Sumber Foto : Jadul.com
Pendidikan yang rendah dan budaya jawa tidak menghambat Kartini untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dia adalah orang yang berpengaruh dalam memmbela hak-hak wanita. Dia hanya lulusan Europeesche Lagere School (E.L.S) adalah sekolah Dasar pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. Bagaimana mungkin berani melantangkan sumpah menentang ikatan pernikahan? Menabrak akar tradisi, perempuan muda itu juga memiliki perspektif tentang dunia yang begitu jauh. Meradang terhadap ketidakadilan zamannya, pemberontakan sang Putri Pingitan bak moncong senjata, yang bahkan mengentak kesadaran seorang ratu.
Memahami Kartini, bukan sekedar kita mengenal dia sebagai pahlawan, tetapi Kartini adalah sosok yang memberikan kita pengetahuan bahwa keberanian dan kecerdasan kita mendorong kita untuk melakukan perubahan. Bukan hal yang mudah bagi dia untuk tetap bertahan kepada pendirian dan pendapat yang ada pada dirinya, tetap teguh dalam pendapat dan tetap mencari bagaimana pendapat itu bisa di terima oleh berbagai pihak. Menghayati lukanya menyaksikan Kardinah, adik kandungnya, menderita akibat dijadikan istri kedua, melihat kepedihan perempuan yang seolah menjadi-jadi usai pernikahan. Sementara di sisi lain, dia harus menghadapi para politikus busuk yang menikungnya dengan berbabagai tindakan brutal.
Setelah membaca buku Abidah El Khalieqy yang menulis dan mengupas sisi lain dari Kartini. Buku ini mengajarkan kita bahwa, perbedaan gender tidak akan menghambat pergerakan dan fungsi antara laki-laki dan perempuan. Kartini berjuang melawan, tradisi jawa dan budaya kebangsaan.
Dalam budaya kebangsaan bahwa perempuan tidak bisa sekolah tinggi-tinggi, perempuan tidak bisa memimpin suatu daerah (kepala daerah), perempuan hanya di rumah, kalau sudah besar dinikahkan dengan kehendak orang tua dan sebagainya. Dalam pingitan (Karantina) dia membuktikan bahwa perempuan juga bisa melakukan hal-hal yang besar dalam keberlangsungan hidupnya. Kartini kerap sekali mengkritisi aturan-aturan yang dilakuan oleh orang tua dan saudaranya, pertama dia menolak adanya ndodok dimana perempuan bangsawan diharuskan laku ndodok, payudara harus terlihat rata, bicara harus pelan-pelan, kalau perlu cukup berbisik saja.
Permata bagi gadis Jawa ialah diam, tak bergerak seperti boneka kayu, berjalan harus setapak seperti siput. Tertawa tidak boleh bersuara, tanpa membuka bibir. Semua aturan yang turun temurun itu harus dia tentang dengan argumen yang obyektif. Kartini kerap sekali dapat hukuman dari kakak tirinya Sulastri, Sulastri perempuan yang membuat Kartini sering bête, karena Sulastri sering menghukum Kartini karena melawan semua ketidakjelasan aturan yang dilakukan kaum bangsawan kepadanya. Kartini mengomentari kalau melakukan segala sesuatu kita harus mengerti dan tahu maknanya. Memang terkadang kita dalam melakukan sesuatu, kita tidak tahu artinya kita kerjakan, banyak budaya atau aturan yang kita tidak mengerti tetapi kita kerjakan.
Dalam perjalanan perjuangan Kartini memang anak yang cerdas dengan gaya bahasa Kartini indah dan aristokrat. Memang brilian otaknnya menganilisis sesuatu. Di dalam Pingitan dia banyak membaca buku, kerajinanya membaca buku tidak terlepas dari abangnya Kartono yang selalu memberi dia buku dan mengingatkan untuk banyak membaca. Kartono berpesan Membacalah, Kartini. Karena kebebasan pikiran mu ada disana. Dan siapa pun tak akan bisa menjajah pikiranmu” pesan itu dingat oleh Kartini sebagai kekuatan dalam perjuangannya.
Dengan semangat membacanya, dia membaca sebuah Novel yang berjudul Hilda Von Suylenberg. Dia terpesona dengan judul buku itu dan buku itu akhirnya dibacanya di dalam Pingitan. Dia tertarik karena Hilda Von Suyleberg seorang perempuan buruh cuci yang menyelamatkan orang-orang miskin dan menegakkan hak-hak seorang perempuan tertindas.
Kartini juga senang membaca majalah dan Koran, sampai pada waktunya dia pernah bertemu langsung dengan penulis majalah yang sering dia baca, karena penulis dalam majalah tersebut merupakan pembela hak perempuan. Karena sakin rajinnya membaca buku dan majalah akhirnya dia pun fasih dalam berbahasa Belanda, tak pernah terpikirkan olehnya dia bertemu dengan tuan dan nyonya Ovink-Soer penulis majalah yang sering di bacanya. Jamuan Orang tuanya dengan tuan dan nyonya Ovink-Seor mendapat berkah baginya karena bisa bertemu dengan mereka.
Kala itu Biasalah kalau tamu datang, anak-anak di suruh ke kamar, namun Kartini berbeda. Dia dengan lantang pergi untuk menemui tamu Bapaknya, yaitu tuan dan nyonya Ovink-Soer yang kala itu menjadi Asisten residen di Jepara. Tuan dan nyonya Ovink-Soer saling pandang. Masih belum tahu siapa yang ada didepannya. Kartini besimpuh dan menghatur sembah. Kartini paham kalau Dia belum dikenal oleh para tamu didepannya. Maka dengan menggunakan bahasa Belanda yang sangat fasih, dia menerangkan siapa dirinya.
Dengan semangat dia pun mempekenalkan dirinya kepada tuan dan nyonya Ovink-Seor dia mengatakan, saya Kartini putri Kanjeng Adipati Sosroningrat, katanya sembari tersenyum hormat. Kartini menyodorkan majalah yang sering di bacanya dan berkata “ Saya pengagum tulisan Nyonya dimajalah ini. Setiap membacanya saya selalu semagat. Dan dengan semagat Kartini menyodorkan tulisannya kepada nyonya Ovink-Soer.
Dalam perjuangannya Kartini juga tidak sendirian dia juga mempengaruhi adik-adiknya untuk tetap memperjuangkan kebebasan mereka dalam berekpresi. Kardinah dan Rukmini pun berhasil di pengaruhi untuk berkarya dengan luar biasa. Dengan tiga serangkai mereka menunjukkan kebolehannya masing-masing. Kartini dengan jago menulis, Kardinah dengan kehebatan lukisannya dan Rukmini dengan kain batik buatannya.
Pembelajaran dari mereka membuktikan bahwa perempuan mempunyai kemampuan yang luar biasa. Kekerasan dan penjoliman kepada perempuan pada saat itu membuat para perempuan lemah. Saya juga teringat dengan budaya Batak bahwa perempuan tidak boleh memimpin, perempuan tidak boleh sekolah tinggi-tinggi, Sitinurbaya yang menderita kawin paksa dan lain- lain. Masih banyak motif kekerasan dan penjoliman kepada perempuan.
Kebebesan berekpresi merupakan bagian dari hak dasar manusia, laki-laki dan perempuan sama sebagai ciptaan yang Tuhan, namun tetap memiliki perbedaan di bagian organ tubuh, fungsi dan peran sebagai manusia. Dalam keberlangsungan hidup laki-laki dan perempuan sama. Yang menarik dalam perjuangan Kartini adalah dia tidak harus mengganti jenis kelaminnya dalam berjuang. Dia terus mengumandangkan bahwa kebiasaan dan budaya dilakukan yang mengkerdilkan nilai perempuan dalam hidup perlu di perjuangkan.
Buku ini mengajarkan kita untu mememilihara perbedaan dan perbedaan bukan menjadi penghalang untuk melakukan hal yang besar yang bisa kita lakukan. Memahami Kartini, berarti menyelami perasaannya akan nasib perempuan. Sungguh sebuah hidup yang penuh, bahkan ketika akhirnya Kartini menemukan satu-satunya yang dia kehendaki, “ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi yaitu hamba Allah”.
Penulis, Abidah El Khalieqy telah mengupas sisi kartini sebagai perempuan yang berhasil menghasilkan karya yang besar dalam keberlangsungan kehidupan. Karena itu kehidupan Kartini menjadi penting untuk diceritakan. setelah itu dia juga mengupas bagaimana seorang perempuan untuk melakukan yang terbaik walaupun banyak masalah dan rintangan yang di alami dia tetap setia dan taat kepada persolan yang dihadapi