Indovoices.com– Gubernur Bali Wayan Koster memaparkan visi pembangunan Bali tahun 2019-2023 yang diberi nama Nangun Sat Kherti Loka Bali, yang artinya Menjaga Kesucian dan Keharmonisan alam Bali beserta isinya, untuk mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera bahagia secara sakala niskala.
“Visi ini untuk mewujudkan Bali era baru yang ditata dengan pembangunan dengan berfokus pada keseimbangan alam, manusia dan budaya yang didasarkan kepada nilai-nilai Tri Hita Karana,” kata Koster di hadapan sejumlah anggota Komisi II DPR RI yang melakukan kunjungan kerja ke Bali, di kantor Gubernur, Denpasar, Bali, Senin (29/7) siang.
Konsep ini pada intinya adalah konsep pembangunan yang berakar kepada nilai-nilai kearifan lokal masyarakat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, dan keberlanjutan daripada tata kehidupan masyarakat dengan sumber daya lokal yang dimiliki.
“Oleh karena itu, visi misi yang kami jalankan di Bali fokus pada pelestarian alam, manusia, dan kelestarian budaya,” terang Koster.
Untuk memperkuat pelestarian alam misalnya, Gubernur Bali Wayan Koster mengaku telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 yang melarang penggunaan tas kresek, pipet, sterofoam.
Ternyata dengan mendeklarasikan itu, menurut Gubernur, respon masyarakat cepat sekali. Ia memastikan, sekarang kalau ke hotel ke restoran tidak ada pipet. Kalau belanja di supermarket yang maret-maret itu sudah tidak ada lagi tas kresek.
“Masyarakatnya sekarang kalau ke toko bawa tas sendiri. Jadi dia malau kalu diberikan tas plastik ndak mau. Jadi luar biasa sekarang,” ujar Koster seraya menambahkan, Pergub itu sempat diuji materi di Mahkamah Agung namun ditolak.
Saat ini, setelah dievaluasi, menurut Gubernur Bali, 90% sudah terjadi penurunan penggunaan tas plastik, pipet, maupun produk lainnya di hotel di toko dan juga di tempat lainnya. Sehingga banyak apresiasi diterima dari berbagai pihak mengenai kebijakan ini.
Budaya
Di bidang budaya, Gubernur Bali Wayan Koster mengaku telah mengeluarkan kebijakan tentang penggunaan Aksara Bali, yang mewajibkan setiap nama-nama kantor pemerintah, swasta, fasilitas umum menggunakan Aksara Bali untuk mengangkat warisan budaya yang adi luhung.
Kemudian juga dilakukan kebijakan mengenai penggunaan busana adat Bali setiap hari Bamis hari purnama tilem, hari jadi pemerintah provinsi dan kabupaten kota se Bali.
“Jadi ini Peraturan Gubernur Nomor 80 Tahun 2018, tidak hanya berlaku untuk pegawai negeri, tapi juga pegawai swasta, pegawai hotel, anak sekolah guru sampai pedagang semua menggunakan busana adat Bali pada hari kamis termasuk instansi vertikal seperti BPN dll,” jelas Koster.
Ternyata, menurut Gubernur Bali, kebijakan itu tidak saja berdampak dari segi kebanggaan penghormatan terhadap budaya tetapi ekonomi kerakyatannya menjadi tumbuh. Industri pengrajin busana adat Bali dan pedagang toko-toko busana berkembang, fashion busana Bali pun berkembang sekarnag, omsetnya naik sampai 30%.
Menurut Gubernur Bali Wayan Koster, salah satu yang menjadi andalan Bali yaitu adat istiadat, budaya, dan kearifan lokalnya, dengan seni yang ada di dalamnya, karena Bali tidak mempunyai tambang seperti, emas, gas, minyak, batu bara. Modal Bali hanya adat, budaya, kearifan lokal.
“Maka dari itulah ini yang rajin kita pelihara agar alam Bali ini betul-betul indah, ini lah yang membuat bali menjadi pusat peradaban dunia sehingga menarik wisatawan dunia datang ke Bali jadilah Bali ini destinasi terkenal di dunia,” terang Koster.
Jika di hulu, Pemerintah Provinsi Bali memprioritaskan perlindungan dan kemajuan adat istiadat tradisi seni budaya serta kearifan lokal, tentu di dalamnya yang diperkuat adalah Desa Adat selain Desa Dinas.
“Desa Adat inilah yang menjadi jangkar atau pilar yang memelihara, menjaga, melestarikan, adat istiadat, tradisi seni dan budaya, yang di dalam Undang-Undang Nmor 6 Tahun 2014 tentang Desa itu yang diatur hanya Desa Dinas dan harus memilih salah satu yang didaftarkan,” ungkap Koster seraya menambahkan, pihaknya mendaftarkan Desa Dinas. Sedangkan Desa Adat tidak didaftarkan tetapi dijaga dengan menggunakan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa adat di Bali.
“Lembaga Desa Adat inilah yang kami perlukan di bali untuk menjaga keberadaan, keberlanjutan adat istiadat tradisi seni budaya Bali,” sambung Koster.
Ia menyebutkan, di seluruh Bali ada 636 Desa Dinas, 80 Kelurahan, 1493 Desa Adat, yang menjadi kekuatan pemerintah daerah tapi payung hukumnya belum ada.
Tampak hadir dalam kesempatan itu Wakil Ketua Komisi II DPR RI Mardani, anggota Komisi II DPR RI, Pimpinan DPRD Provinsi Bali, Sekda Provinsi Bali, Sekjen Bawaslu Pusat, Ketua Ombudsman, Ketua KPU Provinsi Bali, Ketua Bawaslu Provinsi Bali, Ketua Ombudsman Provinsi Bali, Pdan angdam Udayana. (setkab)