Walaupun sudah sejak lama, ada peribahasa mengatakan bahwa: “Meratapi nasib ,tidak akan mengubah apapun”, namun hingga kini, tetap saja banyak orang yang mengisi hidupnya dengan keluh-kesah.
Karena itu, saya termotivasi untuk menuliskan cuplikan perjalanan hidup pribadi, yang pernah mengalami pahitnya kehidupan selama bertahun tahun. Diharapkan, tulisan ini dapat menjadi masukan bagi orang banyak, yang sedang berusaha untuk mengubah nasibnya.
Gagal Dalam Usaha Dagang Keliling
Sebagai orang yang baru terjun ke dalam kehidupan bermasyarakat, saya mencoba untuk berdagang keliling. Yakni membawa barang-barang hasil produksi pabrik permen di Medan ke Padang. Namun karena belum berpengalaman sama sekali, akhirnya dalam waktu kurang dari 6 bulan, seluruh modal ludas.
Sejujurnya, pada waktu itu, saya merasa shock, karena bukan hanya modal pribadi yang habis, karena merugi, tapi pinjaman pada tante kami di Medan, dimana saya dan istri menumpang tinggal, tidak bisa kami kembalikan. Walaupun tidak pernah ditagih, namun ada perasaan tidak nyaman untuk terus tinggal di sana dan membebani tante kami, yang dua orang anaknya, masih duduk di SD.
Masuk Kerja di Pabrik Karet
Akhirnya ada teman dari Padang, membantu agar saya diterima bekerja di PT Pikani, yang lokasinya di desa Patumbak, sekitar 34 Km di luar kota Medan. Istri saya dapat kerja di Kantor, sementara saya kerja di pabrik. Namun dua tahun kerja disana, tidak ada uang yang dapat ditabungkan, malahan 3 kali saya hampir mati, karena terserang Malaria. Karena tempat kami tinggal di pemondokan buruh, berada di dekat hutan. Pemondokan yang kami tempati hanya seluas 2 X 3 meter. Tidak ada perabot, selain dari bangku terbuat dari kayu kasar. Untuk mandi, kami harus bangun jam 4.00 subuh, karena harus antrian di kamar mandi umum.
Memutuskan Pulang Kampung
Sementara itu, istri saya hamil. Saya semakin kecut, mengingat pemondokan kami sama sekali jauh dari layak, untuk dihuni bayi yang akan dilahirkan kelak. Maka kami memutuskan untuk pulang kampung. Manager kami Bang Yunan Purba, mencoba menahan kami, dengan janji, kami akan dipindahkan ke pemondokan yang lebih baik. Namun tekad kami sudah bulat dan akhirnya, kami pamitan untuk pulang kampung.
Walaupun sesungguhnya, kami sudah tahu, bahwa pulang kampung, harus siap menghadapi teman teman yang sinis. Karena biasanya orang merantau, pulang nasibnya berubah, tapi kami malahan jadi kere.
Menjadi Penjual Kelapa di Pasar Tanah Kongsi Di Padang
Setibanya di Padang, kami bingung mau mengerjakan apa? Beruntung, istri saya berhasil diterima sebagai guru di SMP Murni. Kami menyewa kedai di pasar Tanah Kongsi,dengan menjual seluruh sisa-sisa perhiasan istri saya.
Sesungguhnya saya sangat tidak tega, tapi istri saya dengan ikhlas menjualnya dan uang penjualan perhiasan. Kami menyewa kedai, yang merangkap menjadi tempat tinggal kami.
Jam 3.00 subuh, kami sudah bangun, karena istri saya harus ke stasiun kereta api membeli kelapa dan saya sudah harus bekerja membuka sabut kelapa, untuk diparut dan dijual. Satu butir kelapa bisa untung 5 rupiah.
Hingga putra pertama kami lahir, nasib belum berubah. Saya bersyukur, istri saya sangat tegar menghadapi kesulitan hidup dan tak pernah sekali juga berkeluh kesah.
Putra Ulang Tahun ke 3
Pada waktu putra pertama kami ulang tahun ke 3, dengan suara memohon ia minta dibelikan kue. Saya memeluknya sambil menangis. Dan putra kami balas memeluk saya kuat kuat,sambil berkata: ” Papa, jangan menangis, kalau tidak ada uang, tidak apa apa “.
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut anak berusia 3 tahun, saya tidak mampu lagi menahan air mata saya, istri saya berusaha membujuk putra kami dengan membuatkan Kue Tart dari gabus bekas, Kami menyalakan sebatang lilin bekas, berdoa dan bernyanyi :” Panjang umurnya…” dengan suara serak menahan rasa haru.
Titik Terang Itu Pun Muncul
Suatu hari, teman lama saya yang sudah sukses, mengajak saya datang ke kantornya. Disana banyak memotivasi saya dan mengingatkan bahwa bila tetap berjualan kelapa, bagaimana kelak nasib putra kami? Syamsuar (nama sesungguhnya), memberikan saya pinjaman modal untuk mengumpulkan kopi dari kampung kampung. Saya sangat bersyukur dan merasakan inilah jalan untuk mengubah nasib kami.
Saya ke Batusangkar dan berkeliling kampung membeli biji kopi dari para petani, akhirnya terkumpul satu karung. Langsung saya serahkan kepada sahabat saya, Syamsuar di Padang, yang berkantor di Jalan Diponegoro. Kopi sekarung tersebut dibeli oleh Syamsuar dan keuntungannya, melebihi sebulan saya jualan kelapa.
Sejak saat itu, saya berunding dengan istri saya, untuk tidak lagi berjualan kelapa, karena ingin fokus menjadi pengusaha kopi yamg membeli kopi di kampung-kampung. Titik terang dalam kehidupan kami, semakin menampakan cahayanya. Semakin hari, uang mulai terkumpul.
Kemudian kami pindah dari Pasar Tanah Kongsi ke Jalan Kampung Nias, kami lega, karena bisa hidup dengan layak. Setelah berjalan tiga tahun, suatu hari Syamsuar menyarankan saya ikut ambil bagian untuk ekspor kopi. Mendengar peluang yang ditawarkan, tentu saja kami sangat bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada Syamsuar.
Menjadi Pengusaha Mandiri
Singkat cerita 7 tahun kemudian, kami sudah menjadi pengusaha Eksportir Kopi dan Cassia. Kami sudah membangun rumah di Komplek Wisma Indah I di Ulak karang kota Padang.
Putra kami yang dulu pernah ikut menderita bersama kami, melanjutkan studi di California State University. Dalam usia 21 tahun, Irmansyah Effendi, putra pertama kami lulus Msc dengan predikat Magna Cumlaude.
Bagaikan Mimpi ketika kami hadir pada wisuda putra kami, serasa bagaikan mimpi. Dari kuli dan penjual kelapa, putra kami bisa lulus dengan nilai terbaik di bidang Computer science.
Sungguh, apa yang mustahil bagi manusia, ternyata bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Berkat kerja keras dan pantang menyerah, serta didukung oleh cinta kasih dari istri dan anak-anak, kami mampu mengubah nasib, dari kuli menjadi pengusaha.
Ditulis berdasarkan pengalaman pribadi, bukan untuk pamer pencapaian, melainkan untuk menerapkan hidup berbagi. Semoga tulisan ini, mampu menginspirasi orang banyak, bahwa sesungguhnya nasib itu ada ditangan kita masing-masing.
Tjiptadinata Effendi