Indovoices.com –Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam menilai kandidat obat untuk mengatasi virus corona. Komnas Penilai Obat BPOM menyebut efek samping bukan alasan tunggal dalam menolak obat Covid-19 yang diantaranya dikembangkan oleh Universitas Airlangga bersama TNI AD dan Badan Intelijen Negara (BIN).
“Efek samping yang melekat pada suatu obat bukan merupakan faktor satu-satunya buat kita untuk menolak obat tersebut,” kata anggota Komite Nasional Penilai Obat BPOM Rianto Setiabudi di kantornya, Jakarta.
Rianto mencontohkan, obat kanker yang selama ini digunakan juga memiliki efek samping yang sangat serius. Menurutnya, obat kanker kerap kali menimbulkan kerontokan rambut, kehilangan nafsu makan, hingga mengakibatkan luka.
Hanya saja, obat kanker tersebut tetaplah bisa digunakan. “Karena ia bisa memperpanjang hidup orang sekian bulan sampai sekian tahun,” kata Rianto.
Menurut Rianto, efek samping dari obat bisa diminimalisir yakni dengan menakar dosis yang diberikan kepada pasien. Selain itu, efek samping obat juga bisa dikurangi dengan mengatur waktu pemberian obat. “Misalnya cara pemberiannya diberikan sesudah makan dan sebagainya. Jadi untuk ini kita harus berpikirnya luas,” kata Rianto.
Anggota Komisi Nasional Penilai Obat BPOM lainnya, Anwar Santoso menilai obat corona juga harus menghasilkan nilai saintifik yang bisa dipertanggungjawabkan. Ini berarti seluruh proses uji klinis yang dilakukan terhadap obat tersebut harus valid.
Lebih lanjut, obat tersebut juga harus memiliki nilai sosial. “Nilai sosial ini yang betul-betul bermanfaat bagi masyarakat,” kata Anwar.
Sementara itu, Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan, pemberian izin edar terhadap obat corona juga harus mempertimbangkan efektivitasnya. Menurut Penny, riset tentang obat harusnya bisa menunjukkan hasil yang signifikan dibandingkan terapi standar lainnya.
Adapun, obat corona yang dikembangkan Universitas Airlangga (Unair) bersama Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI Angkatan Darat (AD) belum menunjukkan hal itu. “Hasilnya belum menunjukan adanya perbedaan yang sangat signifikan,” kata Penny.
Hasil inspeksi BPOM menunjukkan proses uji klinis obat Covid-19 yang dikembangkan Unair bersama TNI AD dan BIN belum valid. Ada banyak hal yang masih harus diperbaiki agar obat tersebut dinyatakan valid dan mendapat izin edar BPOM.
Sebelumnya, Universitas Airlangga bersama BIN dan TNI AD mengklaim telah menemukan obat corona. Rektor Universitas Airlangga M. Nasih mengklaim obat tersebut bakal menjadi yang pertama ada di dunia.
Temuan tersebut merupakan hasil dari kombinasi sejumlah obat yang telah diuji dalam tiga tahap. Pertama, kombinasi antara Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin. Kedua, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline. Kombinasi terakhir merupakan campuran Hydrochloroquine dan Azithromycin.
Tim Unair-BIN-TNI AD mengklaim 85% sampel yang diujicobakan dengan obat tersebut sembuh berdasarkan hasil tes PCR. Proses penyembuhan disebut berlangsung mulai dari 1-3 hari.
Berbagai pihak tengah berlomba-lomba untuk menemukan obat dan vaksin guna mengendalikan wabah Covid-19. Data terakhir pada Jumat (10/7) lalu, setidaknya ribuan obat dan vaksin dalam status uji klinis, berikut grafik dalam databoks:(msn)