Indovoices.com– Liburan beberapa waktu lalu, sahabat kami menyarankan kalau liburan ke Bali itu selektif memilih pantai. Mengapa?, karena di beberapa pantai di Bali banyak bule telanjang hanya memakai pakaian dalam. Tidak baik untuk anak-anak. Loh, kalau di pantai apa masalahnya dilihat anak-anak?.
Di media elektronik saya menonton beberapa pertandingan olah raga yang hanya memakai pakaian dalam. Celana dalam dan BH. Di kolam renang apalagi. Pertandingan olah raga renang hanya pakai baju dan BH, alat menjaga mata.
Akhir-akhir ini, di medsos rame dibicarakan aksi buka baju ibu-ibu Sigapiton. Saya menjelaskan sesuai dengan cerita ibu-ibu itu. Banyak yang sinis tentang cerita itu. Banyak juga yang mengatakan, luar biasa perjuangan mereka. Ada yang menangis. Mereka melakukan aksi buka baju karena mereka merasa tak ada yang melindungi. Sedih sekali mereka iya.
Dimanakah laki-laki Sigapiton?. Mengapa mereka membiarkan kaum perempuan buka baju?. Ketika saya lihat pasca buka baju itu, kaum ibu terlalu kuatir akan suaminya. Konsentrasi kaum ibu menjaga suaminya agar tak marah ke polisi dan pamong praja. Jangan, jangan, jangan. Kenapa?. Kaum perempuan itu sadar suami mereka tak kuat menahan emosi.
Saya perhatikan, jika suami mereka tak kelihatan, kaum ibu itu mencari suaminya. Ada anak muda bernama Swanri Sirait berani melawan escapator itu. Dia menelantangkan badanya agar escapator tak bisa lewat. Ompungnya yang perempuan menjerit. Jangan, jangan, jangan ucapnya dengan berurai air mata. Kelam ketika itu. Saya melihat kejadian bentrokan itu mengerikan.
Saya memahami polisi, pamong praja sangat emosional. Tidak bisa jaga diri. Kaum perempuan itu sadar akan hal itu. Suaminya yang emosi klimaks berjumpa dengan polisi dan pamong praja yang juga emosi memuncak, apa yang terjadi?.
Kaum perempuan bijak itulah yang membuka baju untuk menyelesaikan kondisi itu.
Saya membela aksi mereka seolaholah saya setuju. Tidak. Tetapi, saya memahami kondisi batin mereka.
Pertanyaan saya, mengapa banyak orang fokus ke pertanyaan buka baju?. Pertanyaan mengapa polisi di era reformasi kasar, redup. Bukankah penyebab buka baju karena polisi kasar?.
Terus, apakah ketika mereka buka baju untuk melawab polisi adalah dosa yang teramat besar?. Mana lebih besar dosanya dengan tanah secuil Sigapiton diambil dengan kekuatan hukum negara?. Sigapiton berpenduduk 144 KK itu hanya memiliki lahan secuil. Secuil itu atas nama SK 579 Kementerian Kehutanan menjadi milik negara?. Apakah sebelum SK 579 itu muncul tidak diinventarisasi apa dampaknya kepada masyarakat desa. SK 579 itu memang pembuatan peta di atas meja pejabat tanpa meneliti kondisi rakyat.
Bisakah para orang-orang suci memahami kondisi batin rakyat Sigapiton buka baju?. Kalau olahragawan buka baju untuk menang, mengapa para orang-oramg suci mengutuk ibu-ibu itu buka maju untuk menjaga harta warisan nenek moyangnya?.
Saya menjadi teringan tulisan Ulil Absar Abdallah, tokoh Islam liiberal menyarankan agar laki-laki menjaga pikirannya dengab jilbab. Awasi pikiranmu, kira-kira begitu.
Gurgur Manurung, pengamat sosial dan lingkungan.