Indovoices.com-Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menegaskan data digital publik wajib disimpan di dalam negeri. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71/2019 tentang Sistem Penyelenggaraan dan Transaksi Elektronik (PSTE) Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengakses dan mengawasi data milik publik.
Dalam PP 71/2019 tersebut ada aturan soal penempatan fisik data center (DC) dan data recovery center (DRC) yang harus ada di Indonesia. Sebab, saat ini yang dibutuhkan oleh pemerintah adalah data-datanya bukan fisiknya.
“Dalam aturan yang lama itu mengatur fisiknya, padahal yang penting itu datanya. Saat ini kami mensyaratkan datanya bukan hanya fisiknya,” ujar Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan.
Demikian disampaikan Semuel Abrijani Pangerapan dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk “Ada Apa Dengan PP No. 71 Tahun 2019 (PP PSTE)?” yang diselenggarakan di Gedung Serbaguna Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta.
Oleh karena itu, Semuel mengatakan perlu adanya klasifikasi data elektronik. Dalam revisi PP tersebut, ada tiga klasifikasi data, antara lain; data strategis, data risiko tinggi, dan risiko rendah. Data strategis wajib hukumnya ada di Indonesia. Sebab data tersebut merupakan data yang begitu penting bagi negeri ini seperti keamanan dan pertahanan.
Prinsipnya data-data yang menyangkut kepentingan sektor publik bakal ditempatkan di dalam negeri. Sehingga, pertukaran data antar pribadi, institusi, bahkan negara dapat dilakukan. “Jadi data-data yang dibiayai oleh APBN, dana publik, dan sejenisnya maka tetap ditempatkan di dalam negeri,” tegasnya.
“Penyelenggara sistem elektronik dalam lingkup publik dan privat wajib melakukan pendaftaran. Pendaftaran mudah, tinggal mengakses website, isi info yang dibutuhkan,” jelas Semuel A Pangerapan.
Lebih lanjut, Semuel menerangkan, di PP itu penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup publik wajib lakukan pengelolaan, pemrosesan, dan penyimpanan sistem dan dokumen elektronik di wilayah Indonesia. Tidak boleh di luar Indonesia, sesuai juga dengan PP 82/2012 yang kemudian direvisi menjadi PP 71/2019.
“Ini sudah menerima masukan asosiasi. Bukan dibagi lagi data strategis dan sebagainya. Tapi lingkupnya. Ini lingkup publik tetap ada di Indonesia. Ada layanan yang dibutuhkan masyarakat tapi teknologinya belum ada. Dua tahun data atau sistem disimpan di luar Indonesia akan ditarik kembali. Tapi dikecualikan kalau teknologi penyimpanannya tidak tersedia di dalam negeri. Kalau terjadi lagi seperti ini, itu harus direview, dengan Kominfo dan sektor terkait,” beber Dirjen Aptika Kominfo.
Dijelaskan, penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik dalam lingkup privat, proses boleh di dalam dan di luar Indonesia. Tapi pada saat dibutuhkan untuk pengawasan dan penegakan hukum harus sediakan akses pada info yang dibutuhkan.
Beleid PP 71/2019 ini mengatur penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik dalam lingkup publik dan lingkup privat. Lembaga dalam lingkup publik yakni, instansi penyelenggara negara, institusi telekomunikasi yang ditunjuk oleh negara dan lembaga telekomunikasi yang dikuasai oleh negara.
Adapun lingkup privat adalah penyelenggaraan sistem elektronik yang diawasi kementerian/lembaga yang menjalankan transaksi perdagangan, PSE yang memliki portal/site yang meliputi penawaran/perdagangan barang/jasa transaksi keuangan, layanan berbayar dan aplikasi telekomunikasi, layanan pencarian data serta pemrosesan data pribadi.
Hadir pula narasumber FMB 9 lainnya, pengamat hukum Eka Wahyuning S, Senior Associate dari MKK. (jpp)