Indovoices.com-Gubernur Tokyo, Yuriko Koike melakukan jumpa pers mengenai situasi keadaan Siaga Satu (SS) yang memberikan hak dan memungkinkan langsung dilakukan Lockdown.
“Jepang sebenarnya tidak pakai kata Lockdown (LD) yang juga biasa kita sebut Fuusa (Blokade). Ibaratnya rumah dengan pekarangannya dalam suasana lockdown, kita berada di pintu rumah tersebut, yang masih Siaga Satu,” ungkap sumber Tribunnews.com seusai jumpa pers Yuriko Koike.
Dengan diumumkannya status Siaga Satu kemarin yang berarti sudah di lingkungan lockdown, Pemda Tokyo memang dengan mudah mengunci kota apabila keadaan semakin memburuk nantinya.
“Kita masih Siaga Satu dan mungkin ada situasi di mana tindakan keras harus diambil nantinya,” tegas Koike kemarin saat jumpa pers.
Pengamatan sangat ketat dilakukan Pemda Tokyo kepada warganya sampai dengan 12 April 2020.
“Apabila dalam kurun waktu tersebut keadaan bertambah buruk dengan cepat, maka Siaga Satu yang ada sekarang langsung hari itu juga akan diumumkan menjadi lockdown atau Toshi Fuusa, karena hak Koike telah ada sejak kini,” lanjutnya.
“Kita ketahui seminggu lalu banyak warga Tokyo yang tak bisa mengontrol diri, keluyuran bebas bahkan bikin pesta, mabuk, lihat pertandingan olahraga di Stadiun Saitama, Live House berdesakan dan sebagainya,” ujar dia.
Dampak dari tidak adanya social distancing (jaga jarak) tersebut membuat virus Covid-19 mudah melakukan penularan.
“Akibatnya jumlah korban warga Tokyo yang tanggal 23 Maret masih bertambah 16 orang, 24 Maret bertambah 17 orang, mendadak 25 Maret jumlah korban melonjak menjadi 41 orang. Itu kan keterlaluan sekali. Itulah sebabnya diumumkan Siaga Satu yang memungkinkan segera mudah,” ujarnya.
Meskipun masih berupa imbauan “agak keras” dari Gubernur Koike agar jangan ke luar rumah terutama saat akhir pekan Sabtu dan Minggu, restoran agar menjaga jarak atau ditutup, jangan adakan kegiatan pengumpulan massa, dan sebagainya, tidak ada larangan dari Pemda Tokyo dan tidak ada sanksi apa pun.
“Kalau cuma bicara begitu saja sih, pasti masih banyak yang tidak mau dengar nantinya,” papar Takeyama, seorang warga Shinjuku Tokyo kepada Tribunnews.com.
Takeyama justru berharap Gubernur Tokyo bisa tegas memberikan larangan dan sanksi kepada warganya sehingga benar-benar diam di rumah.
Namun Koike kemarin hanya mengatakan, “Minggu ini, kekhawatiran tentang overshoot meningkat, dan ini adalah momen yang sangat penting. Saya ingin pekerjaan dilakukan di rumah sebanyak mungkin pada hari kerja dan untuk menghindari ke luar di malam hari. Saya juga ingin Anda tidak pergi ke luar pada akhir pekan nanti.”
Mengenai kerja sama dengan perfektur tetangga, “Kami sedang mempertimbangkan konferensi video call bersama untuk bekerja sama dengan perfektur tetangga.”
Koike juga menyatakan akan berdiskusi dengan komite eksekutif tentang acara seni bela diri “K-1” yang dijadwalkan akan diadakan di Korakuen 28 Maret mendatang.
Diperkirakan acara tersebut akan ditunda lebih lanjut.
Kasus Covid-19 pertama kali diidentifikasi pada 24 Januari, ketika seorang pria bepergian ke Wuhan, Cina, pulang ke Tokyo positif Covid-19.
Pada bulan Januari, termasuk pria tersebut dan tiga orang dipastikan terinfeksi, termasuk wisatawan dari Tiongkok dan kondektur wisata.
Pada bulan Februari ketika beberapa orang dipastikan terinfeksi positif, jumlah total Januari hingga Februari menjadi 34 orang warga Jepang terinfeksi positif.
Akibat Siaga Satu yang diumumkan Koike kemarin, malam hari dan pagi ini pasar dan supermarket Jepang tampak ramai orang membeli bahan makanan persediaan untuk berjaga-jaga seandainya mudah diberlakukan pada kota Tokyo dan 23 wilayah sekitarnya.
Konfirmasi infeksi warga Tokyo terus meningkat dan menurun bahkan pada bulan Maret 2020 jumlah dua digit menjadi 10 orang untuk pertama kalinya pada 14 Maret 2020.
Setelah itu, ada 12 orang pada tanggal 17 Maret dan 11 orang pada tanggal 20 Maret, dan lebih dari 10 orang dikonfirmasi satu demi satu setelah 20 Maret.
Puncaknya melesat tinggi 41 orang tanggal 25 Maret kemarin.(msn)