Dari sejak kita duduk di bangku sekolah, kita selalu diajarkan mementingkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan. Sebagai contoh misalnya, kita tinggal di lingkungan padat penduduk memiliki hobi memelihara burung Merpati. Tetapi karena kotoran burung Merpati ternyata menyebabkan bau tidak sedap dan mengganggu aktivitas warga yang lain maka sebaiknya kita tidak usah lagi memelihara burung tersebut. Apa salahnya mengorbankan hobi pribadi kita demi kepentingan orang banyak. Toh kita tidak akan dirugikan dengan sikap kita tersebut dan malah akan semakin mempererat hubungan kita dengan tetangga karena tindakan kita tersebut.
Sehingga saya sungguh-sungguh sedih ketika mendengar seorang gurunya guru (baca: rektor) mempunyai pemikiran yang sebaliknya, mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum. Siapa lagi kalau bukan Gubernur Anies.
Gubernur Anies yang notabene adalah dedengkotnya guru dan jelas-jelas sudah makan asam garam di dunia pendidikan, mengambil kebijakan yang membuat kita yang tidak sekolah geleng-geleng kepala. Bayangkan saja, orang disuruh menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi mereka. Dengan kata lain Gubernur Anies mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum.
Jalan Raya yang berfungsi untuk kendaraan lewat, menghubungkan orang dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menunjang aktivitas sehari-hari, malah ditutup untuk didirikan tempat lapak-lapak berjualan. Sudah begitu, mereka yang nyata-nyata menduduki tanah negara, dibiarkan gratis tidak membayar pajak atau retribusi. Bagaimana ini cara berpikirnya Gubernur Anies?
Seperti kita ketahui bersama, Gubernur Anies menutup jalan Jatibaru tabah Abang Untuk dijadikan lapak pedagang kaki lima berjualan. Menurutnya, Ini menjadi solusi jangka pendek penataan PKL tanah abang. Bagaimana dengan solusi jangka panjang? Masih dirahasiakan.
Padahal sebagai seorang yang terpelajar seharusnya Gubernur Anies tidak hanya mengambil kebijakan untuk kepentingan sesaat saja tetapi juga harus memikirkan terlebih dahulu apa dampak negatif dari kebijakannya. Mengkaji lebih dulu apakah lebih banyak manfaatnya atau justru lebih banyak mudharatnya. Tidak sembrono seperti ini yang akhirnya malah mengorbankan kepentingan bersama.
Bagaimana mungkin menyediakan ruas jalan raya untuk berjualan secara gratis sedangkan pedagang lain harus menyewa kios ratusan juta rupiah di gedung pasar yang disediakan. Bagaimana mungkin orang akan berbelanja ke tempat yang semestinya jika sudah dihadang PKL dijalan raya. Yang ada kios sepi, dan mereka akan kembali ke jalan menjadi PKL juga yaitu Pedagang Kios Liar. Ya iyalah, kios sepi ngapain nongkrong doang, mending ke jalan yang jelas-jelas dagangan laku keras, untung besar, tanpa bayar sewa pula.
Apakah lapak-lapak itu benar-benar gratis? Ya tentu saja tidak. Mau makan apa preman-preman dan penguasa tanah Abang yang selama ini mendapat kucuran rupiah dari sana. Pasti akan ada orang yang mengambil keuntungan disana.
Apa pedagang yang mendapat lapak disana benar-benar berjualan? Belum tentu juga. Bisa saja mereka bukanlah pedagang lalu menjual lapaknya ke orang lain yang ingin berjualan disitu. Misalnya kios di pasar Tanah Abang yang sepi mereka harus menyewa 100 juta pertahun, bisa saja mereka membeli lapak PKL jalan Jatibaru dengan harga 50 juta. Ini Jakarta boss! pengawasan pemerintah lemah, mafia dan preman tumbuh subur.
PKL ini memang menjadi salah satu permasalahan yang pelik di Ibukota Jakarta. Butuh perjuangan, keseriusan dan keberanian yang berkelanjutan dari pemerintah untuk menegakkan aturan menata PKL. Menjadi sangat sulit karena prinsip PKL adalah dimana ada kerumunan orang, disitu mereka berjualan.
Lha inilah yang saya maksudkan Jakarta akan banyak orang yang kuliah di IKJ alias Ikut Kakak Jualan. Hanya dengan ikut kakak berjualan bakso, engga sampai seharian sudah meraup untung jutaan rupiah. Daripada harus bekerja seharian di kantor-kantor cuma gaji UMR, lebih baik menimba ilmu kakak bikin bakso. Dalam enam bulan lulus, lalu mereka akan mandiri.
Dan disinilah dampak negatif kebijakan yang sekarang diterapkan Gubernur anies akan mencapai klimaksnya. PKL lulusan IKJ semakin banyak dan akan menjamur diseluruh ruas jalan ibukota Jakarta. Mereka akan mencari lahan dan mengokupasi jalan-jalan strategis berharap diakomodir dan diberikan tenda oleh Gubernur Anies.
Belum lagi kalau kita berpikir jauh kedepan dan membayangkan arus urbanisasi. Musim mudik tahun baru seperti ini dan sebentar lagi lebaran pasti akan dimanfaatkan para PKL membawa anggota keluarga yang menganggur di kampung. Dia akan pulang kampung membawa motor matic keluaran terbaru dan bercerita kesuksesannya meraup untung berdagang di jalan raya di Jakarta. Urbanisasi tak terkendali, dan Jakarta pun berkumis lagi.
Herannya saya apa hal seperti ini tidak ada dalam pemikiran Gubernur Anies? saya yakinnya tidak. Sebab kalau Gubernur Anies punya pemikiran yang sama dengan saya pastilah akan mengantisipasinya dan tidak akan mengambil kebijakan ngawur seperti ini.
Saya malah curiga apa ini salah satu program Gubernur Anies menciptakan 200.000 lapangan kerja baru? Wah..lha kalau ini benar, berarti masih akan ada sekitar 199.600 lapak lagi yang akan dibuka. Karena lapak di Jatibaru baru menampung 400 pedagang. Lalu berapa lagi luas jalan raya di Jakarta yang nanti akan ditutup Gubernur Anies??
Sayang sekali yah, setengah mati Ahok membina PKL agar tertib berjualan, berdarah-darah Ahok menyiapkan lokasi binaan PKL, kerja keras Ahok menegakkan aturan mempertaruhkan reputasi dan kedudukannya sebagai gubernur, hancur tidak sampai 100 hari Anies menjabat. Sia-sialah legacy yang Ahok tinggalkan karena toh aturan bisa ditabrak sesuka hati…
Selamat tinggal Jakarta Baru! Selamat atas wisuda mahasiswa IKJ, Ikut Kakak Jualan!!