Cukup menarik menyaksikan debat pilpres 2019 edisi perdana, yang kemarin dibawakan oleh moderator Ira Koesno mantan penyiar berita Liputan 6, dan Imam Priyono, Jurnalis senior TVRI. Tayangan ini juga disiarkan di empat lembaga penyiaran, yakni Kompas TV, TVRI, RTV, dan RRI.
Walaupun awalnya banyak yang menyangsikan keseruan debat akibat sudah diberikannya kisi-kisi seminggu sebelum berlangsungnya acara debat pilpres ini. Namun berdasarkan pengamatan saya, debat masih dapat berlangsung dengan cukup seru.
Dari sisi paslon 01 misalnya, mampu memaparkan visi misinya dengan sangat baik. Salah satu contohnya ketika mendapat pertanyaan soal biaya yang mahal untuk jabatan publik. Jokowi mampu menjelaskan dengan gamblang bahwa rekrutmen yang benar itu adalah rekrutmen berdasarkan kompetensi (kemampuan), dan bukan berdasarkan finansial atau nepotisme.
“Prinsipnya, rekrutmen harus berbasis pada kompetensi, bukan finansial atau nepotisme. Untuk itu, pejabat birokrasi, rekrutmen transparan, standar jelas,” ungkap Jokowi di Hotel Bidakara, Jaksel, Kamis 17 Januari 2019.
Jokowi juga memberikan contoh soal anaknya sendiri yang tak lolos rekrutmen PNS.
“Contoh rekrutmen ASN, PNS kita. Terbuka. Anak saya tidak bisa diterima di situ karena memang tidak lulus,” tutupnya.
Dengan mencontohkan hal tersebut, Jokowi ingin menyampaikan bahwa meskipun yang ikut ujian PNS itu adalah anak presiden, namun berhasil tidaknya lulus seleksi semua tergantung pada diri dan kemampuan si anak sendiri.
Jokowi sama sekali tidak ikut campur menggunakan kekuasaannya (nepotisme) untuk meluluskan anaknya. Apalagi sampai menggunakan finansial, misalnya memberikan kardus berisi 500 miliar ke penguji, agar anaknya diloloskan. Artinya Jokowi benar-benar tidak saja hanya berteori, namun sudah mempraktekkannya selama ini.
Bukan hal yang mudah untuk dicontoh apalagi diikuti oleh paslon 02 yang lebih suka memilih jalan pintas dengan menaikkan gaji.
Hal ini tercermin dari jawaban yang diberikan oleh Prabowo ketika menanggapi pertanyaan tentang tingginya biaya politik yang ujung-ujungnya tak sedikit kepala daerah yang tertangkap melakukan korupsi.
Prabowo menegaskan kepala pemerintahan harus segera melakukan terobosan-terobosan supaya penghasilan pejabat publik jadi sangat besar.
Dirinya menjawab, “Kami menilai perlu ada langkah-langkah yang lebih konkret, praktis, dan segera, sebagai contoh, bagaimana bisa seorang gubernur gajinya hanya Rp 8 juta,”
“Kemudian dia mengelola provinsi, umpamanya Jawa Tengah yang lebih besar dari Malaysia dengan APBD yang begitu besar, ini hal-hal yang tidak realistis,” imbuhnya.
Jawa Tengah lebih besar dari Malaysia? Hahahaha.. ijinkan saya ngakak dulu, sedikit informasi Jawa Tengah luasnya 32.801km2, sedangkan Malaysia luasnya 330.803km2. Jadi luas Malaysia itu 10 kali lebih dari Jawa Tengah. But it’s ok, ini sekaligus menandakan Prabowo lagi-lagi asal cuap.
Kembali ke topik semula, kalau kita baca jawaban Prabowo di atas, inti yang mau dia sampaikan dalam debat pilpres kemarin, adalah ingin menaikkan gaji para pejabat setinggi mungkin. Menurutnya, dengan gaji tinggi maka tidak ada alasan lagi bagi si pejabat untuk korupsi.
Apakah benar demikian? Karena data-data yang ada berbicara lain. Fakta menunjukkan bahwa banyak pejabat yang bergaji besar namun akhirnya tertangkap korupsi juga. Tidak percaya? Nih saya berikan beberapa contohnya.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar bergaji Rp 121 juta. Selain itu, juga mendapatkan fasilitas protokoler, dari rumah dinas, ajudan hingga fasilitas kendaraan premium. Kini Akil meringkuk di LP Sukamiskin dengan hukuman seumur hidup.
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, mendapat gaji bulanan Rp 78 jutaan. Selain itu juga mendapatkan fasilitas protokoler. Namun faktanya, dengan gaji besar, Patrialis tetap korup dan dihukum 8 tahun penjara.
Ketua DPR Setya Novanto yang gaji perbulannya berkisar Rp 60 jutaan. Selain itu, Ketua DPR juga mendapat fasilitas protokoler, ajudan, rumah dinas di kawasan elite Widya Chandra, hingga mobil dengan pengawalan melekat. Faktanya? Novanto tetap korup proyek e-KTP
Belum cukup? Ketua DPD Irman Gusman bergaji 50 jutaan/bulan, Andi Mallarangeng dengan gaji 18 jutaan/bulan, Gubernur Zumi Zola bergaji 5,8 juta/bulan plus tunjangan berlipat ganda yang hasilnya bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta. Dan semua itu belum termasuk berbagai fasilitas serba Wah yamg diberikan kepada mereka. Lantas kenapa bisa korupsi juga?
Artinya gaji besar tidak menjamin berhentinya perilaku koruptif, yang ada malah semakin serakah. Ibarat meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Sudah diberi banyak, mau lebih banyak lagi.
Jadi saya tidak melihat ada solusi yang ditawarkan oleh paslon 02 dalam debat pilpres tersebut. Sekali memberikan solusi, solusinya ngawur bin blunder, tidak tersistem dengan baik bahkan cenderung mau gampangnya saja. Naikkan gaji, lantas selesai.
Dalam hal ini solusi yang ditawarkan oleh Jokowi dalam debat pilpres kemarin, lebih real, lebih nyata, dapat dan sudah diterapkan saat ini. Walaupun memang masih banyak yang perlu dibenahi dan disempurnakan. Alih-alih menggunakan cara instan dengan menaikkan gaji, Jokowi lebih memilih membenahi sistem yang ada. Silahkan Anda bandingkan.