Indovoices.com –Langkah sejumlah negara memungut pajak terhadap produk layanan digital dari Amerika Serikat, membuat berang Presiden Donald Trump. Indonesia masuk dalam barisan negara yang bakal memajaki produk digital.
Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana membidik sumber pajak dari layanan seperti Zoom, Netflix, Facebook, hingga Google mulai Juli 2020. Namun, hingga kini belum ada keputusan lebih lanjut mengenai upaya tersebut.
Berikut fakta-fakta mengenai rencana pemungutan pajak Google Cs:
Jalan Panjang Pemerintah Berburu Pajak Digital
Rencana Sri Mulyani menarik pajak digital ini sebetulnya sudah lama. Setidaknya, kabar tersebut sudah muncul sejak tahun 2016.
Selain atas dasar kesetaraan karena layanan digital tersebut beroperasi dan meraup untung di Indonesia, potensi pajak digital dari Google atau Facebook juga cukup besar.
Potensi penerimaan pajak dari raksasa digital itu didapat dari penghitungan total konsumsi jasa dan barang tak berwujud dari luar negeri yang masuk ke Indonesia.
Kini, rencana tersebut telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Trump Siap Ambil Tindakan terhadap Negara yang PajakiLayanan Digital AS
Kepala Perwakilan Dagang AS atau United State Trade Representative (USTR), Robert Lighthizer, menyebut pemajakan semacam itu sebagai upaya mengeruk pendapatan lokal dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara global. Termasuk korporasi di bawah Alphabet Inc, seperti Google dan Facebook.
Saat ini, pihaknya sedang menyelidiki pajak layanan digital yang diberlakukan oleh Inggris, Italia, Brasil dan negara-negara lain. Tindakan pemajakan itu, dianggap setara dengan pengenaan tarif bea masuk yang berpotensi meningkatkan ketegangan perdagangan.
Selain ke negara-negara tersebut, USTR menambahkan penyelidikan akan mencakup pajak layanan digital yang akan diberlakukan di Republik Ceko, Uni Eropa, India, Indonesia, Spanyol, dan Turki.
Kebijakan Trump yang Bikin Ekonomi Indonesia Deg-degan
Donald Trump sebelumnya sudah membuat was-was Pemerintah Jokowi karena memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara maju. Keputusan tersebut bertujuan agar Indonesia tidak memperoleh perlakuan khusus dalam perdagangan internasional.
Kebijakan Amerika Serikat memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara maju, dikhawatirkan berdampak hilangnya diskon tarif preferensi atau generalized system of preferences (GSP) sejumlah komoditas ekspor Indonesia ke AS.
Saat ini, melalui Kepala Perwakilan Dagang AS atau United State Trade Representative (USTR), Robert Lighthizer, ia mengancam Indonesia soal pengenaan pajak digital.
Pemajakan semacam itu dipandang sebagai upaya mengeruk pendapatan lokal dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara global. Termasuk korporasi di bawah Alphabet Inc, seperti Google dan Facebook.
Pengamat Pajak Minta Pemerintah Tak Perlu Gentar
Pengamat pajak dari DDTC, Bawono Kristiaji, meminta agar pemerintah tidak gentar. Ia menyarankan rencana pemungutan pajak tersebut tetap dilanjutkan.
“Perlu kita pahami bahwa investigasi dan protes AS lebih kepada pengenaan PPh dan bukan PPN. Indonesia lanjut saja dalam pengaturan PPh atau PTE tersebut, nanti jika telah ada konsensus baru kita sesuaikan,” ujar Bawono kepada kumparan, Kamis (4/6).
Pemerintah, katanya, hanya perlu merumuskan aturan itu secepatnya. Risiko intervensi AS bisa diminimalisir dengan mendesain ketentuan teknis yang obyektif dan tidak hanya menyasar raksasa digital asal AS semata.
Selain itu, ia juga meyakini bahwa Trump tidak akan gegabah dalam merespons kebijakan tersebut. Banyaknya negara yang melakukan aksi serupa menjadi alasan Trump untuk lebih hati-hati memutuskan.(msn)