Indovoices.com- Langit Papua memerah, saat amarah sekelompok orang di Kabupaten Manokwari, Papua Barat, membucah. Kesatuan bangsa kembali dipertaruhkan.
Hari itu, 19 Agustus 2019, terjadi aksi pemblokiran jalan dengan cara menebang pohon, membakar ban, bahkan umbul-umbul merah putih. Masyarakat asli Papua meradang lantaran berselang empat hari lalu terjadi penangkapan terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua yang ada di Malang dan Surabaya.
Tindak tegas itu dihelat karena sebelumnya sekelompok mahasiswa asal Papua terlibat keributan dengan Aremania di Jl Basuki Rahmat, Kota Malang, tepatnya di perempatan Rajabali. Akibat peristiwa itu, sebanyak 3 korban bentrok menderita luka-luka.
Pada saat yang bersamaan, di Surabaya, yakni di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III, terjadi insiden penolakan pemasangan bendera merah putih, yang sedianya hendak dikibarkan dalam rangka peringatan HUT ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Nyatanya bukan hanya di Manokwari, di hari yang sama, sejumlah warga Papua di Kota Jayapura juga menggelar aksi longmarch menentang aksi rasisme yang terjadi di Surabaya dan Malang. Aksi yang dimulai sejak pukul 08.00 WIT itu bermula di Pertigaan Expo Waena, Kampus Uncen, dan lingkar Abepura, hingga menutup jalan lintas Jayapura-Sentani.
Masih aksi senada, di Kota Sorong, di hari yang sama, juga terjadi perusakan Bandara Domine Eduard Osok dengan cara dilempari batu. Seiring itu, sejumlah tuntutan pun berkumandang di tanah Papua. Selain diminta untuk segera meminta maaf kepada warga Papua, para pengunjuk rasa juga meminta agar pemerintah memberikan kebebasan bagi Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Di sejumlah tempat, tuntutan referendum pun sempat terlontar.
Telah menjadi kesadaran pemerintah di negeri ini, bahwa persoalan di Papua dan Papua Barat masih memerlukan perhatian khusus. Penyebabnya karena masih kerap adanya reaksi masyarakat Papua lewat kelompok dan organisasi tertentu yang cenderung melakukan cara kekerasan dan separatis sehingga berdampak pada instabilitas sosial, politik, dan keamanan di sana.
Persoalan instabilitas yang terjadi di Papua, sebagaimana diungkapkan dalam Bagian Umum Penjelasan UU Otsus Papua, yang diundangkan sejak 21 November 2001, memang merupakan sebuah potensi. Mengingat, kendati keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandang cita-cita luhur, kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, den belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Alhasil, kesenjangan pun terjadi pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan den sosiai politik. Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan pada bagian ini, adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan.
Persoalannya diketahui, sejak sebelum diundangkannya aturan khusus untuk Papua, upaya penyelesaian masalah dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua. Sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan.
Maka bertolak dari momentum reformasi di Indonesia, timbul pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia, dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Termasuk menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2.
Dalam Ketetapan MPR RI Nornor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Perlu diingat bahwa Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas sekaligus bermakna tanggung jawab yang lebih besar bagi provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan itu berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
Sudah jelas tertuang, betapa penuntasan masalah Papua harus dilakukan secara holistik, termasuk menggunakan pendekatan antropologi dan budaya. “Sebab, pendekatan tersebut bisa membuat pemerintah memahami budaya di Papua yang heterogen. Nah ini jadi konsep secara holistik dengan pendekatan antropologi dan sosiologi budaya,” ucap politikus Golkar, Yorrys Raweyai, beberapa waktu lalu.
Pendapat serupa juga disampaikan mantan Kapolda Papua Bekto Suprapto. Mantan Kapolda Papua periode 2011-2012 itu menilai pendekatan budaya dan antropologi paling tepat untuk menyelesaikan konflik dan masalah-masalah di Papua. Lebih dari itu, pemerintah juga bisa membuat kebijakan afirmatif guna mengurangi ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Papua.
Sejak akhir Orde Baru, sejatinya pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua. Namun kendati mengalami pasang surut, potensi konflik di Papua, bagaimana api dalam sekam. Para penggiat hak azasi manusia umumnya berpendapat bahwa terjadi kesalahan dalam pendekatan yang dilakukan. Dimana, pemerintah dipandang terlalu sering menggunakan pendekatan keamanan dan sedikit sekali mengunakan pedekatan kesejahteraan.
Padahal sejak 2001 pemerintahan SBY sudah mencoba meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dengan memberikan bantuan berupa Dana Otsus yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah kala itu bahkan berani mengklaim bahwa bantuan yang diberikan pemerintah pusat kepada Papua jauh lebih besar dari kontribusi yang diterima negara dari Papua.
Permasalahannya adalah meski dana Otsus yang diberikan begitu besar, rakyat Papua tetap miskin dan termarjimalkan. Di sisi lain kemiskinan yang dirasakan orang Papua menjadi lahan subur bagi separatis untuk mempengaruhi masyarakat agar mendukung perjuangan pemisahan Papua dari NKRI.
Lantaran itulah, sebagaimana diajurkan sejumlah kalangan, selain melakukan pendekatan keamanan dan kesejahteraan, pemerintah hendaknya juga melakukan pendekatan kebudayaan melalui toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama serta penguatan nilai-nilai kebangsaan.
Besar harapan langkah tersebut lebih efektif, meningat pendekatan yang sudah digunakan selama ini tidaklah efektif dalam menyelesaikan konflik di Papua.
Pola pendekatan budaya tersebut, disarankan dilakukan secara legal formal dengan mengajak tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh pemuda duduk bersama berdialog dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Diyakini jika para tokoh yang ada dapat memahami permasalahan yang dihadapi pada saat berdialog, mereka akan melanjutkan apa yang diterima kepada masyarakatnya dan sudah pasti masyarakat akan mematuhi saran dan petuah tokoh panutan meraka.
Langkah serupa ini bukan tidak pernah dihelat pemerintah. Saat Letjen (Purn) Sutiyoso menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dia menyatakan bahwa institusinya telah membentuk satuan tugas (Satgas) Damai Papua untuk menyelesaikan masalah di Papua. Dijelaskannya ketika itu, kelak anggota Satgas Damai Papua akan mendatangi para tokoh yang disebutkan di atas untuk berdialog secara terbuka sehingga tercipta rasa saling percaya antara aparat negara dan masyarakat serta tokohnya.
Bahkan anggota Satgas juga diharapkan mampu melakukan pedekatan dengan tokoh-tokoh gerakan separatis setempat untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, menghilangkan ide memisahkan diri. Cara kerja Satgas Damai Papua hendaknya juga bisa ditularkan ke unsur keamanan lainnya. Penampakan dan perilaku yang angker dan kejam serta penuh kekerasan sudah harus dibuang jauh-jauh dan digantikan dengan wajah penuh hormat, sopan serta menimbulkan rasa persahabatan yang menjunjung tinggi dialog sebagai cara untuk penyelesaikan masalah.
Di era kepemimpinan Presiden Jokowi, cara damai menjadi penjuru bagi penyelesaian masalah Papua. Dialog dengan masyarakat Papua pun digelar. Kontan saja, komitmen itu mendapat sambutan baik dari tokoh adat, tokoh agama dan cendekiawan di Papua. Bermula dari sebuah janji politik saat kampanye, Jokowi memang membuktikan bahwa dirinya intens membangun komunikasi efektif dengan tokoh-tokoh yang layak dipercaya di Papua.
Di era Presiden Jokowi, boleh dibilang perhatian kepada Papua meningkat dibandingkan 50-an tahun sebelumnya. Kunjungan kerja dilakukan Presiden Joko Widodo ke tanah Papua sebanyak 10 kali, sejumlah mega proyek jalan dan jembatan, penerangan, bandara udara, pelabuhan, pasar, pembagian sertifikat tanah, pembagian Kartu Indonesia Sehat, pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan dan pembangunan pasar tradisional, penerapan BBM satu harga dan program lainnya.
Hanya saja bukan berarti persoalan pembangunan Papua telah selesai. Masih banyak kisah ketimpangan di segala aspek. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo pada periode kedua ini harus meningkatkan perhatiannya pada tanah Papua, dengan menyentuh lebih dalam pada kebijakan yang dapat mengakomodir semua kepentingan dan semua pihak sehingga persoalan Papua dapat diselesaikan secara tuntas. (nur)
Cara Damai Sebagai Penjuru dalam Penyelesaian Masalah Papua
Langit Papua memerah, saat amarah sekelompok orang di Kabupaten Manokwari, Papua Barat, membucah. Kesatuan bangsa kembali dipertaruhkan.
Hari itu, 19 Agustus 2019, terjadi aksi pemblokiran jalan dengan cara menebang pohon, membakar ban, bahkan umbul-umbul merah putih. Masyarakat asli Papua meradang lantaran berselang empat hari lalu terjadi penangkapan terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua yang ada di Malang dan Surabaya.
Tindak tegas itu dihelat karena sebelumnya sekelompok mahasiswa asal Papua terlibat keributan dengan Aremania di Jl Basuki Rahmat, Kota Malang, tepatnya di perempatan Rajabali. Akibat peristiwa itu, sebanyak 3 korban bentrok menderita luka-luka.
Pada saat yang bersamaan, di Surabaya, yakni di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III, terjadi insiden penolakan pemasangan bendera merah putih, yang sedianya hendak dikibarkan dalam rangka peringatan HUT ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Nyatanya bukan hanya di Manokwari, di hari yang sama, sejumlah warga Papua di Kota Jayapura juga menggelar aksi longmarch menentang aksi rasisme yang terjadi di Surabaya dan Malang. Aksi yang dimulai sejak pukul 08.00 WIT itu bermula di Pertigaan Expo Waena, Kampus Uncen, dan lingkar Abepura, hingga menutup jalan lintas Jayapura-Sentani.
Masih aksi senada, di Kota Sorong, di hari yang sama, juga terjadi perusakan Bandara Domine Eduard Osok dengan cara dilempari batu. Seiring itu, sejumlah tuntutan pun berkumandang di tanah Papua. Selain diminta untuk segera meminta maaf kepada warga Papua, para pengunjuk rasa juga meminta agar pemerintah memberikan kebebasan bagi Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Di sejumlah tempat, tuntutan referendum pun sempat terlontar.
Telah menjadi kesadaran pemerintah di negeri ini, bahwa persoalan di Papua dan Papua Barat masih memerlukan perhatian khusus. Penyebabnya karena masih kerap adanya reaksi masyarakat Papua lewat kelompok dan organisasi tertentu yang cenderung melakukan cara kekerasan dan separatis sehingga berdampak pada instabilitas sosial, politik, dan keamanan di sana.
Persoalan instabilitas yang terjadi di Papua, sebagaimana diungkapkan dalam Bagian Umum Penjelasan UU Otsus Papua, yang diundangkan sejak 21 November 2001, memang merupakan sebuah potensi. Mengingat, kendati keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandang cita-cita luhur, kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, den belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Alhasil, kesenjangan pun terjadi pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan den sosiai politik. Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan pada bagian ini, adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan.
Persoalannya diketahui, sejak sebelum diundangkannya aturan khusus untuk Papua, upaya penyelesaian masalah dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua. Sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan.
Maka bertolak dari momentum reformasi di Indonesia, timbul pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia, dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Termasuk menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2.
Dalam Ketetapan MPR RI Nornor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Perlu diingat bahwa Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas sekaligus bermakna tanggung jawab yang lebih besar bagi provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan itu berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
Sudah jelas tertuang, betapa penuntasan masalah Papua harus dilakukan secara holistik, termasuk menggunakan pendekatan antropologi dan budaya. “Sebab, pendekatan tersebut bisa membuat pemerintah memahami budaya di Papua yang heterogen. Nah ini jadi konsep secara holistik dengan pendekatan antropologi dan sosiologi budaya,” ucap politikus Golkar, Yorrys Raweyai, beberapa waktu lalu.
Pendapat serupa juga disampaikan mantan Kapolda Papua Bekto Suprapto. Mantan Kapolda Papua periode 2011-2012 itu menilai pendekatan budaya dan antropologi paling tepat untuk menyelesaikan konflik dan masalah-masalah di Papua. Lebih dari itu, pemerintah juga bisa membuat kebijakan afirmatif guna mengurangi ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Papua.
Sejak akhir Orde Baru, sejatinya pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua. Namun kendati mengalami pasang surut, potensi konflik di Papua, bagaimana api dalam sekam. Para penggiat hak azasi manusia umumnya berpendapat bahwa terjadi kesalahan dalam pendekatan yang dilakukan. Dimana, pemerintah dipandang terlalu sering menggunakan pendekatan keamanan dan sedikit sekali mengunakan pedekatan kesejahteraan.
Padahal sejak 2001 pemerintahan SBY sudah mencoba meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dengan memberikan bantuan berupa Dana Otsus yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah kala itu bahkan berani mengklaim bahwa bantuan yang diberikan pemerintah pusat kepada Papua jauh lebih besar dari kontribusi yang diterima negara dari Papua.
Permasalahannya adalah meski dana Otsus yang diberikan begitu besar, rakyat Papua tetap miskin dan termarjimalkan. Di sisi lain kemiskinan yang dirasakan orang Papua menjadi lahan subur bagi separatis untuk mempengaruhi masyarakat agar mendukung perjuangan pemisahan Papua dari NKRI.
Lantaran itulah, sebagaimana diajurkan sejumlah kalangan, selain melakukan pendekatan keamanan dan kesejahteraan, pemerintah hendaknya juga melakukan pendekatan kebudayaan melalui toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama serta penguatan nilai-nilai kebangsaan.
Besar harapan langkah tersebut lebih efektif, meningat pendekatan yang sudah digunakan selama ini tidaklah efektif dalam menyelesaikan konflik di Papua.
Pola pendekatan budaya tersebut, disarankan dilakukan secara legal formal dengan mengajak tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh pemuda duduk bersama berdialog dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Diyakini jika para tokoh yang ada dapat memahami permasalahan yang dihadapi pada saat berdialog, mereka akan melanjutkan apa yang diterima kepada masyarakatnya dan sudah pasti masyarakat akan mematuhi saran dan petuah tokoh panutan meraka.
Langkah serupa ini bukan tidak pernah dihelat pemerintah. Saat Letjen (Purn) Sutiyoso menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dia menyatakan bahwa institusinya telah membentuk satuan tugas (Satgas) Damai Papua untuk menyelesaikan masalah di Papua. Dijelaskannya ketika itu, kelak anggota Satgas Damai Papua akan mendatangi para tokoh yang disebutkan di atas untuk berdialog secara terbuka sehingga tercipta rasa saling percaya antara aparat negara dan masyarakat serta tokohnya.
Bahkan anggota Satgas juga diharapkan mampu melakukan pedekatan dengan tokoh-tokoh gerakan separatis setempat untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, menghilangkan ide memisahkan diri. Cara kerja Satgas Damai Papua hendaknya juga bisa ditularkan ke unsur keamanan lainnya. Penampakan dan perilaku yang angker dan kejam serta penuh kekerasan sudah harus dibuang jauh-jauh dan digantikan dengan wajah penuh hormat, sopan serta menimbulkan rasa persahabatan yang menjunjung tinggi dialog sebagai cara untuk penyelesaikan masalah.
Di era kepemimpinan Presiden Jokowi, cara damai menjadi penjuru bagi penyelesaian masalah Papua. Dialog dengan masyarakat Papua pun digelar. Kontan saja, komitmen itu mendapat sambutan baik dari tokoh adat, tokoh agama dan cendekiawan di Papua. Bermula dari sebuah janji politik saat kampanye, Jokowi memang membuktikan bahwa dirinya intens membangun komunikasi efektif dengan tokoh-tokoh yang layak dipercaya di Papua.
Di era Presiden Jokowi, boleh dibilang perhatian kepada Papua meningkat dibandingkan 50-an tahun sebelumnya. Kunjungan kerja dilakukan Presiden Joko Widodo ke tanah Papua sebanyak 10 kali, sejumlah mega proyek jalan dan jembatan, penerangan, bandara udara, pelabuhan, pasar, pembagian sertifikat tanah, pembagian Kartu Indonesia Sehat, pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan dan pembangunan pasar tradisional, penerapan BBM satu harga dan program lainnya.
Hanya saja bukan berarti persoalan pembangunan Papua telah selesai. Masih banyak kisah ketimpangan di segala aspek. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo pada periode kedua ini harus meningkatkan perhatiannya pada tanah Papua, dengan menyentuh lebih dalam pada kebijakan yang dapat mengakomodir semua kepentingan dan semua pihak sehingga persoalan Papua dapat diselesaikan secara tuntas. (jpp)