Indovoices.com-PT Freeport Indonesia (PTFI) mulai tahun ini sudah menggantungkan produksi pada tambang bawah tanah (underground mine). PTFI tak lagi menambang di tambang terbuka (open pit) Grasberg lantaran cadangannya sudah habis pada tahun lalu.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono.
“Tahun lalu (produksi) ada tambahan dari Grasberg, dan sudah habis. Sekarang dari underground,” katanya, saat ditemui di Kementerian ESDM, akhir pekan ini.
Sayangnya, Bambang tidak membeberkan detail rencana produksi PTFI yang sudah disetujui Kementerian ESDM dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2020. Hanya saja, Bambang mengungkapkan, produksi bijih maupun konsentrat tembaga PTFI pada tahun ini masih belum optimal.
Bambang memberikan gambaran, pada tahun ini PTFI diproyeksikan hanya mampu memproduksi sebanyak 40 persen-50 persen dari total kapasitas produksi normal PTFI yang ada di kisaran 2 juta ton konsentrat. Sebab, hingga kini pengembangan tambang bawah tanah PTFI masih berlangsung, dan ditargetkan baru dapat beroperasi dengan kapasitas optimal pada tahun 2022.
“Kan development belum selesai. Angka (produksi 2020) saya enggak hafal pasti, tapi prediksi sekitar 40 persen-50 persen dari kapasitas optimum sekitar 2 juta-an ton. Nanti terus naik di 2021 dan 2020 baru optimum,” jelasnya.
Namun, Bambang mengatakan angka-angka itu bisa saja berubah, bergantung dari progres pengembangan di lapangan. “Tergantung dia (PTFI) persiapannya seperti apa,” sebutnya.
Sebagai informasi, pada awal 2019 lalu, PTFI mengantongi kuota produksi sekitar 1,3 juta ton konsentrat. Namun pada Agustus 2019, jumlahnya bertambah sekitar 300.000 ton lantaran ada optimalisasi produksi di tambang terbuka Grasberg.
Sedangkan berdasarkan laporan kinerja 2019 dari Freeport McMoran (FCX), produksi PTFI merosot dibanding tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2019, produksi tembaga PTFI tercatat sebanyak 607 juta pounds atau turun hingga 47,67 persen year on year (yoy) dari 2018 yang berada di angka 1,16 miliar pounds.
Produksi emas PTFI pun anjlok di tahun lalu. Sepanjang 2019, produksi emas PTFI tercatat sebesar 863.000 ounces, atau turun drastis 64,27 persen dari capaian tahun 2018 yang mencapai 2,41 juta ounces.
Lewat sejumlah upaya pengembangan, PTFI mengharapkan laju produksi yang lebih tinggi mencapai rata-rata 29.000 metrik ton bijih per hari pada tahun 2020, mendekati 60.000 metrik ton bijih per hari pada 2021 dan 80.000 metrik ton bijih per hari pada 2022 dari tiga blok produksi.
Dari sisi biaya operasi dalam pengembangan tambang bawah tanah, Direktur Utama PTFI Tony Wenas mengungkapkan bahwa PTFI menganggarkan dana sebesar 20 miliar dollar AS selama 20 tahun, hingga tahun 2041.
Artinya, sebut Tony, rata-rata setiap tahun PTFI mengeluarkan investasi sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14 triliun.
“Investasi (tambang) bawah tanah harus jalan terus. Setiap tahun rata-ratanya 1 miliar dollar AS, di luar smelter,” ungkap Tony.
Lebih rinci, menurut laporan dari FCX, belanja modal khusus pengembangan tambang bawah tanah diperkirakan berkisar 0,8 miliar dollar AS per tahun untuk periode tiga tahun 2020 hingga 2022.
Sementara itu, dari sisi penjualan, Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan bahwa PTFI masih belum mengajukan kuota ekspor untuk periode setahun ke depan.
“Mereka belum mengajukan, masih memakai paket yang lalu,” ungkapnya.
Asal tahu saja, dalam periode setahun ini, PTFI mengantongi kuota ekspor konsentrat tembaga sejak 8 Maret 2019 hingga 8 Maret 2020. Awalnya, kuota ekspor yang disetujui Kementerian ESDM hanya sebesar 198.282 ton.
Namun, pada September 2019, PTFI menambah kuota ekspor seiring dengan adanya tambahan produksi dari optimalisasi tambang terbuka Grasberg. Tambahan yang diberikan sekitar 500.000 ton. Sehingga, kuota ekspor yang dipegang PTFI dalam periode setahun lalu berkisar 700.000 ton. (msn)