Indovoices.com-Masih ingat ketika di awal isu Virus Corona atau dikenal Covid 19?. Apa sikap anda ketika itu?. Ketika gereja memutuskan diperboleh live streaming dan ada yang menentang?.
Malam hari sahabat saya Martin Manurung menelpon saya. Martin Manurung mengatakan pendeta Anu itu kan dekat dengan abang, coba baca statusnya. Kurang tepat statusnya itu menyikapi kondisi ini, katanya. Oke, saya baca dulu bang iya. Bilangin bang, kondisi ini genting bang. Kita ikuti saja anjuran pemerintah dan PGI sudah mengeluarkan surat penggembalaan.
Status yang dimaksud bang Martin Manurung isinya adalah dukungan seorang pendeta terkenal atas keberanian kebaktian di tengah ancaman Covid 19. Kini, pendeta yang berani itu sudah meninggal bersama istrinya yang sama sama pendeta.
Saya tidak mengatakan mereka yang terus kebaktian ketika itu tidak dewasa. Tetapi, mungkin kurang informasi terbaru tentang Covid 19. Pemahaman Firman Tuhan dan informasi yang akurat sejatinya sejalan. Supaya tafsirnya kontekstual. Bisa membaca tanda tanda zaman.
Mengapa ketua Umum PGI Gomar Gultom cepat membuat surat penggembalaan?. Apakah pemahaman teologianya lebih bagus dibanding pendeta yang terus kebaktian?. Saya kira tidak. Saya melihat, ini soal informasi. PGI dekat dengan informasi utama.
Kalau PGI dekat dengan informasi utama, mengapa pendeta lain tidak ikut?. Inilah kelemahan kita. Bisa saja kurang percaya. Atau, sikap lengah?.
Selama ini, kita sudah lelah dengan perbedaan tafsir teologia. Cara babtis saja kita debat tak selesai. Ada yang percik dan ada yang harus selam. Padahal, tidak perlu debat. Cukup pemaknaan saja. Apa makna babtis?. Makna yang harus dipertajam, bukan cara.
Ketika Covid 19 datang, ada yang gamang, bukan?. Syukurlah, lama kelamaan kita sudah satu pemahaman soal cara kebaktian melalui live streaming.
Jika kita evaluasi sikap kita yang gamang di awal Covid 19, muncul pertanyaan mengapa kita gamang?, bagaimana kita kedepan?.
Saya melihat, kegamangan itu terjadi karena kurangnya informasi yang utuh. Buktinya, PGI tidak gamang?. Biasanya PGI gamang juga kan?. Ingat kan , ketika krisis ekonomi tahun 1997?. Ketika itu ketua umum PGI Sularso Sopater menyumbang istana mas yang dikritik keras guru besar hukum Unair Prof. JE Sahetapi?.
Kita harus akui, PGI menyikapi isu Covid 19 sangat cepat. Hanya, gereja anggota PGI tidak semua mengikuti gerak cepat PGI. Gereja di lingkungan PGI yang paling cepat adalah GKI. GKI menjelaskan ke umat bahwa warga gereja memiliki tanggung jawab untuk memutus rantai penyebaran Covid 19.
Belajar dari pengalaman kita dari isu Covid 19, dibutuhakan saling percaya. Saya memang percaya PGI karena saya kenal betul integritas ketua umumya. Walaupun, banyak hal sering kami beda pendapat. Bisa dibayangkan, andaikan ketua umum PGI tidak memiliki kapasitas yang baik. Seperti apa kita menyikapi isu Covid. Kita bersyukur sigapnya PGI mengeluarkan surat penggembalaan itu.
Surat penggembalaan itu sangat menolong gereja dalam mengambil keputusan.
Bagi jemaat, perlu belajar berpendapat secara bijak. Setiap jemaat sejatinya memiliki teolog yang dia percaya. Hal itu, ampuh untuk menolong kita dalam kegamangan. Tidak bijak berkomentar ke situasinsulit yang sebetulnya tidak kita mengerti. Berteologia terus menerus itu bagus. Tetapi, ada saatnya kita menanyakan yang lebih paham. Itulah tugas teolog kita.
Kini, kita diperhadapkan kepada masa masa sulit. Iman kita benar benar diuji. Doa kita, dalam masa ujian ini kita makin dekat dengan Tuhan dan kita naik kelas. Dan, kita sesama umat percaya saling menguatkan. Salah satunya saling menguatkan dalam hal informasi agar mengambil keputusan sesuai kehendakNya.
Semoga persekutuan kita makin kuat dan kokoh di tengah ujian Covid 19.
Selamat Paskah.