Indovoices.com –Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap sejumlah bank yang tak sesuai ketentuan. Ada tujuh bank umum yang disebutkan dalam hasil pemeriksaan selama 2017 hingga 2019 tersebut.
Namun dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2019, BPK secara gamblang menyebutkan ketujuh nama bank. Yaitu, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, PT Bank Yudha Bhakti Tbk, dan PT Bank Mayapada Tbk.
Ada juga PT Bank Papua, PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk, PT Bukopin Tbk, dan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk.
Ekonom PT Bank Danamon Tbk Wisnu Wardhana mengatakan, temuan BPK dalam hasil audit tentu memiliki dampak tersendiri bagi bank yang disebutkan namanya tersebut. Apalagi, sejauh ini perilaku nasabah perbankan di Indonesia cenderung menghindari risiko.
Untuk itu, Wisnu menyarankan agar BPK juga memberikan rekomendasi penyelesaian terhadap pengawasan tujuh bank tersebut. Ada pun dalam IHPS II 2019, rekomendasi penyelesaian persoalan tersebut hanya diberikan kepada OJK.
“Tapi saya pikir akan lebih seimbang apabila saat itu BPK juga menyuarakan rekomendasi penyelesaiannya atas temuannya itu. Pun itu tentang temuan atas suatu kinerja di masa lalu,” kata Wisnu, Jumat (15/5).
Meski demikian, dia menjelaskan, kondisi perbankan Indonesia saat ini masih cukup aman. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan juga masih tinggi.
Berdasarkan data OJK, stabilitas sektor jasa keuangan masih cukup terjaga, dilihat dari CAR yang masih cukup tinggi yaitu sebesar 21,72 persen per Maret 2020. Sedangkan untuk risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) perbankan juga masih terjaga pada level 2,77 persen.
Wisnu menuturkan, saat ini ketersediaan likuiditas menjadi hal yang penting di industri perbankan. Regulator pun, seperti OJK dan bank sentral, diminta terus memastikan likuiditas terjaga.
“Yang terpenting adalah ketersediaan likuiditas di sektor keuangan nasional, dan kondisi saat ini mencukupi. Tentu hal ini tidak lepas dari peran regulator yang memastikan dan memberi stimulus masif, sehingga likuiditas terjaga. Sebagai gambaran, ekses likuiditas valas di pasar uang masih sekitar USD 14 miliaran,” jelasnya.
Sementara itu, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menuturkan, temuan BPK yang disampaikan ke publik tersebut dikhawatirkan menimbulkan kepanikan di masyarakat di situasi pandemi COVID-19 saat ini.
Meskipun tak ada pelarangan penyebutan nama bank, menurut Eko, BPK seharusnya dapat lebih hati-hati dalam menyampaikan hasil audit. Penyebutan nama ketujuh bank itu pun dinilai dapat menimbulkan persepsi yang keliru di masyarakat.
“Dalam konteks pengawasan ke perbankan, adanya penyebutan nama-nama bank secara langsung memang bisa menimbulkan risiko persepsi keliru di masyarakat,” kata Eko.
Ke depan, dia berharap antara BPK dan OJK mampu memberikan komunikasi yang baik ke masyarakat agar tak menimbulkan kepanikan. Menurut Eko, sebelum hasil pengawasan disampaikan, tentunya ada tahap klarifikasi dari BPK ke OJK.
“Klarifikasi untuk sektor perbankan yang sifatnya highly regulated sangat penting. Meskipun setahu saya tidak ada larangan nama individual bank disebutkan, aspek hukumnya tentu sudah dipertimbangkan BPK. Hal yg sama pernah terjadi ketika menyatakan kasus Jiwasraya sistemik, padahal biasanya yang mengumumkan sistemik adalah KSSK,” tuturnya.
Sebelumnya, Kepala BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, tak masalah mengungkapan ketujuh nama bank tersebut dalam hasil pemeriksaan. Menurut dia, hal itu menjadi transparansi BPK dalam memeriksa kinerja suatu kementerian dan lembaga.
“Jadi kami periksa OJK, kalau ada bank di dalamnya itu adalah sampel, ikut terperiksakan di dalamnya. Namun demikian, yang kami soroti adalah proses pengawasannya yang itu kami ungkap,” ujar Agung saat video conference.
Menurut Agung, sebagian besar bank yang diawasi OJK itu tidak melakukan komplain, namun mereka mengakui kepada BPK adanya permasalahan.
“Apakah kemudian boleh mengungkapkan nama audited? Biasa-biasa saja. Namanya juga pemeriksaan, yang diperiksa kan jelas, kami yang diperiksa kan jelas ada,” jelasnya.
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHSP) II-2019, BPK menilai pengawasan bank terhadap tujuh bank tak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal tersebut menyebabkan adanya permasalahan mulai dari pelanggaran batas minimum pemberian kredit (BMPK), kecukupan modal, kelaikan direktur, hingga sejumlah penyelewengan pemberian kredit.
Pengawas Bank Pembangunan Daerah Banten (Bank Banten), Bank Bukopin, dan Bank Muamalat Indonesia (BMI), tidak merekomendasikan untuk melakukan koreksi atas non performing loan (NPL), Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN), dan/atau Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai dengan hasil pemeriksaan Tahun 2018.
Akibat hal tersebut, menyebabkan penyimpangan ketentuan pada pemberian kredit di BTN yang tidak dapat dideteksi OJK.
Status pengawasan Bank Bukopin per 31 Desember 2017, Bank Banten periode Desember 2018, dan BMI setelah 2019 tidak mencerminkan penyelesaiannya.
Indikasi pelanggaran Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK) Bank Mayapada belum dapat dipastikan keterjadiannya. Selain itu, kondisi NPL dan laba belum dapat diselesaikan, serta terdapat perjanjian kredit ditandatangani oleh pihak yang tidak berwenang.
BPK merekomendasikan Ketua Dewan Komisioner OJK memerintahkan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan, agar menginstruksikan kepada Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II, III, dan IV untuk menyusun mekanisme quality control dan quality assurance secara berjenjang, dalam rangka dokumentasi pengawasan, termasuk mengunggah (upload) ke dalam sistem, serta memberikan pembinaan kepada Pengawas Bank dalam rangka melengkapi dokumentasi risk based supervision (RBS) dan integrated risk based supervision (IRBS) sesuai dengan ketentuan periode 2017-2019.(msn)