Indovoices.com –Wali Kota Bima Arya menolak anggapan penyelesaian kasus Gereja Kristen Indonesia atau GKI Yasmin bakal menjadi preseden buruk korban intoleransi harus mengalah. Dalam kasus GKI Yasmin, jemaat gereja itu akhirnya menerima tawaran relokasi setelah 15 tahun tak bisa beribadah di gereja itu.
Untuk menyelesaikan kasus GKI Yasmin, Pemerintah Kota Bogor memilih menghibahkan tanah di Cilendek sebagai lokasi baru gereja, meski Mahkamah Agung telah memutuskan Izin Mendirikan Bangunan atau IMB gereja itu di Taman Yasmin adalah sah.
“Kalau kita mempelajari resolusi konflik di mana-mana, tidak hanya di Bogor dan di Indonesia, setiap konflik itu punya anatomi yang berbeda-beda,” kata Bima Arya di Wahid Institute, Jakarta Pusat, pada, Rabu, 16 Juni 2021.
Menurut Bima, rumus penyelesaikan konflik di suatu daerah tidak harus berhasil di daerah lain. Begitu pun sebaliknya, kata dia, jika tak berhasil di suatu daerah bukan berarti rumus tersebut akan gagal di daerah lain.
Ihwal karakter konflik GKI Yasmin Bogor, kata Bima, orang yang mempelajarinya akan paham mengapa pemerintah mengedepankan prinsip pemenuhan hak beribadah. Prinsip itu, kata dia, didapat atas kesepakatan dalam perundingan yang dilakukan oleh aktor-aktor di dalam konflik tersebut.
“Tentunya aktor-aktor ini telah menghitung semua opsi.”
Dalam kasus GKI Yasmin, Bima menyebut telah menempuh 30 kali pertemuan formal dan 100 perundingan informal untuk mencapai kata sepakat. Dia mengatakan, keputusan untuk relokasi juga sudah didukung oleh 90 tanda tangan dari jemaah gereja dan diteken sekitar 60 warga setempat.
Direktur Nasional Gusdurian Network Indonesia (GNI) Zannuba Ariffah Chafsoh alias Yenny Wahid mengakui bahwa konflik GKI Yasmin tidak hanya menyangkut masalah hukum, tapi juga aspek sosial. Namun faktor paling penting menurutnya, proses pencarian titik temu oleh Bima Arya Cs telah melibatkan stakeholder utama dalam konflik ini.
“Yaitu, jemaah gereja itu sendiri,” kata Yenny.
Yenny berpendapat berbagai kendala atau pandangan lain dalam kasus ini hendaknya tidak menghambat jemaat GKI Yasmin untuk segera punya rumah ibadah. Maka dari itu, dia sepakat dengan Bima Arya bahwa prinsip pemenuhan hak jemaah harus dikedepankan.
Walau begitu, Yenny menekankan agar kebebasan setiap orang untuk mendirikan rumah ibadah harus tetap diperjuangkan.
Hingga saat ini masih ada segelintir jemaat GKI Yasmin yang menolak keputusan untuk relokasi gereja itu. Salah satunya adalah Bona Sigalingging. Dia berujar relokasi bukan solusi permasalahan yang selama ini berlangsung di sana. “Serah terima Akta Hibah yang dilakukan Bima Arya sama sekali bukan merupakan tindakan hukum yang diperintahkan oleh Mahkamah Agung dan Ombudsman,” ujar dia, Selasa, 15 Juni 2021.