,” ungkapnya saat berdialog dengan para tokoh masyarakat di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta.
Kedua, lanjutnya, adalah masalah penegakan hukum. Menko Polhukam mengatakan, pada waktu itu Presiden menyatakan persepsi masyarakat tentang penegakan hukum itu indeksnya di bawah 50 persen sehingga meminta agar persepsi tersebut bisa dijawab dengan fakta yang lebih bagus bahwa pemerintah bekerja.
Ketiga adalah mengenai pemberantasan korupsi. Menurut Presiden, kata Menko Polhukam, pemerintah sudah berusaha sungguh-sungguh. Namun ia meminta agar ke depannya pemberantasan korupsi bisa lebih adil dan lebih kuat.
“Caranya apa? Caranya korupsi-korupsi besar itu diungkap. Presiden sudah menunjukkan laporan ini, ini, ini ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tapi tidak terungkap. Coba sekarang diperkuat itu Kejaksaan, Kepolisian, sehingga kita normal kembali. KPK terus kita perkuat, kata Presiden,” tuturnya.
Terakhir adalah terkait deradikalisasi. Menko Polhukam menjelaskan, jika ingin mencari pengertian deradikalisasi dalam pengertian umum, maka ada dua hal karena bisa positif dan negatif. Dikatakan, dari sudut filsafat, radikal itu adalah suatu proses mencari kebenaran secara substantif sampai ke akar-akarnya.
“Tapi bagi hukum kita, radikal itu setiap upaya untuk membongkar sistem yang sudah matang sampai seluruh akarnya dalam kehidupan bernegara dengan cara kekerasan, dengan cara melawan orang lain yang berbeda dengan dia, selalu menganggap musuh orang lain,” jelasnya.
Sehingga, lanjutnya, radikal itu ada tiga. Jika dikaitkan dengan agama maka disebut takfiri, yakni selalu menganggap orang lain yang berbeda itu kafir.
“Sebenarnya mau bilang kafir tidak apa, artinya dia berkesimpulan orang kafir kan tidak apa juga, tetapi jangan dimusuhi, karena kafir lalu didiskriminasi, selalu diejek dan sebagainya, itu takfiri,” sambungnya.
Kedua, jihadi, yaitu orang yang membunuh, mengebom, dan itu radikal. Terakhir, ideologis, yaitu pemikiran yang selalu bergerak sehingga harus diganti.
“Nah yang ke satu dan ke dua ini ada hukumnya, bisa ujaran kebencian, yang kedua terorisme. Yang ketiga itu harus dilawan dengan wacana juga, Oleh sebab itu, kita tidak pernah menyuruh orang yang berwacana itu ditangkap. Tapi kalau orang mengebom suatu tempat ya ditangkap. Orang selalu menjelekkan orang, kalau yang bersangkutan tidak terima itu ujaran kebencian, bisa masuk proses hukum,” terang Menko Polhukam. (jpp)