Indovoices.com –Promosi new normal di sejumlah negara berubah jadi mimpi buruk karena dilakukan sebelum virus corona bisa dikendalikan. Para ahli kesehatan pun mengingatkan agar sebuah negara harus menyelesaikan masalah kesehatan terlebih dahulu sebelum melakukan pelonggaran atas pembatasan sosial di masa pandemi.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Clinical Epidemiology & Evidence-Based Medicine FKUI-RSCM, Tifauzia Tyassuma, misalnya, tidak ada satupun negara yang berhasil menerapkan new normal tanpa menyelesaikan masalah kesehatan terlebih dahulu. Dia mewanti-wanti, promosi new normalyang dibuat pemerintah Indonesia bisa jadi bumerang karena bisa memperburuk, bukan hanya kesehatan masyarakat, tapi juga ekonomi itu sendiri.
“Negara-negara yang telah menerapkan new normal itu semua gagal. Sebut saja mana negara yang menerapkan new normal dan berhasil? Nggak ada satupun. Kalau kita bilang Vietnam, dari awal mereka melakukan langkah intervensi kesehatan mereka luar biasa bagus. Karena itu jumlah mortalitas mereka sangat kecil. Kenapa? Karena dari awal intervensi mereka tepat. Begitu juga dengan Malaysia,” kata Tifauzia.
“Kita lihat saja nanti sekian bulan, ekonomi kita ambruk, kesehatan tambah terpuruk. Itu sudah pasti kalau langkah yang diambil pemerintah seperti ini,” sambungnya.
Tifauzia sendiri menyarankan agar pemerintah melihat masalah pandemi virus corona dalam duduk perkara yang seharusnya. Dalam hal ini, pemerintah harus menyadari bahwa sumber dari masalah ekonomi yang terjadi selama corona berhulu pada masalah kesehatan masyarakat itu sendiri. Untuk hal tersebut, dia meminta agar pemerintah setop mempromosikan new normal. Langkah yang seharusnya diambil adalah memperkuat memperbanyak tes PCR massal, fasilitas kesehatan, mengedukasi publik atas pencegahan penularan, serta mengatasi hoaks corona yang membuat masyarakat jadi kurang waspada terhadap virus corona.
Lantas, negara mana saja yang ‘gagal’ dalam menerapkan new normalkarena virus corona belum terbendung? Kamu bisa melihatnya melalui daftar berikut ini.
Iran
Pelonggaran pembatasan sosial di Iran sejak 11 April 2020 muncul di kala pertumbuhan kasus harian corona masih berada di kisaran 1.000 kasus baru per hari.
Pemerintah Iran berdalih, pelonggaran pembatasan sosial perlu diambil karena mereka harus mempertimbangkan dampak dari sanksi ekonomi yang diberikan oleh AS, menurut laporan ABC News. Sebelumnya, Presiden Donald Trump menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran, termasuk pada ekspor minyak, setelah menarik AS dari perjanjian nuklir pada 2015.
Sayangnya, keputusan prematur tersebut malah membuat jumlah kasus harian di Iran melonjak kembali sejak awal Mei 2020, atau tiga minggu setelah pelonggaran diberlakukan. Bahkan, pada 4 Juni 2020, Iran sempat mencatat penambahan kasus harian sebanyak 3.574. Jumlah tersebut merupakan rekor penambahan kasus harian corona yang pernah dicatat negara tersebut.
Berdasarkan laporan resmi pemerintah Iran hingga Sabtu (13/6) siang, negara tersebut memiliki 182.545 kasus virus corona dengan catatan 8.659 pasien COVID-19 meninggal. Iran juga mencatatkan pertumbuhan kasus sebesar 2.369 dan 75 kematian pada Jumat (12/6), seperti dilaporkan agensi berita Islamic Republic News Agency.
Lonjakan kasus corona di Iran sendiri disebabkan oleh tidak diterapkannya protokol kesehatan setelah pelonggaran dilakukan dan jumlah tes yang rendah, menurut The New York Times. Negara tersebut baru melakukan uji diagnostik PCR sebanyak 1.196.947 dari populasi yang berjumlah 83,9 juta jiwa, dengan rasio 14.260 tes per 1 juta penduduk, berdasarkan data yang dihimpun Worldometer.
Jumlah tes tersebut jauh lebih kecil ketimbang negara dengan populasi yang serupa dengan Iran seperti Turki (30.156 per 1 juta penduduk) dan Jerman (56.035 per 1 juta penduduk). Indonesia sendiri baru memiliki rasio diagnostik PCR sebesar 1.752 tes per 1 juta penduduk.
Pakistan
Pakistan bisa disebut sebagai contoh terburuk bagaimana pelonggaran pembatasan sosial muncul di saat wabah belum terkontrol. Sebagai contoh, negara tersebut mencatat pertumbuhan ganda total kasus virus corona dalam waktu 14 hari terakhir.
Pemerintah Pakistan melonggarkan pembatasan sosial mereka sejak 11 Mei 2020 di saat peningkatan kasus virus corona sedang meningkat, menurut laporan Anadolu Agency. Langkah tersebut diambil karena, menurut Perdana Menteri Imran Khan, kebijakan lockdown dan pembatasan sosial hanya akan menyulitkan para pekerja, ekonomi, dan bisnis kecil.
Keputusan gegabah untuk membangun ekonomi di tengah wabah yang belum terkendali jadi bumerang bagi Pakistan. Negara tersebut hingga Sabtu (13/6) mencatat 132.405 kasus virus corona, meningkat dua kali lipat dibanding laporan resmi pemerintah Pakistan pada 30 Mei 2020 dengan jumlah sebesar 66.457 kasus.
Pakistan pun saat ini tengah terperosok ke dalam krisis kesehatan. Menurut laporan Aljazeera, Pakistan hanya memiliki 6 kasur rumah sakit per 1.000 penduduk, di mana para dokter dan ahli kesehatan memprediksi kalau fasilitas layanan kesehatan mereka akan kolaps dalam waktu dekat.
Sama seperti Iran, lonjakan kasus corona di Pakistan pasca-pelonggaran pembatasan sosial diakibatkan oleh tidak patuhnya masyarakat terhadap protokol kesehatan dan kurangnya jumlah tes yang masif. Aljazeera melaporkan, Pakistan hanya mampu melakukan uji diagnostik PCR sebesar 25.000 tes per hari, atau hanya setengah dari jumlah yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Indonesia sendiri tidak pernah mencatat tes PCR di atas 20.000 per hari.
India
India sempat menggemparkan dunia ketika mengumumkan lockdown terbesar pada 25 Maret 2020. Namun, langkah preventif dicabut pada akhir Mei 2020.
Sejak 26 Mei sampai 13 Juni 2020, India mencatat total pertumbuhan ganda kasus corona. Hingga Sabtu (13/6), negara berpopulasi 1,3 miliar orang itu telah mencatatkan 309.603 kasus virus corona, di mana 8.890 orang di antaranya meninggal.
India sendiri saat ini mencatat pertumbuhan kasus harian sebesar 10.000 kasus per hari. Mereka hanya lebih baik ketimbang AS dan Brazil dalam hal pertumbuhan kasus harian tersebut.
Menurut laporan The New York Times, pencabutan lockdown diambil oleh pemerintah India dengan pertimbangan ekonomi. Meski demikian, para ahli menyebut bahwa negara itu terlalu cepat untuk melonggarkan pembatasan sosial yang ada.
“Ekonomi kita sangat tergantung pada tenaga kerja, jutaan orang akan kehilangan mata pencaharian dan kehidupan mereka jika lockdown ini berlangsung berbulan-bulan,” kata Indrani Gupta, seorang ekonom kesehatan India yang diwawancarai oleh The New York Times.
“Kami malah mendapatkan hal sebaliknya. Kami menutup terlalu cepat dan itu terlalu kejam. Dan saya pikir sekarang bukan saatnya untuk tenang,” sambungnya.
India sendiri sebenarnya telah melakukan tes corona sebanyak lebih dari 5,5 juta tes. Namun, karena populasi yang besar, rasio tes mereka hanya mencapai 3.993 tes per 1 juta penduduk. Rasio tersebut masih dua kali lipat lebih baik ketimbang yang dicapai oleh Indonesia.
Meksiko
Faktor ekonomi juga menjadi alasan Meksiko untuk menyudahi lockdown mereka. Bahkan, pemerintah Meksiko saat ini telah membuka kembali industri pariwisata mereka di awal Juni 2020.
“Kita harus menuju ke normalitas baru karena ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat tergantung padanya,” kata Presiden Meksiko, Andrés Manuel López Obrador, dikutip dari The New York Times.
Di sisi lain, pertumbuhan kasus corona harian di Meksiko terus melonjak dari hari ke hari. Hingga Sabtu (13/5) negara tersebut telah mencatat 139.196 kasus corona di mana 15.448 orang di antaranya meninggal.
Meksiko sendiri tak memiliki tes diagnostik corona yang memadai. Menurut catatan Worldometer, mereka baru melakukan tes corona sebesar 393.714 bagi 128,8 juta penduduk, dengan rasio 3.055 tes per 1 juta penduduk.(msn)