Indovoices.com-Batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan atau SPT Pajak tinggal dua hari lagi. Pelaporan SPT ini mesti dilakukan oleh wajib pajak agar memudahkan pemerintah untuk menghitung tingkat kepatuhan.
Selama ini, rasio kepatuhan pajak Indonesia belum pernah mencapai 100 persen, masih di kisaran 70 persen. Oleh karena itu, pemerintah menargetkan rasio kepatuhan pajak sebesar 80 persen untuk tahun ini.
Ada sejumlah kerugian hingga risiko yang mesti wajib pajak tanggung bila tidak menyampaikan SPT. Bahkan, tindakan tersebut juga menimbulkan kerugian bagi negara.
Kerugian bagi Wajib Pajak yang Tak Lapor SPT:
Denda
Wajib pajak yang sengaja tidak melaporkan SPT Tahunan setelah tenggat waktu akan dikenakan sanksi administratif berupa denda.
Bagi wajib pajak orang pribadi yang tak menyampaikan laporan SPT akan dikenakan denda Rp 100.000. Sementara untuk wajib pajak badan akan dikenakan denda Rp 1 juta.
Utang Pajak
Jika wajib pajak sengaja atau tidak jujur menuliskan utang pajak, padahal jumlahnya utang pajaknya lebih besar setelah dilakukan pemeriksaan, maka wajib pajak bisa dikenakan sanksi berupa denda 150 persen dari jumlah pajak yang kurang bayar tersebut.
Wajib pajak yang terbukti tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tapi isinya tidak benar atau tak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga menimbulkan kerugian pendapatan negara, dapat dikenakan sanksi pidana.
Pidana penjara itu paling singkat selama enam bulan dan paling lama selama enam tahun.
Kerugian negara jika wajib pajak tak lapor SPT:
Penerimaan Negara Seret
Pelaporan SPT Tahunan merupakan salah satu penerimaan negara yang cukup besar. Semakin tinggi kepatuhan wajib pajak, maka penerimaan pajak akan semakin meningkat, demikian pula sebaliknya.
Dalam APBN 2020, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan (pajak dan bea cukai) sebesar Rp 1.786,4 triliun. Sementara target penerimaan pajak sendiri hanya Rp 1.577,6 triliun.
Infrastruktur Tersendat
Kepatuhan pajak juga berpengaruh terhadap kelancaran pembangunan infrastruktur, seperti jalan, irigasi, jembatan, hingga sejumlah proyek sanitasi dan akses air.
Kepatuhan pajak yang rendah akan membuat penerimaan pajak tak mencapai target. Akibatnya pembangunan infrastruktur juga akan tersendat.
Utang
Pajak yang tak mencapai target akan mempengaruhi kas pemerintah. Penerimaan seret sementara belanja negara tetap berjalan, membuat pemerintah harus menambah pendapatan negara dari sumber lain, salah satunya pembiayaan atau utang.
Kekurangan pajak yang tinggi akan membuat defisit semakin melebar. Hingga akhir Maret 2020, total utang pemerintah pusat mencapai Rp 5.192,56 triliun. Angka ini naik 4,93 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar Rp 4.948,18 triliun.
Rasio utang pemerintah per akhir bulan lalu mencapai 32,12 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Pemerintah juga melakukan penarikan utang baru hingga akhir Maret sebesar Rp 76,48 triliun. Terdiri dari realisasi SBN sebesar Rp 83,90 triliun dan pinjaman sebesar Rp 7,42 triliun.
Dalam rentang waktu itu, pemerintah telah membayar bunga utang sebesar Rp 73,84 triliun, atau tumbuh 4,63 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Adapun sepanjang tahun ini, pemerintah menargetkan pembayaran bunga utang sebesar Rp 295,21 triliun.(msn)