Indovoices.com –Dr. Neil Ferguson dari Imperial College, London, adalah seorang epidemiologis yang sekarang dikenal sebagai ”Profesor Lockdown”. Pada pertengahan Maret lalu, Ferguson mengumumkan hasil prediksi model matematika angka kematian Covid-19 di Inggris yang menimbulkan kepanikan masyarakat.
Menurut dia, apabila Inggris tidak melakukan lockdown, angka kematian bisa mencapai 510.000 orang. Kedudukannya sebagai Kepala Department of Infectious Disease Epidemiology School of Public Health tentunya mudah dipercaya publik karena pernyataan seorang saintis.
PM Inggris Boris Johnson, yang awalnya lebih percaya dengan pendekatan herd immunity, dalam waktu singkat mengubah kebijakannya dengan menerapkan total lockdown. Model prediksi Ferguson ternyata juga memengaruhi kebijakan lockdown di Amerika Serikat (AS), Perancis, Jerman, dan banyak negara lain di dunia.
Bagaimana tidak, dengan prediksi model Ferguson, tanpa lockdown AS akan memiliki angka kematian 2,2 juta orang, yang tentunya membuat Presiden Trump melakukan kebijakan lockdown segera. ESKALASI KEPANIKAN We are following the science, kalimat yang sering terdengar dari para pengambil kebijakan.
Walaupun banyak pertanyaan dan kritikan yang dilontarkan beberapa ilmuwan akan kebenaran model Ferguson, yang laporan penelitiannya tidak pernah ada peer review, kepanikan massal ini sudah telanjur masuk ke alam bawah sadar masyarakat dunia sehingga menjadi semacam post truth, yaitu kebenaran emosional (belum tentu obyektif) bahwa Covid-19 adalah virus paling berbahaya dalam sejarah kemanusiaan.
Apalagi setiap detik masyarakat dibombardir berita yang membuat eskalasi kepanikan sehingga sulit bagi masyarakat, termasuk para pakar dan terdidik, untuk lebih rasional dan obyektif dalam melihat permasalahan. Salah satu kritikan dilontarkan pemenang hadiah Nobel Kimia 2013, Prof Michael Levitt, dari Stanford University. Levitt yang juga ahli matematika biofisika mengatakan model Ferguson adalah suatu kesalahan fatal.
Dalam sebuah webinar, Levitt membuat pernyataan cukup keras: Imperial College harus bertanggung jawab atas terjadinya resesi dunia mendatang. Menurut dia, kesalahan ini membuat dunia harus menanggung beban triliunan dollar AS.
Kebenaran sebuah model statistika sangat tergantung pada asumsi dan parameter yang dipakai dalam pengembangannya. Cato Institute menganalisis model yang dipakai Ferguson, bagaimana angka kematian 2,2 juta penduduk AS didapat. Ternyata salah satu asumsi yang dipakai Ferguson dalam modelnya adalah sebanyak 81 persen populasi akan terinfeksi Covid-19.
Padahal, pada pandemi flu Spanyol 1918-1919 yang mematikan saja tak lebih dari 28 persen populasi AS yang terinfeksi (kenaikan asumsi hampir 300 persen). Asumsi lainnya adalah tingkat kematian (infection fatality rate/IFR) 0,66, sedangkan hasil studi Oxford University (Centre for Evidence-Based Medicine) IFR Covid-19 diperkirakan 0,1-0,36. Sekelompok saintis dari Stanford University melakukan tes serologi untuk melihat antibodi dari 3.300 orang di Santa Clara, California, secara acak, dan ternyata jumlah angka yang positif terinfeksi diperkirakan 50 sampai 85 kali lebih tinggi dari yang terdeteksi. Artinya, populasi yang terinfeksi banyak yang tak bergejala (asymptomatic-OTG) atau gejala ringan sehingga tak menyadari dirinya sakit tentunya tak akan tercatat dalam data.
Namun, hasil tes serologi menunjukkan tubuhnya sudah memiliki antibodi yang berarti pernah terinfeksi sebelumnya. Perhitungan IFR dari studi Stanford University 0,12-0,2 masih dalam kisaran hasil perhitungan tim Oxford University. Artinya, model Ferguson memakai asumsi IFR 300-500 persen lebih tinggi.
Pengalaman saya pribadi bekerja sebagai data analyst di Tufts University tahun 1987-1992 kerap menggunakan model ekonometrika dan structural modelling, termasuk untuk disertasi saya.
Bagi yang paham ekonometrika pasti mengetahui bagaimana sensitifnya sebuah model apabila parameter dan asumsinya diubah. Juga ada istilah garbage in and garbage out (masuk sampah, keluar sampah) untuk mendapatkan hasil sesuai keinginan peneliti. Berbagai percobaan model sudah pernah saya lakukan dengan hasil berbeda tergantung asumsi dan parameternya. Inilah yang membuat saya selalu bersikap skeptik terhadap hasil penelitian karena model yang dikembangkan, apakah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip ekonometrika.
Model statistika sangat berguna untuk memprediksi sesuatu, tetapi penggunaannya bisa dipengaruhi agenda peneliti, kepentingan, atau ”pesanan” yang tentunya melanggar prinsip-prinsip keilmuan. Skandal The Lancet, sebuah jurnal ilmiah bergengsi yang menerbitkan artikel tentang bahaya hidroksiklorokuin (HCQ) untuk pengobatan Covid-19, bukti nyata bahwa tidak semua saintis dapat dipercaya. Artikel terpaksa ditarik karena memakai data palsu.
Padahal, WHO langsung menginstruksikan pelarangan HCQ untuk Covid-19. Sebelumnya, HCQ dianggap obat mujarab yang aman dan murah untuk Covid-19 sehingga Presiden Trump menganjurkan untuk dipakai. Ada anggapan, penerbitan artikel ilmiah palsu itu karena agenda politik untuk mempermalukan Trump. Anggapan lain adalah adanya pesanan khusus perusahaan farmasi akibat terlalu murahnya obat HCQ.
Ada seorang dokter mengomentari terbitnya artikel tersebut, ”This racket has been going on for a long time. Pharmaceutical industry, which stand to make money, pay both doctors and the journals millions of Dollars to publish what is essentially fake data and analyses (Kekacauan ini sudah berlangsung lama. Industri farmasi yang tujuannya mencari uang membayar jutaan dollar kepada para dokter dan jurnal-jurnal untuk memublikasikan apa yang sebenarnya hanya data dan analisis palsu).” (National Herald, 13/6/2020). COMMON SENSE Pendekatan common sense dalam penanganan pandemi tanpa membuat kepanikan adalah negara Swedia. Dr Anders Tegnell adalah seorang epidemiologis yang memberikan nasihat langsung kepada PM Stefan Löfven untuk tidak menerapkan lockdown karena percaya dengan pendekatan herd immunity.
Semua sekolah dari TK sampai SMP tetap berjalan seperti biasa, kantor tetap buka, kafe dan restoran tetap ramai pengunjung (imbauan saja untuk social distancing), serta boleh ada kerumunan maksimal 50 orang. Padahal, prediksi model Ferguson untuk Swedia tanpa lockdown dapat mencapai 40.000 kematian pada 1 Mei dan bisa mencapai 100.000 pada Juni. Ternyata data kematian pada akhir Mei 4.000 orang atau hanya sekitar 0,04 persen dari prediksi model Ferguson. Swedia memang memiliki angka kematian relatif tinggi dibanding negara-negara Skandinavia lain. Menurut Tegnell, kesalahan yang terbesar adalah kurangnya antisipasi perlindungan ekstra di panti wreda (nursing home) yang membuat sekitar 50 persen kematian adalah para lansia yang memang sudah memiliki penyakit penyerta sebelumnya. Namun, dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang menerapkan lockdown, data 1 Juni 2020 (Statista.com), Swedia menduduki peringkat kelima kematian per kapita tertinggi setelah Belgia, Spanyol, Inggris, dan Italia. Artinya, negara-negara yang menerapkan lockdown ketat memiliki kematian lebih tinggi dibanding Swedia yang menerapkan herd immunity (walaupun kita masih menunggu keberhasilannya). Karena lockdown, Inggris dan Italia tahun ini dipredikasi mengalami kontraksi ekonomi 25-30 persen, sedangkan Swedia diprediksi 8 persen (Bloomberg, 16/6/2020).
Belum lagi ongkos sosial yang harus dibayar, seperti kesehatan mental masyarakat yang stres karena terisolasi dan kehilangan pekerjaan. Baru-baru ini sekitar 500 dokter di AS ikut menandatangani sebuah surat terbuka kepada Presiden Trump, menuntut lockdown diakhiri.
Alasannya, akibat lockdown, angka bunuh diri meningkat, jumlah penelepon suicide hotline naik 600 persen, penjualan minuman keras naik 300-600 persen, serta kematian karena penyakit-penyakit yang berkaitan dengan stres dan depresi meningkat. Belum lagi yang dialami anak-anak. Diperkirakan sekitar 40 persen anak telah mengalami depresi dan kecemasan (JAMA Pediatric, 24/4/2020).
Ini bisa menjadi bom waktu karena depresi pada anak dapat berlanjut paling tidak 10 tahun ke depan dengan berbagai bentuk masalah kesehatan jiwa yang dapat menurunkan kualitas SDM mendatang.
Memang mudah membuat masyarakat panik, apalagi dengan memaparkan data statistik. Ada sebuah berita berjudul ”Mengapa Angka Kematian Anak akibat Virus Corona di Indonesia Tinggi?” Ternyata yang dimaksudkan tinggi adalah jumlah kematian yang sudah mencapai 14 orang (0-18 tahun) (data 4 Juni 26 orang).
Data dari berbagai belahan dunia angka kematian usia 0-18 tahun memang mendekati 0 persen. Kalau kita analisis secara perspektif, jumlah kematian usia 0-5 tahun akibat pneumonia di Indonesia adalah 19.000 orang per tahun atau setara 4.600 kematian anak balita dalam kurun waktu tiga bulan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Artinya, angka kematian pneumonia sekitar 180 kali lebih tinggi daripada Covid-19.
Mengapa masyarakat tidak panik dengan pneumonia dan orangtua tidak takut mengirimkan anaknya ke sekolah? Saya bayangkan kalau media terus-menerus melaporkan data statistik kematian pneumonia setiap hari atau data 300 orang meninggal per hari akibat TBC, pasti masyarakat panik dan menuntut lockdown, terutama mereka yang ekonominya sudah mapan atau yang mendapatkan gaji tetap dan nyaman bekerja di rumah atau yang memiliki agenda ekonomi-politik tertentu. (Ratna Megawangi Pendiri Indonesia Heritage Foundation) tentang klaim “berdasar science” yang ternyata keliru)