Indovoices.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyiapkan Omnibus Perpajakan yang terdiri dari beberapa kelompok isu.
Ranah yang dijadikan Omnibus Law adalah terkait Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta Undang-Undang Pemerintah Daerah (Pemda) yang terpengaruh atau yang dipengaruhi oleh undang-undang ini.
“Kelompok pertama adalah mengenai tarif pajak Badan. Kita akan menurunkan PPh untuk Badan dari 25% saat ini menjadi 22% dan 20%. 22% untuk periode 2021-2022 dan untuk periode 2023 akan turun menjadi 20%,” kata Menkeu usai mengikuti Rapat Terbatas (Ratas) Mengenai Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, di Kantor Presiden, Jakarta.
Pemerintah juga akan menurunkan pajak Badan yang melakukan go public dengan pengurangan tarif PPh 3% lagi di bawah tarif. Penurunan ini, lanjut Menkeu, terutama hanya untuk yang go public, baru selama 5 tahun sesudah mereka go public.
“Untuk yang mereka go public, PPh-nya akan turun dari 22 menjadi 19 dan yang go public nanti tahun 2023 mereka akan turun dari 20% menjadi 17%, karena turun 3% di bawah tarif,” jelas Sri Mulyani.
Pemerintah, sambung Menkeu, juga akan membuat penurunan tarif atau pembebasan tarif PPh dividen dalam negeri. Menurut Menkeu, dividen yang diterima oleh Wajib Pajak (WP) Badan maupun orang pribadi akan dibebaskan. Hal ini akan diatur lebih lanjut di dalam peraturan-peraturan pemerintah di bawahnya.
Selanjutnya, menyesuaikan tarif PPh Pasal 26 atas bunga untuk tarif Pajak Penghasilan. Pasal 26 atas penghasilan bunga dari dalam negeri yang selama ini diterima oleh subjek pajak luar negeri yang dapat diturunkan lebih rendah dari tarif pajak 20% yang selama ini berlaku, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
“Di dalam RUU Omnibus ini kita juga akan mengatur sistem teritori untuk penghasilan yang diperoleh dari luar negeri, yaitu untuk Wajib Pajak yang penghasilannya berasal dari luar negeri baik dalam bentuk dividen maupun penghasilan setelah pajak dari usahanya. Badan Usaha Tetapnya di luar negeri, dividen tersebut tidak dikenakan pajak di Indonesia,” terang Sri Mulyani.
Untuk sistem teritori yang kedua, terutama untuk penghasilan tertentu dari luar negeri yaitu dari warga negara asing yang merupakan subjek pajak dalam negeri, yang selama ini mereka mendapatkan posisi sebagai dual residence, menurut Menkeu, yang dipajaki adalah PPh yang berasal dari penghasilannya yang berasal dari Indonesia saja. Pemerintah tidak meminta penghasilan yang mereka yang berasal dari luar teritori Indonesia.
Menkeu juga menyebutkan, di dalam memilih omnibus ini juga akan diatur mengenai subjek pajak Orang Pribadi, terutama yang selama ini cut off harinya adalah 183 hari, apakah bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar Indonesia lebih dari 183 hari, selama ini mereka dianggap masih sebagai subjek pajak dalam negeri, karena orang Indonesia walaupun tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari, lebih dari enam bulan, mereka masih dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri. Oleh karena itu, lanjut Menkeu, dikenakan PPh untuk pajak dalam negeri.
Sekarang, dalam RUU ini menurut Menkeu, subjek pajaknya bisa dikecualikan apabila mereka memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mereka bisa dianggap subjek pajak luar negeri. PPh yang diperoleh atas penghasilan yang berasal dari Indonesia dikenakan mekanisme pemotongan Pasal 26. Namun untuk pendapatan mereka yang berasal dari luar Indonesia itu adalah subjek pajak di luar negeri, karena sudah lebih dari 183 hari.
Untuk Warga Negara Asing (WNA) yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari, selama ini, begitu tinggal di Indonesia lebih dari 6 bulan dia otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri.
“Kita juga akan melakukan sama, namun pajak yang dibayar oleh Warga Negara Asing yang ada di dalam negeri adalah hanya atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia saja,” kata Menkeu.
Bagian lain dari RUU ini juga mengatur mengenai hak untuk mengkreditkan pajak masukan, terutama bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memperoleh barang ataupun jasa, namun dari pihak yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak. Selama ini, mereka tidak bisa melakukan pengkreditan. Menkeu mengusulkan agar mereka tetap bisa mengkreditkan pajak masukan tersebut maksimal 80%.
Mengenai sanksi di dalam RUU ini, Menkeu mengusulkan bahwa sanksi administrasi bagi pelanggaran penerimaan pajak yang selama ini dihitung berdasarkan flat rate yaitu 2% per bulan.
“Kita akan mengubah berdasarkan tarif bunga yang berjalan sekarang ini dan dibagi berdasarkan berapa lama mereka, dengan perhatian bahwa sanksi tersebut dianggap adil karena sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku sekarang ini. Dengan suku bunga yang rendah tentu akan memberikan keuntungan bagi mereka untuk bisa komplain lebih baik,” kata Menkeu.
Tujuannya agar para wajib pajak dapat meningkatkan kultur komplainnya dan mereka bisa menghitung sanksi administrasinya secara lebih rasional.
Selanjutnya adalah mengenai pengaturan ulang dari sanksi dimana pemerintah mengambil, maka harus diberikan kompensasi imbalan bunga yang akan dibayarkan oleh pemerintah juga mengikuti suku bunga yang berlaku.
“Jadi tidak lagi mengikuti 2% per bulan. Maksimum 24 bulan, seperti yang selama ini diatur di dalam RUU KUP kita,” terang Menkeu.
Kemudian untuk bidang yang berhubungan dengan pemajakan atas perdagangan sistem elektronik, pemerintah akan menyampaikan bahwa subjek pajak luar negeri seperti Netflix dan yang lain-lain, yang selama ini merupakan subjek pajak luar negeri, dapat memungut dan menyetor dan melaporkan PPN-nya.
“Jadi, walaupun mereka tidak beroperasi, tidak berada di Indonesia, namun dia memiliki aktivitas yang menghasilkan pendapatan di Indonesia, mereka tetap bisa dan menjadi subjek pajak luar negeri yang memiliki kewenangan untuk memungut dan kemudian menyetor dan melaporkan kepada otoritas pajak disini,” jelas Menkeu.
Hal ini untuk menghindari transaksi-transaksi elektronik yang selama ini karena tidak ada keberadaannya di Indonesia, pemerintah kesulitan untuk memungut pajaknya.
Kemudian untuk pengenaan pajak penghasilan atau pajak transaksi elektronik yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri, menurut Menkeu, diatur ketentuan Badan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berdasarkan sumber penerimaan pajak di sini atau yang disebut economic presents-nya bukan berasal dari tempat mereka atau phisycal presents-nya.
“Jadi, walaupun mereka tidak secara fisik ada di sini, namun karena kegiatannya menghasilkan nilai ekonomi, itulah yang diatur sebagai basis untuk perpajakannya dan dalam hal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah,” jelas Menkeu.
Kemudian mengenai rasionalisasi pajak daerah. Tujuannya adalah untuk mengatur kembali kewenangan pemerintah pusat untuk menetapkan tarif pajak daerah secara nasional.
Menurut Menkeu, di dalam RUU ini ditegaskan bahwa pengaturannya melalui Peraturan Presiden (Perpres) Pemerintah akan berkonsultasi dengan asosiasi pemerintah daerah untuk mengatur agar kemampuan daerah untuk mengumpulkan Pajak Asli Daerahnya bisa baik, namun tetap sejalan dengan kebijakan Pemerintah Pusat.
Terakhir, lanjut Menkeu, di dalam RUU ini adalah mengumpulkan seluruh fasilitas-fasilitas perpajakan di dalam satu bagian. Fasilitas termasuk pengurangan dan pembebasan pajak seperti pajak PPh, tax holiday, super deduction untuk vokasi dan riset dan development dan juga untuk perusahaan yang melakukan penanaman modal untuk kegiatan padat karya, juga fasilitas PPh untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), pengurangan dan pembebasan pajak daerah itu akan diatur di dalam kelompok ini.
“Kita juga akan mengatur PPh untuk surat berharga nasional yang diedarkan di pasar internasional, yang tujuannya adalah untuk memberikan landasan hukum dari pemberian berbagai fasilitas,” kata Menkeu.
Mengenai timeline-nya, Menkeu berharap bulan Desember sudah bisa disampaikan ke DPR.(jpp)