BJ Habibie, Dihajar IMF, Dilecehkan Politikus Negeri Sendiri
BJ Habibie meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto karena penyakit yang dideritanya (gagal jantung) & faktor usia, tanggal 10 September 2019, pukul 18.05 Wib. Sebelumnya, Habibie telah menjalani perawatan intensif sejak 1 September 2019
Dikenal sebagai Presiden Republik Indonesia ke-3, Habibie memiliki jabatan tersingkat dibandingkan enam presiden lainnya. Karena hanya menjabat selama 2 bulan dan 7 hari (sebagai wakil presiden) dan juga selama 1 tahun dan 5 bulan (sebagai presiden).
Kiprah Habibie tidak sebatas saat dirinya menjabat sebagai Wakil Presiden atau Presiden saja. Jauh sebelumnya, Habibie sudah dikenal sebagai teknokrat ulung dalam bidang penerbangan. Salah satu penemuannya adalah progression crack theory atau teori keretakan atau dikenal dengan sebutan ‘faktor Habibie’.
Dari situlah Habibie mendapatkan julukan ‘Mr Crack’. Hitung-hitungan Habibie sangat detail sampai ke tingkat atom material pesawat. Penemuan pentingnya itu kemudian mengantarkan Habibie menduduki jabatan sebagai wakil presiden Messerschmitt Boelkow Blohm Gmbh (MBB) di tahun 1969.
Pada tahun 1973, ia pun kembali ke Indonesia atas permintaan mantan presiden Soeharto ketika itu.
BJ Habibie kemudian menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 20 tahun, sejak tahun 1978 sampai Maret 1998.
Jauh sebelum Jokowi menyampaikan pidato berjudul “Visi Indonesia” yang berisi lima tahapan besar untuk membawa Indonesia maju pada 15 Juli 2019. Habibie telah mengimplementasikan “Visi Indonesia” versinya melalui lembaga kementerian yang dipimpinnya.
Menurut Habibie, lompatan-lompatan Indonesia dalam “Visi Indonesia” bertumpu pada riset dan teknologi, khususnya pula dalam industri strategis yang dikelola oleh PT. IPTN, PINDAD, dan PT. PAL. Targetnya, Indonesia sebagai negara agraris dapat melompat langsung menjadi negara Industri dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dimulai dengan 20 orang, tahun 1976, Habibie mulai membangun industri IPTN. 20 Tahun kemudian, di pertengahan 1990-an, IPTN meraksasa dengan mempekerjakan 48 ribu karyawan dengan turnover sekitar US$ 10 miliar.
Agustus 1996, IPTN berhasil menerbangkan prototipe N-250 Gatotkaca di Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Pesawat ini adalah pesawat pertama di kelasnya—subsonic speed—yang menggunakan teknologi fly by wire (seluruh gerakannya dikendalikan dengan komputerisasi).
Pada saat itu, N-250 merupakan pesawat ketiga yang menerapkan teknologi ini, selain Airbus A-340 dan Boeing 767. Tapi dua pesawat itu adalah pesawat penumpang jet berkapasitas besar. Kelahiran N-250 Gatotkaca sukses besar dan dipuji dunia.
Sukses besar itu kemudian dilanjutkan dengan proyek pesawat komuter berpenumpang 100 orang. Pesawat jet itu diberi kode N-2130. Proyek ini diperkirakan menelan dana US$ 2 miliar. Dana diperoleh dari penjualan dua juta lembar saham. Lalu dibentuklah PT Dua Satu Tiga Puluh (DSTP) untuk melaksanakan proyek besar ini.
Sayangnya pondasi perekonomian Indonesia rapuh, dibangun berdasarkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme oleh Soeharto. Akibatnya saat krisis ekonomi menerjang Asia pada 1997, ekonomi Indonesia pun luluh lantak, terkena dampak paling parah yang otomatis ikut mempengaruhi PT DSTP. Perusahaan ini limbung, rapat umum pemegang saham luar biasa meminta PT DSTP melikuidasi diri.
Tidak cukup sampai di situ, Dana Moneter Internasional (IMF) yang kebanyakan berisi orang Eropa dan Amerika ketika itu, menjalankam agenda jahatnya. IMF memberikan sejumlah syarat jika Indonesia ingin memperoleh pinjaman US$ 5 miliar untuk mengatasi krisis ekonomi. Salah satu klausul letter of intent berbunyi pemerintah tidak boleh lagi memberikan subsidi kepada IPTN.
Artinya, pemerintah tidak lagi membantu IPTN menyelesaikan turboprop N-250. Padahal pesawat itu sedang dalam proses akhir uji terbang untuk mendapatkan sertifikasi layak terbang nasional dan internasional dari Federation Aviation Agency Amerika dan sertifikasi layak terbang dari Joint Airworthiness Agency Eropa.
Kelanjutannya seperti yang kita ketahui, kesepakatan itu disetujui oleh Soeharto yang menandatangani persyaratan tersebut.
Alasan yang dikemukakan oleh IMF untuk menutupi niat busuknya dengan meminta pencabutan subsidi ke IPTN, adalah karena dianggap sangat membebani keuangan negara.
Padahal faktanya, IMF khawatir dengan perkembangan dunia penerbangan Indonesia yang dianggap dapat mengancam industri penerbangan di Eropa dan Amerika. Pasalnya teknologi yang akan digunakan BJ Habibie, lebih maju 20 tahun dari jamannya. Apalagi Indonesia di kemudian hari terbukti menjadi negara dengan pertumbuhan penumpang penerbangan yang terbesar di dunia.
Habibie memperhitungkan bila programnya tidak dihentikan IMF. Antara tahun 2000 dan 2020, dunia membutuhkan 8.000 unit pesawat komuter. Sekitar 45 persen adalah pesawat sekelas N-250. Jadi, pasarnya sangat luas.
Sayangnya Visi Habibie harus pupus dijegal IMF. IPTN yang sekarang telah berganti nama menjadi PT DI, kini hanya memiliki karyawannya 3.000 orang. Diperkirakan dalam lima tahun, sumber daya akan menyusut menjadi nol karena orangnya mati atau pensiun.
Karir politik BJ Habibie di dalam negeri juga tidak kalah mengenaskan. Walaupun pernah menjadi wakil presiden dan kemudian naik menggantikan Soeharto sebagai presiden. Dirinya dimusuhi oleh keluarga Soeharto karena dianggap mendukung pelengseran Soeharto ketika itu.
Sakit hati keluarga Soeharto kepada Habibie, semakin mendalam saat Timor Timur (Timor Leste saat ini), yang direbut Soeharto, lepas di tangan Habibie. Itu sebabnya saat Soeharto sakit, melalui keluarganya, Soeharto menolak dikunjungi Habibie hingga akhir hayatnya. Demikian juga yang terjadi dengan Habibie, hingga ia tutup usia dan dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, tidak satu pun keluarga Soeharto datang.
Keluarga Soeharto bukanlah satu-satunya yang membenci BJ Habibie.
Dalam Sidang Istimewa di gedung MPR, tanggal 14 Oktober 1999, Habibie bahkan sudah dilecehkan sejak memasuki ruang sidang istimewa MPR. Tidak ada rasa hormat dari para manusia yang mengaku sebagai nggota dewan yang terhormat kepada Habibie selaku kepala negara Republik Indonesia ketika itu.
Sorakan muncul dari mulut hampir seluruh peserta sidang, menggema sejak ia melangkahkan kakinya menuju podium.
Hinaan dan cemoohan itu justru berlanjut manakala BJ Habibie berdiri di podium kenegaraan, untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban presiden.
Tidak ada tepuk tangan, yang ada justru suara gaduh dan teriakan sepanjang laporan pertanggungjawaban itu, yang sepertinya sengaja dilakukan, lagi-lagi untuk mempermalukan Habibie.
Tebak siapa yang memimpin sidang ketika itu? AMIEN RAIS. Dirinya membiarkan kegaduhan di ruang sidang tanpa ada upaya untuk menghentikannya bahkan terkesan menikmatinya. Ketokan palu sidang oleh Amien Rais tanggal 20 Oktober 1999 akhirnya menjadi puncaknya. Pernyataan penolakan pertanggungjawaban Habibie sebagai presiden disampaikan Amien Rais.
Dihajar oleh IMF, tak dianggap, dilecehkan, dipermalukan oleh bangsa sendiri bukanlah pukulan terbesar bagi Habibie. Walau tersirat kesedihan, namun dirinya tetap kuat dan tegar berkat dukungan Ainun.
Setelah tidak menjadi Presiden, Habibie lebih banyak menghabiskan waktunya bersama keluarga. Habibie pun sempat menyepi ke Jerman bersama Ainun.
Pukulan terbesar justru terjadi saat Habibie harus kehilangan Ainun selamanya. Sedemikian besar pukulan itu membuat wajah Habibie yang biasa terlihat ceria mendadak menua dengan cepat. Tubuh yang biasanya lincah dan tetap tegap ketika dipermalukan saat sidang, mendadak terlihat rapuh tak berdaya.
Mencoba bangkit walau harus terseok-seok, Habibie masih berusaha memberikan konstribusi kepada bangsa yang pernah melecehkan dan mempermalukannya.
Di hari-hari terakhirnya, Habibie telah menjelma menjadi seorang negarawan, seorang guru bangsa. Habibie mungkin bukanlah presiden terbaik di mata sebagian orang, namun ia sudah memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara ini.
Walau singkat, namanya akan selalu tercatat dalam tinta emas sejarah Indonesia. Selamat jalan Habibie..
Untuk membaca tulisan saya yang lainnya, silahkan klik di sini