Pada waktu cawapres nomor 2 mengungkit masalah eKTP, saya merasa apa maksudnya, atau akhirnya ada juga yang mengerti? Tetapi seperti biasa, kebenaran yang mereka ungkapkan selalu adalah partial truth. Atau kebenaran yang hanya sepotong, dan sisanya adalah micin. Indah, namun beracun. Kalimat berikutnya yang mengatakan kartu kartu dari pasangan nomor 1 tidak perlu, sangat menyesatkan. Penutup tersebut ibarat mengatakan bahwa kita bisa memberikan pisau daging menyuruh anak kita yang berumur 5 tahun memotong daging.
Hal yang sama yang disembunyikan oleh Sandiaga Uno. eKTP memang memiliki kemampuan dan potensi yang luar biasa tinggi, tetapi terlalu maju untuk kondisi Indonesia saat ini.
Penggunaan internet secara intensif
Untuk bisa memanfaatkan eKTP secara maksimal, kita harus memiliki jaringan internet yang memadai. Karena untuk bisa merubah eKTP menjadi kartu sakti, maka komputer pembaca harus bisa melakukan pengecekan ke berbagai server, antar departemen. Terutama departemen kependudukan. Server departemen kependudukan harus kuat, dengan bandwidth yang besar karena akan menjadi sentral informasi nama penduduk yang akan di otentikasi oleh server server lain yang akan menerapkan kartu kartu virtual tersebut.
Saya akan berikan contoh yang amat sangat luar biasa sederhana. Proses pada waktu seorang remaja bernama Joko datang ke RSCM dan menyerahkan eKTP.
- Server RSCM akan menghubungi server dukcapil untuk meminta data diri pemegang eKTP.
- RSCM meminta data KTP
- Dukcapil mengirim data KTP yang berisi KK, nama, agama, dan lainnya.
- RSCM setelah menerima data KTP yang berarti nomor eKTP valid, akan meminta foto
- Dukcapil pun mengirim data foto untuk dicocokkan dengan orang yang memegang eKTP tersebut
- Setelah data diri didapatkan, maka server RSCM akan menghubungi server BPJS untuk meminta data Joko Santoso.
- RSCM meminta data BPJS
- BPJS memberikan hasil bahwa data tidak ditemukan
- Mendapatkan data error, maka server RSCM kembali menghubungi server dukcapil untuk meminta data keluarga Joko, karena ada kemungkinan BPJS Joko terhubung ke eKTP keluarga
- RSCM meminta daftar isi dalam KK yang diberikan server Dukcapil pada step 1.
- Dukcapil memberikan daftar nomor eKTP yang terdaftar dalam KK tersebut
- RSCM meminta data eKTP kepala keluarga dari nomor yang didapatkan pada KK tersebut
- Dukcapil memberikan data pak Marwan Santoso yang merupakan ayah dari Joko Santoso
- Setelah mendapatkan data kepala keluarga, maka server RSCM kembali menghubungi server BPJS dan meminta data BPJS pak Marwan
- RSCM meminta data BPJS menggunakan nomor eKTP pak Marwan
- BPJS memberikan data BPJS pak Marwan, yang mana tercantum bahwa jenis BPJS nya adalah BPJS keluarga, dan BPJS pak Marwan adalah kelas 2
- RSCM kemudian mengirim data ke BPJS, yang menyebutkan bahwa BPJS tersebut ada penggunaan di RSCM, dengan keluhan sakit lambung, digunakan oleh Joko
- BPJS menerima data tersebut, segera memasukkan dalam database-nya.
- Setelah mendapatkan nomor BPJS, maka RSCM harus menghubungi dinas kesehatan untuk memeriksa status kesehatan pak Joko
- RSCM mengirim data eKTP Joko ke server dinas kesehatan
- Dinkes memberikan riwayat pengobatan Joko, alerginya, riwayat opname, dan catatan lainnya yang pernah diterimanya.
- RSCM kembali mengirim data eKTP Joko dan nomor BPJS untuk menambahkan riwayat di Dinkes, bahwa ada perawatan baru di RSCM dengan keluhan sakit lambung.
- Dinkes membuka file baru mengenai opname Joko di Dinkes, sampai dan siap menerima obat obat dan tindakan tindakan yang nantinya akan dilaporkan server RSCM ke Dinkes selama Joko dirawat.
- RSCM menghubungi server kominfo
- RSCM mengirim data eKTP Joko ke server Kominfo, meminta data nomor telepon yang didaftarkan
- Kominfo memberikan daftar nomor telepon Joko
- RSCM mengirim data eKTP pak Marwan ke server Kominfo
- Kominfo memberikan daftar nomor telepon pak Marwan
- RSCM mengirim data eKTP ibu Siti yang adalah ibu Joko, yang didapat dari KK di step 3a tadi ke server Kominfo
- Kominfo memberikan daftar nomor telepon ibu Siti.
- RSCM mengeluarkan data ke monitor, dan mengeluarkan daftar kamar yang bisa ditempati Joko untuk dipilih operator RSCM, dan kemudian memberikan daftar nomor telepon keluarga yang bisa dihubungi dalam keadaan darurat.
- Operator memilih kamar yang diinginkan Joko, dan kemudian segera meresepkan sebuah obat infus karena Joko kesulitan makan
- RSCM mengirim data kamar yang ditempati Joko ke server Dinkes
- Dinkes menyimpan data tersebut ke database-nya
- RSCM mengirim obat yang digunakan oleh Joko
- Dinkes menyimpan obat tersebut ke database-nya
Ilustrasi di atas, adalah contoh yang amat sangat sederhana, hanya penerimaan pasien. Sudah ada 3 server awan yang dibutuhkan untuk berkomunikasi ke server rumah sakit. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana intensifnya penggunaan internet dalam satu kasus ini saja. Ini hanya untuk penerimaan opname Joko. Lalu, coba dibayangkan, apabila data terputus pada step 3. Maka Joko tidak bisa masuk ke rumah sakit. Atau seperti kasus ini, bahwa kabel telkom putus di bawah laut. Betul, kasus ini terjadi di NTB, tetapi di Jakarta pun sering terjadi FO putus seperti yang terjadi di Jakarta ini. Apabila hal itu terjadi, maka Joko bisa bisa telantar beberapa hari, dan mungkin akan meninggal karena RSCM tidak bisa mendapatkan data dari BPJS.
Dan telkom pun hanya bisa meminta maaf, atas nyawa Joko yang melayang. Memang tidak ada yang bisa dilakukan telkom, selain marah terhadap sopir truk yang menabrak kabelnya, atau ikan yang menggigit kabelnya.
Pengembangan Tol Langit, dan masalah internet Indonesia
Ironisnya, konsep dari cawapres dengan nomor 2 akan sangat tergantung dari infrastruktur langit yang dibuat jokowi, yang saat ini masih belum rampung. Ada beberapa masalah penting yang harus diselesaikan sebelum mimpi one card to rule them all terlaksana.
- Pemerataan internet
Ini adalah hal yang dikebut oleh pemerintahan sekarang, karena kita sudah amat sangat tertinggal. Masih ada banyak daerah daerah yang tidak bisa dijangkau internet di Indonesia. Karena itu pemerintah berusaha ngebut membuat tol langit. Tol langit apabila selesai dibangun pun, efeknya tidak akan bisa langsung dinikmati oleh rakyat. Harus ada infrastruktur yang dibangun, untuk menyambungkan kabel kabel itu menjadi data di rumah rumah penduduk. Tidak mungkin para penduduk diharuskan membeli peralatan fiber optik jarak jauh berharga puluhan juta. Fiber optik bawah laut tersebut masih harus dihubungkan ke provider provider internet lokal, dan provider tersebut baru akan menyalurkannya ke rumah rumah penduduk. Entah dengan jaringan GSM, 4G,atau optik juga. Sebelum hal itu dilakukan provider, maka internet di lokasi tersebut tidak akan bisa mengalirkan data dengan kecepatan tinggi. Tetapi ongkos untuk itu sudah tidak terlalu mahal karena data sudah mengalir ke setiap wilayah. - Kecepatan Internet yang rendah
Sampai hari ini, internet Indonesia adalah salah satu yang paling lambat di dunia. Attitude menkominfo jaman SBY masih berimbas pada kondisi Internet Indonesia yang merupakan paling bontot di dunia. Dari 12 kota yang diperiksa oleh OpenSignal tahun 2018 kemarin, Jakarta yang internetnya termasuk yang paling maju di Indonesia, berada pada urutan nomor 1. Dari bawah. Bahkan kita masih kalah dari Vietnam yang sempat terjadi perang saudara, atau bahkan Laos. - Latency koneksi yang masih tinggi
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa gaming di Indonesia masih banyak yang lag. Hal ini karena koneksi yang masih belum bagus. Server terlalu lama untuk mengalirkan paket, dan kabel pun tidak dibangun dengan sempurna. Sehingga banyak terjadi packet loss, dan menyebabkan respon server lama. Hal ini juga diakui oleh telkom pada waktu menanggapi game Mobile Legends yang selalu lag. - Security yang sangat rendah
Hal ini juga merupakan concern. Barusan data bukalapak kebobolan. Bayangkan apabila hal ini terjadi pada data penduduk. Identity theft bukan tidak mungkin. Identity theft atau pencuri identitas, adalah kejahatan cyber yang menggunakan data diri dan kebiasaan orang lain untuk melakukan kejahatan. Polisi yang menangkap maling menggunakan eKTP palsu, bisa saja menangkap orang yang salah. Di amerika yang sudah maju saja, identity theft ini menjadi masalah. - Pengetahuan penduduk tentang internet yang masih amat sangat minim
Sedemikian parahnya, sampai ada pendukung salah satu paslon yang menertawakan istilah tol langit.
Padahal di kalangan praktisi komputer, kita memang sudah terbiasa bekerja dengan istilah infrastruktur “langit” ini. Internet dari dulu memang digambarkan sebagai langit, dan server server internet saat ini disebut sebagai cloud computing. Karena itu kalangan yang mengerti komputer justru menertawakan mereka yang menertawakan tol langit tersebut karena sedemikian tidak tahunya mereka, tetapi sedemikian sok tahunya.
Komputasi awan artinya melakukan komputasi bukan di komputer yang ada di meja, melainkan mengirimkan data ke salah satu awan, dan menyuruh server tersebut menghitung. Kemampuan komputer sebagai server awan sudah jelas jauh lebih mumpuni daripada komputer kecil kita yang di meja. Tol langit yang sedang dibangun saat ini adalah untuk mempermudah pembuatan awan awan, dan sekaligus mempermudah publik mengakses cloud server, atau server awan. Disebut di langit, karena tidak bisa kita lihat, dan hanya sinyal tidak kasat mata yang beterbangan di langit. Wireless, satelit, BTS, GPRS, EDGE, 3G/4G, Bluetooth, dan sejenisnya. - Masyarakat yang masih tidak percaya dengan awan
Hanya ada segelintir kecil server cloud buatan local, sedangkan portal portal security seperti Cloudflare atau Akamai yang merupakan benteng cloud juga masih belum muncul di Indonesia. Jangankan Cloudflare. Coba siapa disini yang mau menggunakan servis seperti Google Drive atau OneDrive dari Microsoft? Dengan alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Seperti apabila menggunakan cloud server, maka kalau ga ada internet, filenya tidak bisa diakses. Atau lebih mempercayai hard disk sendiri daripada cloud server yang redundant. Pada waktu eKTP berfungsi, seluruh instansi sudah harus membuka diri ke awan. Tidak ada kata tidak, karena kalau tidak mau membuka, maka tidak akan bisa mengakses informasi penting terhadap data karyawannya - Ongkos internet yang masih tinggi
Apalagi dengan policy baru sebuah perusahaan telekomunikasi yang membatasi quota.. Penggunaan data di mobil network memang wajar di batasi, karena ongkos yang memang mahal. Tetapi untuk kabel amat sangat tidak layak untuk dibatasi. Tetapi perusahaan tersebut bisa membatasi karena faktor yang pesaing yang memang kurang, dan merasa telah memonopoli industri. Dan kurangnya pesaing, karena ongkos untuk membuka wilayah internet baru memang mahal. Yang mana akan di solve oleh pemerintah melalui proyek Tol Langit tadi, yaitu menyediakan jalan jalan tol masuk ke wilayah wilayah itu, supaya provider bisa membangun jalan langit regional di pintu pintu keluar Tol Langit.
Sebelum semua hal itu diatasi, maka penggunaan kartu digital akan sangat kesulitan. Karena digital tidak bisa dibaca dengan mata telanjang. Sedangkan jaringan untuk mengambil data yang dibutuhkan kartu digital itu masih belum bisa berfungsi dengan baik.
Bisa dibayangkan, apabila pemegang eKTP di sebuah tempat di pegunungan papua, ingin berobat, dan rumah sakit harus menentukan BPJS dia yang mana, masih berlaku atau tidak maka rumah sakit tersebut harus mengirimkan orang berjalan beberapa kilometer untuk mencari sinyal, dan kembali lagi setelah selesai memproses eKTP orang itu.
Solusi?
Cukup mudah sebetulnya solusinya, supaya masyarakat tetap bisa menikmati fasilitas fasilitas tersebut, tetapi dengan porsi yang terukur. Yaitu kembali dengan kartu kartu manual. Selagi kartu kartu itu berfungsi, paralel dengan pemanfaatan kartu itu, infrastruktur kita benahi, Tol Langit disebarkan dari ujung ke ujung Indonesia sehingga server server awan bisa menjangkau seluruh wilayah, supaya di pelosok bisa membaca kartu elektronik tersebut.
Disinilah pentingnya kartu manual yang jumlahnya memang banyak tersebut. Mengapa? Karena dengan adanya kartu manual, maka mata manusia bisa membaca milik siapa kartu tersebut, sampai kapan berlakunya kartu tersebut, dan apa yang bisa dilakukan dengan kartu tersebut dan apa yang tidak bisa dilakukan, tanpa perlu berputar kesana kemari mencari sinyal sebelum bisa membaca sebuah kartu yang diberikan.
Jadi bisakah kita menggunakan eKTP sebagai kartu sakti? Saya rasa kita tidak akan memberikan pisau ke anak balita, bukan?
— Prof. X